Kurikulum di sini lebih difahami dalam pemahaman masa lalu, yaitu sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Berangkat dari pengertian tersebut, dan karena pada masa itu telah dikenal tiga jenjang pendidikan, yaitu dasar, menengah dan tinggi, maka ketiga jenjang tersebut memiliki kurikulum sendiri-sendiri. Sungguhpun kurikulum tersebut tidak jauh berbeda dari sisi nama pelajaran namun dari sisi materi berbeda.
Pada tingkat pertama atau dasar, mata pelajaran secara keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Qur'an, b) pokok-pokok agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah tokoh e) membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok nahwu dan sharaf. Kurikulum seperti ini tidak dapat diketemukan dalam sebuah institusi, akan tetapi setiap daerah mempunyai kurikulumnya sendiri. Di Maroko misalnya, hanya diajarkan al-Qur'an dan rasm (tulisan)-nya. Di Andalusia diajarkan al-Qur'an, menulis, syair, pokok-pokok nahwu dan sharaf serta khat. Di Tunisia diajarkan al-Qur'an, hadits dan pokok-pokok ilmu agama terutama hafalan al-Qur'an. (Mahmud Yunus, 1990: 49)
Sedang pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a) al-Qur'an, b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu, sharaf, serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh, k) ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Sebagaimana pada jenjang dasar, mata pelajaran tersebut diajarkan di daerah yang berbeda-beda. Hal ini sekaligus sebagai konsekuensi dari institusi yang digunakan, yaitu masjid. Ia dikelola oleh masing-masing syaikh atau mudarris. Hal mana ia memiliki kewenangan untuk menentukan disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Sungguhpun secara umum disiplin ilmu yang diajarkannya adalah fiqh dan ilmu-ilmu agama, namun hal itu tidak selamanya berlaku secara konsisten pada semua masjid. Bahkan ada (juga) masjid yang cenderung mengajarkan ilmu-ilmu umum (al-'ulûm al-'aqliyyah).
Berbagai halaqah di masjid (jâmi') misalnya, menawarkan pelajaran hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh, nahwu, sharaf, dan sastra (syair) Arab. Sementara di masjid lain, sebagaimana dideskripsikan Ahmad Syalabi, dimisalkan seperti masjid jâmi' al-Tuluni (berdiri 256 H.) dipelajari tafsir, hadits, fiqh dalam empat madzhab, qira'at, kedokteran dan hisab. Sementara di masjid jâmi' al-Azhâr, diajarkan ilmu kedokteran, yang diselenggarakan pada waktu tengah hari pada tiap-tiap hari. (Ahmad Syalabi, 1973: 105)
Berbeda dengan kedua jenjang sebelumnya, pendidikan tinggi lebih fleksibel dan berbeda antara satu institusi dengan yang lain. Secara umum pendidikan tinggi ini mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara lain: a) tafsir al-Qur'an, b) hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu / sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari antara lain: a) manthiq, b) ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d) ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f) falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati, j) ilmu kedokteran. Selama masa itu belum dikenal spesialisasi mata pelajaran. (Mahmud Yunus, 1990: 49) Hal terakhir ini ditentukan setelah seorang siswa tamat dari pendidikan tinggi. Yang didasarkan pada bakat dan kecenderungan masing-masing, sesudah praktek mengajar selama beberapa tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar