Semangat ilmiah yang tumbuh subur pada masa ini pada gilirannya menjadi motivator bagi majunya pendidikan. Terjadilah di masa ini revolusi ilmu pengetahuan. Pendidikan non-agama, profan, yang telah ditanam 'Umar ibn Khaththâb dalam kurikulum pendidikan di zamannya, mengalami perluasan sedemikian rupa sehingga meliputi berbagai bidang, yang pada akhirnya menjamurlah kegiatan pendidikan dengan banyak mengambil tempat dalam pelaksanaannya.
Sampai abad ke-4 H., begitu Hasan 'Abd. al 'Al dalam kutipan Suwendi, telah berdiri tujuh lembaga pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik dan kajiannya sendiri-sendiri. Ketujuh lembaga tersebut adalah: a) kuttab, b) masjid, c) toko kitab, d) rumah, e) sanggar seni dan sastra, f) perpustakaan, dan g) madrasah. (Suwendi, 2004: 21)
Dengan mempertimbangkan materi pendidikan (mata pelajaran) yang diajarkan, selanjutnya institusi-institusi tersebut dapat diklasifikasi-kan menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau dasar, yang meliputi: kuttab, rumah, toko, istana, dan terkadang berlangsung juga di pasar. Kedua, tingkat menengah, yang meliputi: masjid serta sanggar seni dan sastra. Ketiga, tingkat tinggi yang meliputi: masjid, perpustakaan, dan madrasah. (A. Tafsir dkk, 2004: 259)
Kuttâb sebagai tempat belajar, bahkan sudah ada sejak masa pra-Islam. Karena Islam menekankan pendidikan (di antaranya baca-tulis) bagi umatnya, maka kehadiran Islam mendesak perkembangan Kuttâb. Pada mulanya Kuttâb ini digunakan sebagai tempat belajar baca-tulis, terutama bagi anak-anak, dan seringkali dilakukan oleh orang-orang Kristen (kafir dzimmi dan tawanan-tawanan perang Badar), dan berlokasi di luar masjid. Pengajaran ini dilakukan dengan menggunakan syair-syair yang terkenal pada masanya. Hal itu, untuk menghindarkan diri dari menggunakan al-Qur'an. Sebab penggunaan al-Qur'an untuk belajar menulis dipandang kurang etis.
Pengajaran al-Qur'an serta masalah keagamaan, pada awalnya, dilaksanakan di masjid secara non-formal. Akan tetapi, karena anak-anak (sebagai bagian dari murid yang belajar di masjid) tidak dapat menjaga kebersihan dan kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat khusus (kuttâb) di samping masjid. Sejak itulah pendirian kuttâb semakin meningkat (di setiap desa terdapat satu atau lebih), sehingga muncullah dua jenis kuttâb. Satu kuttâb untuk pendidikan sekuler (secular learning), dan yang lain untuk pendidikan agama (religious learning).
Di antara kuttâb-kuttâb tersebut, begitu 'Izzudîn 'Abbâs, ada yang mengharuskan bagi siswanya untuk membayar biaya pendidikan, yakni bagi yang kaya, dan ada yang bebas biaya, tentunya bagi para murid yang miskin. Jenis kuttâb yang terakhir ini dikenal juga dengan nama Kuttâb al-sabîl (pondok orang dalam perjalanan). (Hasan Langgulung, 2000: 123)
Namun pada masa Bani Abbasiyyah keadaan tersebut mengalami pergeseran. Al-Qur'an, sebagai kurikulum utama, dipelajari bersama dengan pelajaran baca-tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah Nabi (terutama hadits-hadits Nabi Muhammad saw.), aritmatika serta puisi. Inilah yang disaksikan ibn Jubayr ketika mengunjungi Damaskus pada 1184 M. (Philip K. Hitti, 2005: 512)
Rumah yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan di masa ini antara lain: rumah Ibnu Sînâ, al-Abû Sulaimân al-Sijistani (w. 390 H.), al-Ghazâlî, 'Alî ibn Muhammad al-Fasihi, Ya'kûb ibn Killis seorang Wazîr Khalifah al-'Azîz al-Fâthimy, Ahmad ibn Muhammad Abû Thaher (w.576 H.). Disiplin ilmu yang dipelajari di institusi ini meliputi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dengan tempatnya sendiri-sendiri.
Sementara istana --dan atau kediaman para bangsawan-- secara khusus juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan oleh kalangan elit khalifah atau kaum bangsawan, yang diilhami oleh halaqah-halaqah yang ada di masjid. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa.
Toko, pada dasarnya merupakan tempat jual-beli kitab yang mulai menjamur di saat ini karena ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mulai tumbuh dan berkembang. Al-Ya'qûbî meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891 M.) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko-toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang kemudian muncul di Damaskus dan Kairo, lebih kecil dari ruangan samping masjid, tetapi ada juga yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk pusat penjualan sekaligus sebagai pusat aktivitas para ahli dan penyalin naskah.( Philip K. Hitti, 2005: 521 ) Di saat ini mulai bermunculan para ulama' yang menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kitab-kitab tersebut selanjutnya dibeli oleh pemilik toko untuk dijual kembali.
Saudagar-saudagar tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba, dengan berjualan. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas, yang telah memilih jalan ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama' dan pujangga. (Ahmad Syalabi, 1973: 53) Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan rumah seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah. Tidak jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat sekitarnya untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan. (Charles Michael Stanton, 1994: 163) Selain itu, mereka dapat menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kembali kepada mereka yang memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqût, yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; Âlî ibn 'Îsa, yang oleh Yaqût dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Nâdim --dikenal juga dengan nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik. (Charles Michael Stanton, 1994: 163).
Masjid sebagai lembaga pendidikan menengah, muncul sekitar abad VIII M. Pada mulanya masjid merupakan lembaga pendidikan dasar. Pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulafâ' al-Râsyidîn, masjid merupakan lembaga pendidikan pokok. Ketika ilmu-ilmu asing memasuki masyarakat Islam, ia juga memasuki masjid dan harus dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu agama. Di Madinah, begitu Syalabi mencontohkan, Nabi Muhammad saw. menggunakan masjidnya (Nabawi) sebagai tempat memberi pelajaran kepada para shahabatnya tentang urusan-urusan agama dan dunia. (Ahmad Syalabi, 1973: 64). Dalam perkembangan selanjutnya, dengan alasan tertentu, ia dijadikan sebagai lembaga pendidikan menengah dan --dalam waktu yang sama-- pendidikan tinggi. (Hasan Langgulung, 2000: 123)
Masjid ini, jelas Stanton, dibedakan menjadi dua; yaitu masjid jâmi' dan masjid non-jâmi'. Masjid tipe pertama, yang memiliki jumlah sangat terbatas (di Baghdad hanya terdapat lima atau enam masjid, sementara di Mesir hanya terdapat enam buah), dibangun oleh khalifah dengan ukuran relatif besar dan dihiasai secara indah. Selain dijadikan sebagai tempat melaksanakan shalat jum'at, masjid ini juga dijadikan sebagai penghubung antara khalifah dengan rakyat banyak. Sedang tipe yang kedua bersifat lokal dan eksklusif serta memiliki jumlah banyak. Masjid tipe ini biasanya lebih kecil dan dibangun untuk kepentingan sekelompok masyarakat muslim tertentu atau sekelompok penganut madzhab tertentu, dengan dukungan dana dari jama'ahnya sendiri, dari satu patronase atau dari satu wakaf. Masjid (tipe) ini sering disebut sebagai masjid-akademi. (Charles Michael Stanton, 1994: 35)
Terlepas dari jâmi' atau non-jâmi', masjid merupakan institusi pendidikan, dalam dua jenjang. (Charles Michael Stanton, 1994: 35) Pendidikan yang berlangsung di sana menggunakan sistem halaqah. Yakni, seorang syaikh duduk dengan dikelilingi para murid(nya). Dalam konteks masjid jâmi', sebagaimana dikatakan Stanton, seorang syaikh diangkat --dan seringkali merupakan pengaruh dari pemuka masyarakat serta para bangsawan-- oleh khalifah untuk mengajarkan fiqh atau bidang kajian agama tertentu. Pengangkatan syaikh biasanya berlaku seumur hidup. Kecuali jika ia memiliki kasus tertentu, seperti memiliki ajaran yang menyimpang atau persoalan moralitas, maka tidak menutup kemungkinan ia akan dipecat. Tidak jarang juga jabatan ini diwariskan oleh seorang ayah atau guru kepada anak atau muridnya. (Charles Michael Stanton, 1994: 35-36).
Pendidikan yang diselenggarakan di masjid jâmi' lebih bersifat fleksibel-nonformal, sehingga lembaga ini bebas menerima siswa (baik terdaftar maupun tidak) dari segala umur dan tanpa terikat kapan seorang siswa harus hadir dan halaqah mana yang hendak diikuti, sehingga dia dapat datang dan pergi serta pindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain; dari satu masjid ke masjid yang lain; bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Selain itu, para siswa tidak perlu membayar biaya pendidikan.
Berbeda dengan masjid jâmi', masjid-akademi lebih formal dalam melaksanakan pendidikannya. Seorang siswa sebelum masuk dalam lembaga ini harus mendaftarkan diri terlebih dulu (pada mudarris). Dalam pengangkatan seorang mudarris (sebutan bagi pengajar fiqh di masa itu) yang idealnya dilakukan oleh khalifah atau wakilnya, sebagaimana dalam masjid jâmi', tidak dilaksanakan dalam masjid-akademi, terutama dalam kasus masjid-masjid yang lebih kecil. Pejabat setempat dan pemuka agama melakukan hal itu dengan persetujuan qâdhi, hakim. Jika sebuah masjid dibangun dan dibiayai oleh sebuah kelompok tertentu untuk kepentingannya sendiri, maka merekalah yang akan mengangkat seorang mudarris, yang mewakili pandangan keagamaan mereka.
Begitu juga sebuah masjid yang dibiayai oleh satu sistem wakaf, dokumen wakaf --waqfiyyah-- biasanya mencantumkan bagaimana seorang pengurus harus diangkat. Patron (pemberi wakaf) biasanya menyatakan kualifikasi mudarris yang dapat diterima, terutama tentang madzhab yang dia ikuti. Bahkan, pemberi wakaf mungkin telah menunjuk seseorang. Disiplin ilmu yang mendapat perhatian lebih dalam institusi ini adalah fiqh (dalam semua madzhab).
Seorang mudarris, yang biasanya hanya satu orang dalam satu masjid, seringkali merangkap juga sebagai imâm. Dengan demikian, dalam satu masjid hanya terdapat seorang imâm yang sekaligus merangkap mudarris. Dialah yang menentukan kurikulum dan sifat pengajaran. Sehingga masjid-akademi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari diri mudarris sendiri.
Sanggar seni (sastra) muncul pertama kali pada masa khalifah Bani Umaiyah dalam formatnya yang bersahaja, sebagai perkembangan dari majlis-majlis yang telah ada pada masa Khulafa' al-Rasyidin yang diselenggarakan di masjid. Institusi ini mendapat kemegahannya dibawah imperium khalifah Bani Abbasiyyah dengan dinamikanya sendiri. (Ahmad Syalabi, 1973: 62). Dalam periode kedua masa ini, institusi ini mulai dikenal di kalangan para penguasa dan kaum bangsawan yang lebih rendah baik di Damaskus maupun di Baghdad, seperti yang diselenggarakan oleh Sultan Mahmud al-Ghaznawi dan Nidlâm al-Mulk. (Ahmad Syalabi, 1973: 62).
Namun berbeda dengan masa khulafa' al-Rasyidin, sanggar sastra ini lebih bersifat eksklusif (berdasarkan undangan dari penyelenggara). Hari dan waktu pelaksanaan juga sepenuhnya bergantung pada khalifah sebagai penyelenggara. Selain itu, ada beberapa etika tertentu yang harus dipenuhi dalam menghadiri majlis ini. Seperti harus berpakaian rapi, menggunakan wangi-wangian, meninggalkan sesuatu yang tidak disuka khalifah dan lain-lain. (Ahmad Syalabi, 1973: 62). Prestise dan popularitas sanggar, terutama, bergantung pada kekayaan dan kekuatan patron (penyelenggara) dalam mengundang para cendekiawan atau kaum intelek. Di antara sanggar (lingkaran) di istana yang paling terkenal karena kualitas diskusinya, adalah yang diselenggarakan oleh khalifah al-Râsyid dan al-Ma'mûn. Sanggar al-Rasyid sebagaimana dijelaskan Mahmud Yunus, telah melahirkan beberapa ilmuwan interdisipliner. Dalam bidang syair misalnya, muncul Abu Nuwas, bidang musik muncul Ibrahim al-Mausili, bidang bahasa Sibaiwi dan bidang fiqh, Abu Yusuf dan beberapa ilmuwan lainnya. (Mahmud Yunus, 1990: 87)
Setelah tekanan terhadap gerakan Mu'tazilah dan pemutusan aliran rasional bangsa Yunani dalam kehidupan intelektual Islam, sanggar-sanggar sastra ini cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional, memperlemah dorongan-dorongan bagi kemajuan intelektual yang luas. Sungguhpun demikian, tidak dapat diabaikan kontribusi sanggar tersebut, terutama perannya sebagai media bagi masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam. Yang pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga tinggi lain yang lebih formal, ketika aneka ragam lingkaran studi di istana mengembangkan perpustakaan, observatori, dan pusat penerjemahan.
Masjid, sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah. Dengan demikian, dari sudut disiplin ilmu yang dipelajari sama dengan yang ada pada jenjang sebelumnya (penulis tidak mendapatkan data konkrit, yang membedakan antara kedua jenjang dari sudut ini). Perbedaan antara keduanya, sebagaimana disinggung di atas, lebih terlihat pada status guru (syaikh), apakah dia ulama' besar dan memiliki prestise tinggi atau belum mencapai derajat itu. Kualifikasi tersebut tentunya berimplikasi pada kualitas seorang syaikh, dan pada batas-batas tertentu, ilmu yang diperoleh siswa.
Perpustakaan sebagaimana dikatakan Syalabi, didirikan karena mahalnya harga manuskrip ketika itu. Sehingga alternatif yang dianggap efektif bagi pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa itu adalah perpustakaan. (Ahmad Syalabi, 1973: 132). Perpustakaan, begitu Hitti, menyimpan beberapa buku dalam berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, astronomi dan lain-lain di samping ilmu agama. Selain digunakan untuk membaca, perpustakaan juga dijadikan sebagai tempat diskusi dan debat ilmiah, sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi sekarang. (Philip K. Hitti, 2005: 520; Mahmud Yunus, 1990: 90-91) Di sinilah orang (bisa) menemukan titik permulaan dari pusat keilmuan yang sangat kompleks.
Dalam pandangan orang-orang Arab, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Pengaruh tulisan al-Jahiz dalam hal ini tidak dapat diabaikan. “Buku itu diam bila engkau menghendaki dia diam, berbicara bila engkau menghendakinya. Dia tidak akan mengganggu kalau engkau sedang bekerja, tetapi bila engkau merasa kesepian dia akan menjadi temanmu yang baik. Engkau tidak perlu berminyak air terhadapnya dan juga tidak akan berkecil hati. Dia adalah teman yang tidak menipu atau bermuka dua”, begitu al-Jahiz menulis. (Ahmad Syalabi, 1973: 136) Dengan demikian, bagi mereka perpustakaan lebih berharga dari segalanya. Bukan hanya ulama' dan para khalifah yang mendirikannya. Tetapi orang-orang awam pun ikut menyemarakkan dalam pembangunannya.
Dalam perpustakaan, lanjut Syalabi, selain terdapat ruangan-ruangan tempat buku, juga terdapat kamar-kamar dan ruangan-ruangan yang dilengkapi dengan permadani dan tikar-tikar yang bagus serta perabot-perobot untuk berbagai macam kepentingan lain. Seperti membaca, menyalin, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyediakan kamar-kamar untuk musik. Untuk kemudahan dalam mencari buku, dibuatlah manajemen yang rapi. Selain disediakan katalok, juga terdapat tulisan tentang nama dan nomor-nomor buku yang ditempel di setiap almari, dan keterangan tentang halaman yang sudah hilang. Perpustakaan-perpustakaan tersebut juga memberikan fasilitas pinjaman, bahkan hal itu diutamakan, dengan persyaratannya sendiri-sendiri, seperti terbatas masanya, harus dijaga keotentikan isi buku dan lain-lain. Sehingga tidak perlu lagi orang yang ingin membaca buku, membelinya terlebih dahulu. (Ahmad Syalabi, 1973: 141-168)
Untuk bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, perpustakaan memiliki beberapa petugas dengan jabatannya masing-masing, dan berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lain. Beberapa jabatan yang secara umum terdapat pada setiap perpustakaan antara lain pemimpin perpustakaan, penerjemah, penurun, penjilid dan pembantu. Pada umumnya, segala biaya perpustakaan, seperti bangunan, mendatangkan buku baru, gaji pegawai dan lain-lain, ditanggung oleh dana wakaf dari pemerintah. Sehingga dalam hal gaji, besar kecilnya gaji pegawai perpustakaan bergantung pada besarnya dana wakaf.
Di antara perpustakaan-perpustakaan tersebut, ada yang diperuntuk-kan bagi masyarakat umum, semi-umum dan ada yang khusus. Perpustakaan jenis pertama didirikan oleh khalifah, wazir, maupun penguasa lokal di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaan mereka. Perpustakaan ini jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di Baghdad (yang memiliki 36 perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga perpustakaan yang terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu kota propinsi (termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan sepanjang wilayah Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia. (Charles Michael Stanton, 1994: 160-161)
Di antara perpustakaan tersebut, sebut Syalabi, adalah Bait al-Hikmah, yang didirikan khalifah Hârûn al-Râsyid di Baghdad, perpustakaan al-Haidariyah di Najaf yang mendapatkan perhatiannya dari 'Adûd Daulah dari dinasti Buwaihi, perpustakaan Ibn Sawwar yang didirikan di Basrah oleh Abû 'Alî ibn Sawwar orang dekat 'Adûd Daulah, perpustakaan di masjid al-Zaidi yang pendiriannya disponsori oleh 'Adûd al-Dîn Muhammad, seorang wazir dari khalifah al-Mustadhi' bi Amrillâh, Dâr al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Hâkim bi Amrillâh di Kairo. (Ahmad Syalabi, 1973: 169-178). Jumlah seri yang ada di perpustakaan-perpustakaan (umum) tersebut, tegas Stanton, sulit diprediksi, karena data-data dari abad-abad itu (baca: klasik) cenderung melebih-lebihkan. Tetapi banyak perpustakaan dilaporkan memiliki antara 100.000 dan 1.000.000 volume. (Charles Michael Stanton, 1994: 168)
Dalam Bait al-Hikmah terdapat pula sanggar sastra, lingkaran studi, observatori; penerjemahan dan penerbitan yang semuanya berada dalam pengawasan khalifah. Perpustakaan yang dianggap juga sebagai "Akademi Ilmu Pengetahuan" ini, merupakan lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di sanalah al-Kindi (w. 873 M.) mendirikan sekolah berbahasa Arab yang mengajarkan filsafat peripatetik yang kemudian dikembangkan oleh al-Fârâbi, Ibn Sînâ, dan Ibn Rusyd. Di tempat ini juga al-Khawârizmî tidak hanya memberikan kontribusinya bagi filsafat, teologi, matematika, tetapi juga melakukan penelitian di laboratorium perbintangan.
Sementara perpustakaan semi-umum, tidak diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat, tetapi bukan pula khusus bagi pendirinya, karena memang bukan itu tujuannya. Perpustakaan jenis ini didirikan oleh para khalifah dan raja dengan maksud memuliakan dan menghargai serta agar dekat dengan ilmu pengetahuan. Dan diperuntukkan bagi mereka yang mendapatkan izin. Sebagaimana dikatakan al-Maqdisi: tidak dibolehkan mengunjungi perpustakaan ini kecuali mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Perpustakaan jenis ini, begitu Stanton, seringkali melayani kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan para ilmuwan dan mahasiswa, di samping menyediakan kamar-kamar untuk belajar mandiri dan untuk penggunaan buku-buku dalam jumlah yang sangat banyak. Sejarah mencatat bahwa para patron yang kaya raya tidak saja menyediakan kertas, tinta dan pena, tetapi juga makanan, tempat menginap bahkan pesangon bagi orang-orang yang terbatas sumber keuangannya. (Charles Michael Stanton, 1994: 166-167)
Perpustakaan ini dimisalkan seperti perpustakaan al-Nâshir li Dînillâh, yang memerintah pada 575-622 H. / 1179-1225 M. Perpustakaan ini memuat buku yang amat banyak. Sebagian buku yang ada, diceritakan telah memenuhi tiga perpustakaan yang besar-besar. Selanjutnya, perpustakaan al-Musta'shim billâh, seorang khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyyah, yang dikenal dengan Khizânah al-Kutub. Bahkan al-Musta'shim mendirikannya di dua tempat. Dan terakhir perpustakaan-perpustakaan para khalifah Fathimiyah di Kairo. Terdapat banyak pendapat tentang jumlah buku dalam perpustakaan tersebut. Abû Syamah menyebutkan terdapat 2.000.000, sementara al-Maqrizi menyatakan terdapat 1.600.000 buku. (Ahmad Syalabi, 1973: 182-185; Mahmud Yunus, 1990: 93-94)
Sedangkan perpustakaan khusus, selain didirikan oleh bangsawan juga didirikan oleh para ulama' dan sastrawan, khusus untuk kepentingan mereka sendiri. Perpustakaan jenis inipun memiliki jumlah yang amat banyak. Di antara perpustakaan ini adalah perpustakaan al-Fath ibn Khaqan (w. 247 H. / 861 M.), seorang wazir dari khalifah al-Matawakkil yang juga seorang ulama' yang memiliki kegemaran membaca; perpustakaan Hunain ibn Ishâq (w. 264 H. / 877M.), seorang dokter dan penerjemah besar pada masa al-Ma'mûn, yang menguasai bahasa Yunani, Suryani dan Persia; perpustakaan Ibn al-Khasysyab (w. 567 H. / 1171 M.), seorang ulama' yang pandai dalam disiplin bahasa (Arab), tafsir, hadits, dan nasab; perpustakaan al-Muwaffaq ibn Mathran (w. 587 H.), yang disebut Syalabi sebagai seorang yang berotak tajam dan pandai dalam ilmu kedokteran; perpustakaan Jamaluddîn al-Qifthi (w. 646 H.), seorang wazir yang mahir dalam ilmu nahwu, bahasa, fiqh, 'ulum al-Qur'an, ushul, manthiq, astronomi, ilmu ukur dan sejarah; perpustakaan al-Mubasysyir ibn Fatik (w. abad V), salah seorang pangeran Mesir yang terkemuka. (Ahmad Syalabi, 1973: 188-194)
Karena perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak berjalan di bawah pengawasan pemimpin-pemimpin pemerintah dan keagamaan, maka karya-karya sains dan filsafat Yunani terus berkembang di perpustakaan ini, sekalipun pada masa pemberantasan ide-ide asing yang dimulai selama kekhalifahan al-Mutawakkil (abad ke-IX). Hal tersebut pada gilirannya memberikan kepuasan tersendiri bagi para ilmuwan, sebagaimana yang dirasakan oleh Ibn Sînâ yang terungkap dalam catatan hariannya. Bahwa ia memiliki kebanggaan khusus di perpustakaan milik seorang ratu di propinsinya. Demikian juga ilmuwan-ilmuwan lain, mereka mengakui kemajuan intelektualnya dengan dihadirkannya perpustakaan oleh para hartawan dan majikan yang lebih ningrat. (Ahmad Syalabi, 1973: 166)
Perpustakaan-perpustakaan yang merupakan tradisi pendidikan tinggi dalam dunia Islam tersebut, dicatat para sejarawan Barat, sebagai warisan intelektual dan kebudayaan Islam yang paling berharga dan sangat memengaruhi kemajuan peradaban Eropa. Herbert A. Devies dalam An Outline History of the World, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, mengatakan, umat Islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen. Universitas di Baghdad, Kairo, dan Kordova khususnya, merupakan pendidikan tinggi yang termasyhur. Banyak orang Kristen yang belajar pada universitas-universitas Islam, terutama di universitas Kordova. Orang-orang Kristen tersebut kemudian membawa ilmu dan kebudayaan ke negeri-negeri asal mereka serta pengaruh universitas Spanyol atas universitas Paris, universitas Oxford dan universitas-universitas lainnya yang mereka bangun di Itali. (Azyumardi Azra, 1999: 104-105)
Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak bisa lepas dari institusi sebelumnya, terutama masjid. Pendidikan yang terus berkembang memaksa bertambahnya jumlah halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sudah pasti hal itu menimbulkan suasana ricuh. Terutama ketika proses pendidikan menggunakan sistem tanya jawab, debat dan diskusi, sebagai implikasi perkembangan pendidikan. Semua itu menyebabkan terganggunya fungsi utama masjid, yakni untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Sebagai solusi, ditambahlah masjid itu dengan ruangan-ruangan khusus untuk pendidikan ('iwân), pemondokan dan lain-lain, yang terus mengalami perkembangan sesuai kebutuhan. Inilah yang menjadi ciri madrasah ketika itu dan yang sekaligus membedakannya dengan masjid. (Ahmad Syalabi, 1973: 107). Makdisi menyebut madrasah ini sebagai masjid-khan.
Ketika Bani Saljuk berkuasa atas kekhalifahan Abbasiyyah, di bawah kekuasaan Alp Arslân (1063-1072) M.) dan Mâliksyah (1072-1092 M.), seorang wazir, Nidlâm al-Mulk, pada 1065 M. mendirikan madrasah yang lebih independen, tidak tergabung dengan masjid, di Baghdad. Sebuah prototipe madrasah yang didirikan pertama kali sepanjang sejarah pendidikan umat Islam, yang diberi nama madrasah Nidlâmiyah. (Ahmad Syalabi, 1973: 110) Madrasah tersebut memiliki prestise yang tinggi dan menjadi model bagi pendirian madrasah di zamannya dan sesudahnya. Stanton mengilustrasikan madrasah tersebut sebagai madrasah yang paling unggul pada abad XI, yang menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi dan model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. (Charles Michael Stanton, 1994: 49) Sehingga, menurut Hasan 'Abd al-'Al, munculnya madrasah Nidlâmiyah ini merupakan indikasi bagi lahirnya era baru dari tahapan perkembangan institusi pendidikan Islam. Melihat corak kajiannya, madrasah (Nidlâmiyah) dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan yang bercorak fiqh dan hadits, setidaknya pada masa Abbasiyyah di Baghdad. (Maksum, 1999: 51-52)
Dengan kekhasannya sendiri, madrasah lebih unggul dibanding dengan institusi yang lain. Segera setelah perkembangan masjid dan Kuttâb, madrasah berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim di masanya, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu dan kebutuhan. (Charles Michael Stanton, 1994: 48) Pada abad ke-11 M. pola dasar pembangunan lembaga pendidikan tinggi yang terpisah dari masjid (baca: madrasah) --dengan implikasi kontrol otoritas keagamaan yang melekat padanya-- namun tetap diabdikan kepada pandangan teologis tertentu sangat populer, dan hal ini berlangsung terus hingga saat sekarang di negara-negara Islam. (Charles Michael Stanton, 1994: 47)
Ibn Jubayr, sebagaimana dikatakan Hitti, menjelaskan bahwa di Baghdad terdapat sekitar tiga puluh madrasah, di Damaskus terdapat dua puluh madrasah, di Mosul terdapat sekitar enam madrasah dan di Hims terdapat satu madrasah. Madrasah-madrasah tersebut didirikan secara pribadi oleh para saudagar, ulama' maupun penguasa. (Philip K. Hitti, 2005: 518) Nidlâm al-Mulk sendiri, jelas Ahmad Syalabi, telah membuka cabang madrasahnya di beberapa wilayah, seperti Baghdad, Balkh, Nisabur, Harat, Asfahan, Bashrah, Marwu, Amal dan Mausil. Bahkan al-Subki mengatakan Nidlâm al-Mulk mempunyai madrasah di setiap kota di Iraq dan Khurasan. (Ahmad Syalabi, 1973: 112). Setelah itu, ide ini masuk ke wilayah Syam, dan pada tahun 491 H. / 1097 M. didirikanlah madrasah dengan mengambil Damaskus sebagai tempat. Dari situ meluas lagi ke Mesir di bawah kendali Shalâhuddîn al-Ayyûbi, yaitu mulai tahun 567 H. / 1171 M. (Hasan Langgulung, 2000: 125)
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah tersebut, sekurang-kurangnya diwarnai oleh tiga faktor. Pertama, faktor transformasi madrasah. Sebagaimana disinggung di atas, madrasah adalah transformasi dari masjid, maka madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan. Kedua, faktor aliran keagamaan. Madrasah merupakan lembaga pendidikan aliran Sunni. Sebagai reaksi terhadap doktrin dan kepercayaan-kepercayaan Syi'ah yang ditanamkan sebelumnya oleh Dinasti Buwaihi dan Fathimiyah yang dinilai batil. Sehingga untuk meluruskan keberagamaan umat, pelajaran yang dinilai efektif adalah ilmu agama, al-'ulûm al-naqliyyah. Yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur'an seperti Tafsir, Qira'at, Hadits, Ushul Fiqh dan Fiqh sebagai kajian inti; serta al-'ulûm al-lisâniyyah, seperti bahasa dan sastra, nahwu, sharaf. (Ahmad Syalabi, 1973: 109). Dan tidak mengajarkan mantiq serta tradisi berpikir filsafat. Keadaan ini menyebabkan madrasah kurang mendapat motivasi untuk memperhatikan ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika dan filsafat, seperti ilmu pasti dan kealaman, kedokteran, kimia, fisika dan lain-lain. Kecuali di madrasah al-Dikhwariyah, yang dibangun pada 621 H. / 1224 M. oleh Muhadzdzab al-Dîn al-Dikhwâr (w. 628 H. / 1231 M.) dan madrasah al-Dunaysariyah yang didirikan oleh Imâd al-Dîn al-Dunaisari, keduanya adalah pakar dalam ilmu kedokteran. Di sekolah tersebut dipelajari ilmu kedokteran. (Ahmad Syalabi, 1973: 118)
Ketiga, faktor politik pemerintah. (Mahmud Yunus, 1990: 72) Keterlibatan pemerintah dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidak dapat dielakkan. Bahkan pendidikan (madrasah) merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa pejabat pemerintah yang disinyalir sebagai memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah adalah: Nidlâm al-Mulk (456-485 H. / 1063-1092 M.), Nûr al-Dîn Zanky (541-569 H. / 1146-1174 M.), Shalâhuddîn al-Ayyûbi (564-589 H. / 1169-1193 M.), dan al-Mustanshir bi Allâh (623-640 H. / 1226-1242 M.). (Ahmad Syalabi, 1973: 113-117)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan dan kepentingan mereka dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menentukan. Dengan kata lain, madrasah merupakan kebijakan religio-politik bagi penguasa.
Bangunan madrasah dilengkapi dengan satu perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama. Tersedianya (dalam perpustakaan) berbagai karya lebih dari sekedar buku-buku pelajaran meningkatkan pengalaman belajar siswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada sejumlah tulisan, lebih dari sekedar kebutuhan langsung pengajaran. Selain itu, dalam konteks Nidlâmiyah, Nidlâm al-Mulk menyediakan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, imam dan siswa (dengan beasiswa dan asrama). Bantuan bagi siswa inilah yang sekaligus membedakan antara madrasah dengan masjid-akademi. (Charles Michael Stanton, 1994: 47)
Madrasah (dalam bentuk klasiknya) yang dalam ilustrasi Stanton dapat disebut sebagai akademi (college) dalam konteks sekarang, di masa-masa berikutnya memiliki pengaruh yang luas dan monumental. Beberapa ilmuwan --baik muslim maupun Barat-- dalam karya masing-masing sebagaimana dikutip oleh para ilmuwan yang lebih belakangan, telah mengakui pengaruh yang sangat dominan ini, baik terhadap tradisi keilmuan maupun praktek pendidikan dalam Islam (sendiri) maupun bagi bangsa-bangsa Eropa.
Dalam Islam misalnya, sebagaimana ditulis Hitti, madrasah (Nidlâmiyah) merupakan model bagi pembangunan akademi-akademi (madrasah) lainnya yang tersebar di wilayah Khurasan, Irak dan Suriah. (Philip K. Hitti, 2005: 518). Prestise dan daya tarik al-Ghazâlî (salah seorang pengajarnya) juga masih terus mewarnai pergumulan pemikiran tokoh-tokoh Islam, bahkan hingga kini.
Sementara pengaruhnya bagi Barat, lanjut Hitti, Reubin Levy mengatakan, sebagian sejarawan mengatakan bahwa beberapa detil organisasi sekolah ini (baca: madrasah) ditiru oleh orang Eropa untuk membangun universitas-universitas mereka yang pertama. Senada dengan statemen tersebut, al-Dailamî sebagaimana ditulis Maksum, juga menyatakan bahwa pendirian universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nidlâmiyah). Begitu juga George Makdisi, masih dalam kutipan Maksum, dalam beberapa tulisannya membuktikan, bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah. (Maksum, 1999: 75, Hasan Langgulung, 2000: 126)
Stanton juga menjelaskan, walaupun pengaruh ilmu dan peradaban Islam terhadap pendidikan Barat dianggap oleh kalangan Kristen Barat lebih bersumber pada lembaga-lembaga informal dan pribadi yang dikembangkan melalui perpustakaan, rumah sakit, observatorium dan lain-lain, namun mereka tidak bisa mengabaikan lembaga dan metode pengajaran yang berlangsung dalam madrasah. (Charles Michael Stanton, 1994: 209-210) Pengaruh tersebut tentunya tidak terlepas juga dari terselamatkannya madrasah Nidlâmiyah dalam melewati malapetaka besar, yakni ketika Hulagu Khan pada tahun 1258 menyerang Baghdad. Juga serangan dari bangsa Tartar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar