Sabtu, 25 Agustus 2018

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEEMASAN (Menguak Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyyah)


PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEEMASAN
Menguak Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyyah

Abd. Azis
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Pati

Abstract

The Bani Abbasid caliphs was the second dynasty after the death of the Prophet and the Righteous `al-Rashideen who controlled the religion-state of Islam. In that time Islamic civilization reached the valuable, and in that time such civilizations also eventually decline. Until now, Islam has not been able to rise to regain these civilizations.
The history records that the reign period of Bani Abbasid was approximately five centuries (132-656 AH / 750-1240 AD), but the progress that is the original product of the Abbasid Dynasty was the progress that appeared in 132-232 AH., which is called as the first period.
This research uses socio-historical methods and approaches. These methods and approaches associated with the development or evolution of society in the proper chronological rules and based on the authentic, real, and factual history, not on a legend or fiction. Hereinafter these methods and approaches are used to assess the Muslim community about the social interaction during the Bani Abbasid Caliphs, particularly in its relevance to the education and the development of science.
This study has revealed that, during the reign of Bani Abbasid, the spirit community on science was so high. This, on the one hand, due to the realization of calls for the holy book and which was exemplified  and passed  by the Prophet, and on the other hand due to the expansion of Islamic territory, which in turn occured a touch between the local civilizations with the civilization in the conquered regions. They did not give priority to one science (the science of religion) over another (general science). In their eyes all the science is very important to know. The amount of science they were learning and their burning passion necessitated a number of places used for learning.
Ultimately the researcher concluded, although in a simple format, the education in the Bani Abbasid had taken many places as the ongoing process of learning and teaching institution, there were at least seven institutions. The curriculums or the materials that were learned at that time included the science of religion and general science. That great variety of such materials as well as indicated the diversity of methods which were adopted in the teaching and learning. The method selection depended on the materials, places, and conditions of students. All of that at once illustrated and were not separated from environmental factors (socio-community) that very supportive.
Simak
Baca secara fonetik


Kata kunci: Pendidikan Islam, Periode Klasik, Bani Abbasiyyah


A. Pendahuluan
Dalam percaturan dunia, Islam yang tumbuh subur di belahan dunia bagian timur dinilai berada di dunia ketiga atau dalam posisi marjinal. Posisi yang sangat tidak menguntungkan ini dialami sejak runtuhnya kekhalifahan Bani Abbasiyyah di tangan tentara Mongol dan Tartar pada tahun 1240 M. Khalifah Bani Abbasiyyah adalah dinasti kedua pasca wafatnya Rasulullah dan Khulafâ` al-Râsyidîn yang mengendalikan negara-agama Islam. Di masanyalah Islam mencapai peradabannya yang adiluhung, dan di masanya pula peradaban tersebut akhirnya mengalami kemunduran.  Hingga kini Islam belum mampu bangkit untuk meraih kembali peradaban tersebut. Sementara bangsa Barat yang telah bangkit sejak masa renaissance di Abad XIV terus meroket hingga kini.
Fakta ini (baca: kemunduran Islam) memang hal yang kontradiktif, mengingat Islam secara normatif adalah agama rasional, agama peradaban dan tepat menjadi agama masa depan umat manusia. Al-Qur'an, kitab suci agama Islam yang tak pernah tertandingi oleh siapapun, adalah sebuah kitab inspirator sekaligus motivator besar bagi tumbuhnya sebuah peradaban di setiap zaman dan tempat. Tentunya hal ini bukan hanya isapan jempol. Besarnya peradaban yang terjadi ketika tampuk pemerintahan umat muslim dikendalikan oleh Bani Abbasiyyah adalah bukti riil betapa al-Qur'an adalah kitab inspirator dan motivator. Al-Qur'an, kala itu, benar-benar difahami dan diejawantahkan dalam kehidupan masyarakat, sehingga kondisi umat benar-benar merupakan refleksi daripada al-Qur'an terutama dalam pendidikan umat.
Kemajuan yang diraih umat muslim (dalam pendidikan) pada masa itu pada gilirannya menjadi kontribusi besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan pada masa-masa berikutnya. Bukan saja bagi umat muslim  sendiri, akan tetapi bagi dunia. Demikian pengakuan mayoritas penulis Barat. Hingga dekade belakangan ini sumbangan Islam bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama, adalah sebagai jembatan antara capaian-capaian Yunani dengan Eropa pada Abad Pertengahan. (Charles Michael Stanton, 1994: 36) 
Tentunya kemajuan tersebut memiliki karakter, situasi-kondisi dan cirinya sendiri, baik yang berkaitan dengan kondisi sosial, ghirah umat dan pemerintah, dan lain-lain yang pada gilirannya membedakan antara umat muslim di masa kekhalifahan Abbasiyyah dengan masa-masa setelahnya. Dengan demikian, pengkajian terhadap fakta tersebut menjadi sangat mendesak, guna membangun kembali kemajuan yang telah runtuh. Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menguak kembali data-data yang berkaitan dengan Bani Abbasiyyah. Pembahasan ini akan difokuskan pada: Apa saja lembaga pendidikan yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyyah? Bagaimana kurikulum pendidikan yang ada pada masa itu? Bagaimana metode pembelajaran yang mereka lakukan? Serta bagaimana kondisi masyarakatnya? 
B. Sejarah Peradaban pada Masa Bani Abbasiyyah (132-656 H. / 750-1240 M.)
Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, masa Khalifah Abbasiyyah  merupakan masa kejayaan bagi peradaban Islam. Jika pada masa Bani Umayyah (satu masa sebelum masa Bani Abbasiyyah) Islam mendapatkan wilayahnya yang sangat luas, maka pada masa Khalifah Abbasiyyah Islam mendapatkan peradabannya yang adiluhung. Tak satu pun peradaban dunia, ketika itu, yang lebih tinggi dari peradaban Islam. Sehingga ia patut dikatakan sebagai super power yang berkuasa di sebagian besar negara-negara yang mencakup di tiga benua.
Bani Abbasiyyah berkuasa selama kurang lebih lima abad. Suatu masa yang jauh lebih panjang dibanding masa kekuasaan Bani Umayyah, yang hanya mampu bertahan selama 90 tahun. Masa yang panjang ini dipimpin oleh 37 khalifah. Masing-masing khalifah memiliki masa kekuasaan, problematika, gejolak politik sendiri-sendiri. Berangkat dari hal itu, Syalabi mengklasifikasi masa ini menjadi tiga periode. Periode pertama tahun 132-232 H. (sejak Abû al-'Abbâs al-Saffah hingga Abû Ja'far Hârûn al-Wâtsiq), di mana para khalifah Abbasiyyah berkuasa penuh. Periode kedua tahun 232-590 H. (sejak Abû al-Fadhl Ja'far al-Mutawakkil hingga Abû al-'Abbâs Ahmad al-Nâshir), tatkala kekuasaan Abbasiyyah sebenarnya berada di tangan orang lain. Dan periode ketiga 590-656 H. (sejak Abû al-'Abbâs Ahmad al-Nâshir hingga Abû Ahmad 'Abdullâh al-Musta'shim) kembalinya kekuasaan Abbasiyyah di tangan mereka tetapi hanya di sekitar Bahgdad saja. (Ahmad Syalabi, 1973: 17-19).
Kemajuan yang diraih Bani Abbasiyyah ini, diawali dengan ekspansi yang terjadi pada masa Bani Umayyah; yang pada gilirannya menimbulkan persentuhan peradaban antara Islam (Arab) dengan daerah-daerah taklukan. Khazanah intelektual Yunani klasik yang terdapat di Mesir (Aleksandria), Syria (Antakia), Irak (Judisapur), Mesopotamia dan Persia (Bactra) pada masa ini mulai dipelajari oleh para ilmuwan (muslim), dengan dukungan para khalifah periode awal yang memiliki corak pemikiran rasional, sebagai pengaruh teologi Mu'tazilah. (Harun Nasution, 1998: 131). Hal ini pada gilirannya menyuburkan semangat ilmiah di kalangan umat muslim, dan akhirnya lahirlah para ilmuwan --disertai karya-karya mereka-- dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama maupun profan.
Setelah para khalifah periode pertama berlalu, maka naiklah para khalifah periode kedua sebagai penerus, yang jauh berbeda sifat dan karakternya --di samping perbedaan aliran teologi, yang dalam hal ini para khalifah periode kedua (dan ketiga) adalah para pengikut aliran Sunni-- dengan para khalifah pendahulunya. Gerakan sparatis yang berhasil ditekan pada masa sebelumnya, muncul kembali bahkan semakin meluas, sehingga disintegrasi tidak dapat dielakkan lagi. (Ali Mufrodi, 1997: 106). Di saat inilah muncul kekuatan lain yang naik ke atas panggung kekuasaan untuk mengendalikan tampuk pemerintahan, namun tidak disertai dengan penurunan para khalifah dari kursi kekuasaannya. Sikap ini berimplikasi pada hilangnya peran seorang khalifah. Para khalifah tidak lebih dari sebuah simbol yang tidak punya wewenang apa-apa dalam pemerintahan. Bahkan kedudukan tersebut berada dalam kontrol mereka. Sehingga mereka dapat menaikkan dan menurunkan khalifah sesuka hati.
Sejarah telah mengabadikan tiga kekuatan yang berhasil mengambil alih kendali pemerintahan Abbasiyyah tersebut. Yaitu: kaum Turki (232-334 H.), golongan Bani Buwaihi (334-447 H.) dan golongan Bani Saljuk (447-590 H.). Dengan demikian, sungguhpun sejarah mencatat bahwa masa berkuasa Bani Abbasiyyah adalah kurang lebih lima abad (132-656 H. / 750-1240 M.) dan disaksikan sejarah sebagai dinasti yang mampu melahirkan peradaban Islam adiluhung yang tak terkalahkan oleh kekuatan manapun di zamannya, akan tetapi kemajuan-kemajuan yang merupakan produk orisinil dari Dinasti Abbasiyyah hanyalah kemajuan yang muncul dalam 132-232 H., yang disebut sebagai periode pertama.
Kekuatan pertama (kaum Turki) selama berkuasa, relatif tidak memiliki prestasi dalam membangun peradaban terutama dalam pendidikan. Hanya kekejamannyalah yang menghiasi sejarah kekuasaannya. Hal itu ditunjukkan dengan sikapnya yang membunuh dengan didahului oleh penyiksaan tak manusiawi terhadap para khalifah Abbasiyyah di masanya, di samping munculnya disintegrasi yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil. Sementara pada masa Dinasti Buwaihi yang Syi'ah, kehidupan ilmiah yang terjadi pada masa periode pertama, mampu muncul kembali --dalam format yang lebih sederhana-- terutama pada masa kejayaan dinasti ini yang berada dibawah kepemimpinan 'Adûd al-Dawlah (949-983 M.) dan kedua putranya, Syaraf al-Dawlah (983-989 M.) dan Bahâ' al-Dawlah (989-1012 M.). (Philip K. Hitti, 2005: 599-601)
Kekuatan terakhir adalah Dinasti Saljuk, yang mempunyai hubungan baik dengan para khalifah, karena keduanya sama-sama berpegang pada aliran Sunni. Prestasi yang diraih oleh dinasti ini adalah pendirian madrasah, sebagai institusi pendidikan tinggi, oleh wazir Nidlâm al-Mulk dibawah sultan Alb Arslân dan Mâliksyah. Madrasah ini bukan saja didirikan di Baghdad, tetapi juga di kota-kota lain. Al-Subki menjelaskan bahwa Nidlâm al-Mulk mempunyai sekolah di setiap kota di Iraq dan Khurasan. (Ahmad Syalabi, 1973: 290)
Setelah berakhirnya dinasti Saljuk, maka berakhir pula intervensi asing terhadap pemerintahan Abbasiyyah dan akhirnya exis kembali, dengan wilayah kekuasaannya (pada periode ketiga) yang sangat terbatas. Masa ini berlaku hingga tentara Mongol dan Tartar datang di tahun 656 H. menyerbu masuk ke dalam Islam, membunuh khalifah dan keluarganya, dan mengumumkan tamatnya pemerintahan Abbasiyyah.
C. Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyyah 
1.  Institusi Pendidikan
Semangat ilmiah yang tumbuh subur pada masa ini pada gilirannya menjadi motivator bagi majunya pendidikan. Terjadilah di masa ini revolusi ilmu pengetahuan. Pendidikan non-agama, profan, yang telah ditanam 'Umar ibn Khaththâb dalam kurikulum pendidikan di zamannya, mengalami perluasan sedemikian rupa sehingga meliputi berbagai bidang, yang pada akhirnya menjamurlah kegiatan pendidikan dengan banyak mengambil tempat dalam pelaksanaannya.
Sampai Abad IV H., begitu Hasan 'Abd. al 'Al dalam kutipan Suwendi, telah berdiri tujuh lembaga pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik dan kajiannya sendiri-sendiri. Ketujuh lembaga tersebut adalah: a) kuttab, b) masjid, c) toko kitab, d) rumah, e) sanggar seni dan sastra, f) perpustakaan, dan g) madrasah. (Suwendi, 2004: 21)
Dengan mempertimbangkan materi pendidikan (mata pelajaran) yang diajarkan, selanjutnya institusi-institusi tersebut dapat diklasifikasi-kan menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau dasar, yang meliputi: kuttab, rumah, toko, istana, dan terkadang berlangsung juga di pasar. Kedua, tingkat menengah, yang meliputi: masjid serta sanggar seni dan sastra. Ketiga, tingkat tinggi yang meliputi: masjid, perpustakaan, dan madrasah. (A. Tafsir dkk, 2004: 259)
Kuttâb sebagai tempat belajar, bahkan sudah ada sejak masa pra-Islam. Karena Islam menekankan pendidikan (di antaranya baca-tulis) bagi umatnya, maka kehadiran Islam mendesak perkembangan Kuttâb. Pada mulanya Kuttâb ini digunakan sebagai tempat belajar baca-tulis, terutama bagi anak-anak, dan seringkali dilakukan oleh orang-orang Kristen (kafir dzimmi dan tawanan-tawanan perang Badar), dan berlokasi di luar masjid. Pengajaran ini dilakukan dengan menggunakan syair-syair yang terkenal pada masanya. Hal itu, untuk menghindarkan diri dari menggunakan al-Qur'an. Sebab penggunaan al-Qur'an untuk belajar menulis dipandang kurang etis.
Pengajaran al-Qur'an serta masalah keagamaan, pada awalnya, dilaksanakan di masjid secara non-formal. Akan tetapi, karena anak-anak (sebagai bagian dari murid yang belajar di masjid) tidak dapat menjaga kebersihan dan kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat khusus (kuttâb) di samping masjid. Sejak itulah pendirian kuttâb semakin meningkat (di setiap desa terdapat satu atau lebih), sehingga muncullah dua jenis kuttâb. Satu kuttâb untuk pendidikan sekuler (secular learning), dan yang lain untuk pendidikan agama (religious learning).
Di antara kuttâb-kuttâb tersebut, begitu 'Izzudîn 'Abbâs, ada yang mengharuskan bagi siswanya untuk membayar biaya pendidikan, yakni bagi  yang kaya, dan ada yang bebas biaya, tentunya bagi para murid yang miskin. Jenis kuttâb yang terakhir ini dikenal juga dengan nama Kuttâb al-sabîl (pondok orang dalam perjalanan). (Hasan Langgulung, 2000: 123)
Namun pada masa Bani Abbasiyyah keadaan tersebut mengalami pergeseran. Al-Qur'an, sebagai kurikulum utama, dipelajari bersama dengan pelajaran baca-tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah Nabi (terutama hadits-hadits Nabi Muhammad saw.), aritmatika serta puisi. Inilah yang disaksikan ibn Jubayr ketika mengunjungi Damaskus pada 1184 M. (Philip K. Hitti, 2005: 512)
Rumah yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan di masa ini antara lain: rumah Ibnu Sînâ, al-Abû Sulaimân al-Sijistani (w. 390 H.), al-Ghazâlî, 'Alî ibn Muhammad al-Fasihi, Ya'kûb ibn Killis seorang Wazîr Khalifah al-'Azîz al-Fâthimy, Ahmad ibn Muhammad Abû Thaher (w.576 H.). Disiplin ilmu yang dipelajari di institusi ini meliputi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dengan tempatnya sendiri-sendiri.
Sementara istana --dan atau kediaman para bangsawan-- secara khusus juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan oleh kalangan elit khalifah atau kaum bangsawan, yang diilhami oleh halaqah-halaqah yang ada di masjid. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa.
Toko, pada dasarnya merupakan tempat jual-beli kitab yang mulai menjamur di saat ini karena ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mulai tumbuh dan berkembang. Al-Ya'qûbî meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891 M.) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko-toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang kemudian muncul di Damaskus dan Kairo, lebih kecil dari ruangan samping masjid, tetapi ada juga yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk pusat penjualan sekaligus sebagai pusat aktivitas para ahli dan penyalin naskah.( Philip K. Hitti, 2005: 521 ) Di saat ini mulai bermunculan para ulama' yang menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kitab-kitab tersebut selanjutnya dibeli oleh pemilik toko untuk dijual kembali.
Saudagar-saudagar tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba, dengan berjualan. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas, yang telah memilih jalan ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama' dan pujangga. (Ahmad Syalabi, 1973: 53) Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan rumah seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah. Tidak jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat sekitarnya untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan. (Charles Michael Stanton, 1994: 163) Selain itu, mereka dapat menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kembali kepada mereka yang memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqût, yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; Âlî ibn 'Îsa, yang oleh Yaqût dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Nâdim --dikenal juga dengan nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik. (Charles Michael Stanton, 1994: 163).
Masjid sebagai lembaga pendidikan menengah, muncul sekitar Abad VIII M. Pada mulanya masjid merupakan lembaga pendidikan dasar. Pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulafâ' al-Râsyidîn, masjid merupakan lembaga pendidikan pokok. Ketika ilmu-ilmu asing memasuki masyarakat Islam, ia juga memasuki masjid dan harus dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu agama. Di Madinah, begitu Syalabi mencontohkan, Nabi Muhammad saw. menggunakan masjidnya (Nabawi) sebagai tempat memberi pelajaran kepada para shahabatnya tentang urusan-urusan agama dan dunia. (Ahmad Syalabi, 1973: 64). Dalam perkembangan selanjutnya, dengan alasan tertentu, ia dijadikan sebagai lembaga pendidikan menengah dan --dalam waktu yang sama-- pendidikan tinggi. (Hasan Langgulung, 2000: 123)
Masjid ini, jelas Stanton, dibedakan menjadi dua; yaitu masjid jâmi' dan masjid non-jâmi'. Masjid tipe pertama, yang memiliki jumlah sangat terbatas (di Baghdad hanya terdapat lima atau enam masjid, sementara di Mesir hanya terdapat enam buah), dibangun oleh khalifah dengan ukuran relatif besar dan dihiasai secara indah. Selain dijadikan sebagai tempat melaksanakan shalat jum'at, masjid ini juga dijadikan sebagai penghubung antara khalifah dengan rakyat banyak. Sedang tipe yang kedua bersifat lokal dan eksklusif serta memiliki jumlah banyak. Masjid tipe ini biasanya lebih kecil dan dibangun untuk kepentingan sekelompok masyarakat muslim tertentu atau sekelompok penganut madzhab tertentu, dengan dukungan dana dari jama'ahnya sendiri, dari satu patronase atau dari satu wakaf. Masjid (tipe) ini sering disebut sebagai masjid-akademi. (Charles Michael Stanton, 1994: 35)
Terlepas dari jâmi' atau non-jâmi', masjid merupakan institusi pendidikan, dalam dua jenjang. (Charles Michael Stanton, 1994: 35) Pendidikan yang berlangsung di sana menggunakan sistem halaqah. Yakni, seorang syaikh duduk dengan dikelilingi para murid(nya). Dalam konteks masjid jâmi', sebagaimana dikatakan Stanton, seorang syaikh diangkat --dan seringkali merupakan pengaruh dari pemuka masyarakat serta para bangsawan-- oleh khalifah untuk mengajarkan fiqh atau bidang kajian agama tertentu. Pengangkatan syaikh biasanya berlaku seumur hidup. Kecuali jika ia memiliki kasus tertentu, seperti memiliki ajaran yang menyimpang atau persoalan moralitas, maka tidak menutup kemungkinan ia akan dipecat. Tidak jarang juga jabatan ini diwariskan oleh seorang ayah atau guru kepada anak atau muridnya. (Charles Michael Stanton, 1994: 35-36).
Pendidikan yang diselenggarakan di masjid jâmi' lebih bersifat fleksibel-nonformal, sehingga lembaga ini bebas menerima siswa (baik terdaftar maupun tidak) dari segala umur dan tanpa terikat kapan seorang siswa harus hadir dan halaqah mana yang hendak diikuti, sehingga dia dapat datang dan pergi serta pindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain; dari satu masjid ke masjid yang lain; bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Selain itu, para siswa tidak perlu membayar biaya pendidikan.
Berbeda dengan masjid jâmi', masjid-akademi lebih formal dalam melaksanakan pendidikannya. Seorang siswa sebelum masuk dalam lembaga ini harus mendaftarkan diri terlebih dulu (pada mudarris). Dalam pengangkatan seorang mudarris (sebutan bagi pengajar fiqh di masa itu) yang idealnya dilakukan oleh khalifah atau wakilnya, sebagaimana dalam masjid jâmi', tidak dilaksanakan dalam masjid-akademi, terutama dalam kasus masjid-masjid yang lebih kecil. Pejabat setempat dan pemuka agama melakukan hal itu dengan persetujuan qâdhi, hakim. Jika sebuah masjid dibangun dan dibiayai oleh sebuah kelompok tertentu untuk kepentingannya sendiri, maka merekalah yang akan mengangkat seorang mudarris, yang mewakili pandangan keagamaan mereka.
Begitu juga sebuah masjid yang dibiayai oleh satu sistem wakaf, dokumen wakaf --waqfiyyah-- biasanya mencantumkan bagaimana seorang pengurus harus diangkat. Patron (pemberi wakaf) biasanya menyatakan kualifikasi mudarris yang dapat diterima, terutama tentang madzhab yang dia ikuti. Bahkan, pemberi wakaf mungkin telah menunjuk seseorang. Disiplin ilmu yang mendapat perhatian lebih dalam institusi ini adalah fiqh (dalam semua madzhab).
Seorang mudarris, yang biasanya hanya satu orang dalam satu masjid, seringkali merangkap juga sebagai imâm. Dengan demikian, dalam satu masjid hanya terdapat seorang imâm yang sekaligus merangkap mudarris. Dialah yang menentukan kurikulum dan sifat pengajaran. Sehingga masjid-akademi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari diri mudarris sendiri.
Sanggar seni (sastra) muncul pertama kali pada masa khalifah Bani Umaiyah dalam formatnya yang bersahaja, sebagai perkembangan dari majlis-majlis yang telah ada pada masa Khulafa' al-Rasyidin yang diselenggarakan di masjid. Institusi ini mendapat kemegahannya dibawah imperium khalifah Bani Abbasiyyah dengan dinamikanya sendiri. (Ahmad Syalabi, 1973: 62). Dalam periode kedua masa ini, institusi ini mulai dikenal di kalangan para penguasa dan kaum bangsawan yang lebih rendah baik di Damaskus maupun di Baghdad, seperti yang diselenggarakan oleh Sultan Mahmud al-Ghaznawi dan Nidlâm al-Mulk. (Ahmad Syalabi, 1973: 62).
Namun berbeda dengan masa khulafa' al-Rasyidin, sanggar sastra ini lebih bersifat eksklusif (berdasarkan undangan dari penyelenggara). Hari dan waktu pelaksanaan juga sepenuhnya bergantung pada khalifah sebagai penyelenggara. Selain itu, ada beberapa etika tertentu yang harus dipenuhi dalam menghadiri majlis ini. Seperti harus berpakaian rapi, menggunakan wangi-wangian, meninggalkan sesuatu yang tidak disuka khalifah dan lain-lain. (Ahmad Syalabi, 1973: 62). Prestise dan popularitas sanggar, terutama, bergantung pada kekayaan dan kekuatan patron (penyelenggara) dalam mengundang para cendekiawan atau kaum intelek. Di antara sanggar (lingkaran) di istana yang paling terkenal karena kualitas diskusinya, adalah yang diselenggarakan oleh khalifah al-Râsyid dan al-Ma'mûn. Sanggar al-Rasyid sebagaimana dijelaskan Mahmud Yunus, telah melahirkan beberapa ilmuwan interdisipliner. Dalam bidang syair misalnya, muncul Abu Nuwas, bidang musik muncul Ibrahim al-Mausili, bidang bahasa Sibaiwi dan bidang fiqh, Abu Yusuf dan beberapa ilmuwan lainnya. (Mahmud Yunus, 1990: 87)
Setelah tekanan terhadap gerakan Mu'tazilah dan pemutusan aliran rasional bangsa Yunani dalam kehidupan intelektual Islam, sanggar-sanggar sastra ini cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional, memperlemah dorongan-dorongan bagi kemajuan intelektual yang luas. Sungguhpun demikian, tidak dapat diabaikan kontribusi sanggar tersebut, terutama perannya sebagai media bagi masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam. Yang pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga tinggi lain yang lebih formal, ketika aneka ragam lingkaran studi di istana mengembangkan perpustakaan, observatori, dan pusat penerjemahan.
Masjid, sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah. Dengan demikian, dari sudut disiplin ilmu yang dipelajari sama dengan yang ada pada jenjang sebelumnya (penulis tidak mendapatkan data konkrit, yang membedakan antara kedua jenjang dari sudut ini). Perbedaan antara keduanya, sebagaimana disinggung di atas, lebih terlihat pada status guru (syaikh), apakah dia ulama' besar dan memiliki prestise tinggi atau belum mencapai derajat itu. Kualifikasi tersebut tentunya berimplikasi pada kualitas seorang syaikh, dan pada batas-batas tertentu, ilmu yang diperoleh siswa.
Perpustakaan sebagaimana dikatakan Syalabi, didirikan karena mahalnya harga manuskrip ketika itu. Sehingga alternatif yang dianggap efektif bagi pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa itu adalah perpustakaan. (Ahmad Syalabi, 1973: 132). Perpustakaan, begitu Hitti, menyimpan beberapa buku dalam berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, astronomi dan lain-lain di samping ilmu agama. Selain digunakan untuk membaca, perpustakaan juga dijadikan sebagai tempat diskusi dan debat ilmiah, sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi sekarang. (Philip K. Hitti, 2005: 520; Mahmud Yunus, 1990: 90-91) Di sinilah orang (bisa) menemukan titik permulaan dari pusat keilmuan yang sangat kompleks.
Dalam pandangan orang-orang Arab, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Pengaruh tulisan al-Jahiz dalam hal ini tidak dapat diabaikan. “Buku itu diam bila engkau menghendaki dia diam, berbicara bila engkau menghendakinya. Dia tidak akan mengganggu kalau engkau sedang bekerja, tetapi bila engkau merasa kesepian dia akan menjadi temanmu yang baik. Engkau tidak perlu berminyak air terhadapnya dan juga tidak akan berkecil hati. Dia adalah teman yang tidak menipu atau bermuka dua”, begitu al-Jahiz menulis. (Ahmad Syalabi, 1973: 136) Dengan demikian, bagi mereka perpustakaan lebih berharga dari segalanya. Bukan hanya ulama' dan para khalifah yang mendirikannya. Tetapi orang-orang awam pun ikut menyemarakkan dalam pembangunannya.
Dalam perpustakaan, lanjut Syalabi, selain terdapat ruangan-ruangan tempat buku, juga terdapat kamar-kamar dan ruangan-ruangan yang dilengkapi dengan permadani dan tikar-tikar yang bagus serta perabot-perobot untuk berbagai macam kepentingan lain. Seperti membaca, menyalin, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyediakan kamar-kamar untuk musik. Untuk kemudahan dalam mencari buku, dibuatlah manajemen yang rapi. Selain disediakan katalok, juga terdapat tulisan tentang nama dan nomor-nomor buku yang ditempel di setiap almari, dan keterangan tentang halaman yang sudah hilang. Perpustakaan-perpustakaan tersebut juga memberikan fasilitas pinjaman, bahkan hal itu diutamakan, dengan persyaratannya sendiri-sendiri, seperti terbatas masanya, harus dijaga keotentikan isi buku dan lain-lain. Sehingga tidak perlu lagi orang yang ingin membaca buku, membelinya terlebih dahulu. (Ahmad Syalabi, 1973: 141-168)
Untuk bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, perpustakaan memiliki beberapa petugas dengan jabatannya masing-masing, dan berbeda antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lain. Beberapa jabatan yang secara umum terdapat pada setiap perpustakaan antara lain pemimpin perpustakaan, penerjemah, penurun, penjilid dan pembantu. Pada umumnya, segala biaya perpustakaan, seperti bangunan, mendatangkan buku baru, gaji pegawai dan lain-lain, ditanggung oleh dana wakaf dari pemerintah. Sehingga dalam hal gaji, besar kecilnya gaji pegawai perpustakaan bergantung pada besarnya dana wakaf.
Di antara perpustakaan-perpustakaan tersebut, ada yang diperuntuk-kan bagi masyarakat umum, semi-umum dan ada yang khusus. Perpustakaan jenis pertama didirikan oleh khalifah, wazir, maupun penguasa lokal di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaan mereka. Perpustakaan ini jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di Baghdad (yang memiliki 36 perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga perpustakaan yang terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu kota propinsi (termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan sepanjang wilayah Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia. (Charles Michael Stanton, 1994: 160-161)
Di antara perpustakaan tersebut, sebut Syalabi, adalah Bait al-Hikmah, yang didirikan khalifah Hârûn al-Râsyid di Baghdad, perpustakaan al-Haidariyah di Najaf yang mendapatkan perhatiannya dari 'Adûd Daulah dari dinasti Buwaihi, perpustakaan Ibn Sawwar yang didirikan di Basrah oleh Abû 'Alî ibn Sawwar orang dekat 'Adûd Daulah, perpustakaan di masjid al-Zaidi yang pendiriannya disponsori oleh 'Adûd al-Dîn Muhammad, seorang wazir dari khalifah al-Mustadhi' bi Amrillâh, Dâr al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Hâkim bi Amrillâh di Kairo. (Ahmad Syalabi, 1973: 169-178). Jumlah seri yang ada di perpustakaan-perpustakaan (umum) tersebut, tegas Stanton, sulit diprediksi, karena data-data dari abad-abad itu (baca: klasik) cenderung melebih-lebihkan. Tetapi banyak perpustakaan dilaporkan memiliki antara 100.000 dan 1.000.000 volume. (Charles Michael Stanton, 1994: 168)
Dalam Bait al-Hikmah terdapat pula sanggar sastra, lingkaran studi, observatori; penerjemahan dan penerbitan yang semuanya berada dalam pengawasan khalifah. Perpustakaan yang dianggap juga sebagai "Akademi Ilmu Pengetahuan" ini, merupakan lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di sanalah al-Kindi (w. 873 M.) mendirikan sekolah berbahasa Arab yang mengajarkan filsafat peripatetik yang kemudian dikembangkan oleh al-Fârâbi, Ibn Sînâ, dan Ibn Rusyd. Di tempat ini juga al-Khawârizmî tidak hanya memberikan kontribusinya bagi filsafat, teologi, matematika, tetapi juga melakukan penelitian di laboratorium perbintangan.
Sementara perpustakaan semi-umum, tidak diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat, tetapi bukan pula khusus bagi pendirinya, karena memang bukan itu tujuannya. Perpustakaan jenis ini didirikan oleh para khalifah dan raja dengan maksud memuliakan dan menghargai serta agar dekat dengan ilmu pengetahuan. Dan diperuntukkan bagi mereka yang mendapatkan izin. Sebagaimana dikatakan al-Maqdisi: tidak dibolehkan mengunjungi perpustakaan ini kecuali mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Perpustakaan jenis ini, begitu Stanton, seringkali melayani kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan para ilmuwan dan mahasiswa, di samping menyediakan kamar-kamar untuk belajar mandiri dan untuk penggunaan buku-buku dalam jumlah yang sangat banyak. Sejarah mencatat bahwa para patron yang kaya raya tidak saja menyediakan kertas, tinta dan pena, tetapi juga makanan, tempat menginap bahkan pesangon bagi orang-orang yang terbatas sumber keuangannya. (Charles Michael Stanton, 1994: 166-167)
Perpustakaan ini dimisalkan seperti perpustakaan al-Nâshir li Dînillâh, yang memerintah pada 575-622 H. / 1179-1225 M. Perpustakaan ini memuat buku yang amat banyak. Sebagian buku yang ada, diceritakan telah memenuhi tiga perpustakaan yang besar-besar. Selanjutnya, perpustakaan al-Musta'shim billâh, seorang khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyyah, yang dikenal dengan Khizânah al-Kutub. Bahkan al-Musta'shim mendirikannya di dua tempat. Dan terakhir perpustakaan-perpustakaan para khalifah Fathimiyah di Kairo. Terdapat banyak pendapat tentang jumlah buku dalam perpustakaan tersebut. Abû Syamah menyebutkan terdapat 2.000.000, sementara al-Maqrizi menyatakan terdapat 1.600.000 buku. (Ahmad Syalabi, 1973: 182-185; Mahmud Yunus, 1990: 93-94)
Sedangkan perpustakaan khusus, selain didirikan oleh bangsawan juga didirikan oleh para ulama' dan sastrawan, khusus untuk kepentingan mereka sendiri. Perpustakaan jenis inipun memiliki jumlah yang amat banyak. Di antara perpustakaan ini adalah perpustakaan al-Fath ibn Khaqan (w. 247 H. / 861 M.), seorang wazir dari khalifah al-Matawakkil yang juga seorang ulama' yang memiliki kegemaran membaca; perpustakaan Hunain ibn Ishâq (w. 264 H. / 877M.), seorang dokter dan penerjemah besar pada masa al-Ma'mûn, yang menguasai bahasa Yunani, Suryani dan Persia; perpustakaan Ibn al-Khasysyab (w. 567 H. / 1171 M.), seorang ulama' yang pandai dalam disiplin bahasa (Arab), tafsir, hadits, dan nasab; perpustakaan al-Muwaffaq ibn Mathran (w. 587 H.), yang disebut Syalabi sebagai seorang yang berotak tajam dan pandai dalam ilmu kedokteran; perpustakaan Jamaluddîn al-Qifthi (w. 646 H.), seorang wazir yang mahir dalam ilmu nahwu, bahasa, fiqh, 'ulum al-Qur'an, ushul, manthiq, astronomi, ilmu ukur dan sejarah; perpustakaan al-Mubasysyir ibn Fatik (w. Abad V), salah seorang pangeran Mesir yang terkemuka. (Ahmad Syalabi, 1973: 188-194)
Karena perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak berjalan di bawah pengawasan pemimpin-pemimpin pemerintah dan keagamaan, maka karya-karya sains dan filsafat Yunani terus berkembang di perpustakaan ini, sekalipun pada masa pemberantasan ide-ide asing yang dimulai selama kekhalifahan al-Mutawakkil (Abad IX). Hal tersebut pada gilirannya memberikan kepuasan tersendiri bagi para ilmuwan, sebagaimana yang dirasakan oleh Ibn Sînâ yang terungkap dalam catatan hariannya. Bahwa ia memiliki kebanggaan khusus di perpustakaan milik seorang ratu di propinsinya. Demikian juga ilmuwan-ilmuwan lain, mereka mengakui kemajuan intelektualnya dengan dihadirkannya perpustakaan oleh para hartawan dan majikan yang lebih ningrat. (Ahmad Syalabi, 1973: 166)
Perpustakaan-perpustakaan yang merupakan tradisi pendidikan tinggi dalam dunia Islam tersebut, dicatat para sejarawan Barat, sebagai warisan intelektual dan kebudayaan Islam yang paling berharga dan sangat memengaruhi kemajuan peradaban Eropa. Herbert A. Devies dalam An Outline History of the World, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, mengatakan, umat Islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen. Universitas di Baghdad, Kairo, dan Kordova khususnya, merupakan pendidikan tinggi yang termasyhur. Banyak orang Kristen yang belajar pada universitas-universitas Islam, terutama di universitas Kordova. Orang-orang Kristen tersebut kemudian membawa ilmu dan kebudayaan ke negeri-negeri asal mereka serta pengaruh universitas Spanyol atas universitas Paris, universitas Oxford dan universitas-universitas lainnya yang mereka bangun di Itali. (Azyumardi Azra, 1999: 104-105)
Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak bisa lepas dari institusi sebelumnya, terutama masjid. Pendidikan yang terus berkembang memaksa bertambahnya jumlah halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sudah pasti hal itu menimbulkan suasana ricuh. Terutama ketika proses pendidikan menggunakan sistem tanya jawab, debat dan diskusi, sebagai implikasi perkembangan pendidikan. Semua itu menyebabkan terganggunya fungsi utama masjid, yakni untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Sebagai solusi, ditambahlah masjid itu dengan ruangan-ruangan khusus untuk pendidikan ('iwân), pemondokan dan lain-lain, yang terus mengalami perkembangan sesuai kebutuhan. Inilah yang menjadi ciri madrasah ketika itu dan yang sekaligus membedakannya dengan masjid. (Ahmad Syalabi, 1973: 107). Makdisi menyebut madrasah ini sebagai masjid-khan.
Ketika Bani Saljuk berkuasa atas kekhalifahan Abbasiyyah, di bawah kekuasaan Alp Arslân (1063-1072) M.) dan Mâliksyah (1072-1092 M.), seorang wazir, Nidlâm al-Mulk, pada 1065 M. mendirikan madrasah yang lebih independen, tidak tergabung dengan masjid, di Baghdad. Sebuah prototipe madrasah yang didirikan pertama kali sepanjang sejarah pendidikan umat Islam, yang diberi nama madrasah Nidlâmiyah. (Ahmad Syalabi, 1973: 110) Madrasah tersebut  memiliki prestise yang tinggi dan menjadi model bagi pendirian madrasah di zamannya dan sesudahnya. Stanton mengilustrasikan madrasah tersebut sebagai madrasah yang paling unggul pada Abad XI, yang menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi dan model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. (Charles Michael Stanton, 1994: 49) Sehingga, menurut Hasan 'Abd al-'Al, munculnya madrasah Nidlâmiyah ini merupakan indikasi bagi lahirnya era baru dari tahapan perkembangan institusi pendidikan Islam. Melihat corak kajiannya, madrasah (Nidlâmiyah) dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan yang bercorak fiqh dan hadits, setidaknya pada masa Abbasiyyah di Baghdad. (Maksum, 1999: 51-52)
Dengan kekhasannya sendiri, madrasah lebih unggul dibanding dengan institusi yang lain. Segera setelah perkembangan masjid dan Kuttâb, madrasah berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim di masanya, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu dan kebutuhan. (Charles Michael Stanton, 1994: 48) Pada Abad XI M. pola dasar pembangunan lembaga pendidikan tinggi yang terpisah dari masjid (baca: madrasah) --dengan implikasi kontrol otoritas keagamaan yang melekat padanya-- namun tetap diabdikan kepada pandangan teologis tertentu sangat populer, dan hal ini berlangsung terus hingga saat sekarang di negara-negara Islam. (Charles Michael Stanton, 1994: 47)
Ibn Jubayr, sebagaimana dikatakan Hitti, menjelaskan bahwa di Baghdad terdapat sekitar tiga puluh madrasah, di Damaskus terdapat dua puluh madrasah, di Mosul terdapat sekitar enam madrasah dan di Hims terdapat satu madrasah. Madrasah-madrasah tersebut didirikan secara pribadi oleh para saudagar, ulama' maupun penguasa. (Philip K. Hitti, 2005: 518) Nidlâm al-Mulk sendiri, jelas Ahmad Syalabi, telah membuka cabang madrasahnya di beberapa wilayah, seperti Baghdad, Balkh, Nisabur, Harat, Asfahan, Bashrah, Marwu, Amal dan Mausil. Bahkan al-Subki mengatakan Nidlâm al-Mulk mempunyai madrasah di setiap kota di Iraq dan Khurasan. (Ahmad Syalabi, 1973: 112). Setelah itu, ide ini masuk ke wilayah Syam, dan pada tahun 491 H. / 1097 M. didirikanlah madrasah dengan mengambil Damaskus sebagai tempat. Dari situ meluas lagi ke Mesir di bawah kendali Shalâhuddîn al-Ayyûbi, yaitu mulai tahun 567 H. / 1171 M. (Hasan Langgulung, 2000: 125)
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah tersebut, sekurang-kurangnya diwarnai oleh tiga faktor. Pertama, faktor transformasi madrasah. Sebagaimana disinggung di atas, madrasah adalah transformasi dari masjid, maka madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan. Kedua, faktor aliran keagamaan. Madrasah merupakan lembaga pendidikan aliran Sunni. Sebagai reaksi terhadap doktrin dan kepercayaan-kepercayaan Syi'ah yang ditanamkan sebelumnya oleh Dinasti Buwaihi dan Fathimiyah yang dinilai batil. Sehingga untuk meluruskan keberagamaan umat, pelajaran yang dinilai efektif adalah ilmu agama, al-'ulûm al-naqliyyah. Yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur'an seperti Tafsir, Qira'at, Hadits, Ushul Fiqh dan Fiqh sebagai kajian inti; serta al-'ulûm al-lisâniyyah, seperti bahasa dan sastra, nahwu, sharaf. (Ahmad Syalabi, 1973: 109). Dan tidak mengajarkan mantiq serta tradisi berpikir filsafat. Keadaan ini menyebabkan madrasah kurang mendapat motivasi untuk memperhatikan ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika dan filsafat, seperti ilmu pasti dan kealaman, kedokteran, kimia, fisika dan lain-lain. Kecuali di madrasah al-Dikhwariyah, yang dibangun pada 621 H. / 1224 M. oleh Muhadzdzab al-Dîn al-Dikhwâr (w. 628 H. / 1231 M.) dan madrasah al-Dunaysariyah yang didirikan oleh Imâd al-Dîn al-Dunaisari, keduanya adalah pakar dalam ilmu kedokteran. Di sekolah tersebut dipelajari ilmu kedokteran. (Ahmad Syalabi, 1973: 118)
Ketiga, faktor politik pemerintah. (Mahmud Yunus, 1990: 72) Keterlibatan pemerintah dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidak dapat dielakkan. Bahkan pendidikan (madrasah) merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa pejabat pemerintah yang disinyalir sebagai memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah adalah: Nidlâm al-Mulk (456-485 H. / 1063-1092 M.), Nûr al-Dîn Zanky (541-569 H. / 1146-1174 M.), Shalâhuddîn al-Ayyûbi (564-589 H. / 1169-1193 M.), dan al-Mustanshir bi Allâh (623-640 H. / 1226-1242 M.). (Ahmad Syalabi, 1973: 113-117)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan dan kepentingan mereka dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menentukan. Dengan kata lain, madrasah merupakan kebijakan religio-politik bagi penguasa.
Bangunan madrasah dilengkapi dengan satu perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama. Tersedianya (dalam perpustakaan) berbagai karya lebih dari sekedar buku-buku pelajaran meningkatkan pengalaman belajar siswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada sejumlah tulisan, lebih dari sekedar kebutuhan langsung pengajaran. Selain itu, dalam konteks Nidlâmiyah, Nidlâm al-Mulk menyediakan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, imam dan siswa (dengan beasiswa dan asrama). Bantuan bagi siswa inilah yang sekaligus membedakan antara madrasah dengan masjid-akademi. (Charles Michael Stanton, 1994: 47)
Madrasah (dalam bentuk klasiknya) yang dalam ilustrasi Stanton dapat disebut sebagai akademi (college) dalam konteks sekarang, di masa-masa berikutnya memiliki pengaruh yang luas dan monumental. Beberapa ilmuwan --baik muslim maupun Barat-- dalam karya masing-masing sebagaimana dikutip oleh para ilmuwan yang lebih belakangan, telah mengakui pengaruh yang sangat dominan ini, baik terhadap tradisi keilmuan maupun praktek pendidikan dalam Islam (sendiri) maupun bagi bangsa-bangsa Eropa.
Dalam Islam misalnya, sebagaimana ditulis Hitti, madrasah (Nidlâmiyah) merupakan model bagi pembangunan akademi-akademi (madrasah) lainnya yang tersebar di wilayah Khurasan, Irak dan Suriah. (Philip K. Hitti, 2005: 518). Prestise dan daya tarik al-Ghazâlî (salah seorang pengajarnya) juga masih terus mewarnai pergumulan pemikiran tokoh-tokoh Islam, bahkan hingga kini.
Sementara pengaruhnya bagi Barat, lanjut Hitti, Reubin Levy mengatakan, sebagian sejarawan mengatakan bahwa beberapa detil organisasi sekolah ini (baca: madrasah) ditiru oleh orang Eropa untuk membangun universitas-universitas mereka yang pertama. Senada dengan statemen tersebut, al-Dailamî sebagaimana ditulis Maksum, juga menyatakan bahwa pendirian universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nidlâmiyah). Begitu juga George Makdisi, masih dalam kutipan Maksum, dalam beberapa tulisannya membuktikan, bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah. (Maksum, 1999: 75, Hasan Langgulung, 2000: 126)
Stanton juga menjelaskan, walaupun pengaruh ilmu dan peradaban Islam terhadap pendidikan Barat dianggap oleh kalangan Kristen Barat  lebih bersumber pada lembaga-lembaga informal dan pribadi yang dikembangkan melalui perpustakaan, rumah sakit, observatorium dan lain-lain, namun mereka tidak bisa mengabaikan lembaga dan metode pengajaran yang berlangsung dalam madrasah. (Charles Michael Stanton, 1994: 209-210) Pengaruh tersebut tentunya tidak terlepas juga dari terselamatkannya madrasah Nidlâmiyah dalam melewati malapetaka besar, yakni ketika Hulagu Khan pada tahun 1258 menyerang Baghdad. Juga serangan dari bangsa Tartar.
2.  Kurikulum Pendidikan
Kurikulum di sini lebih difahami dalam pemahaman masa lalu, yaitu sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Berangkat dari pengertian tersebut, dan karena pada masa itu telah dikenal tiga jenjang pendidikan, yaitu dasar, menengah dan tinggi, maka ketiga jenjang tersebut memiliki kurikulum sendiri-sendiri. Sungguhpun kurikulum tersebut tidak jauh berbeda dari sisi nama pelajaran namun dari sisi materi berbeda.
Pada tingkat pertama atau dasar, mata pelajaran secara keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Qur'an, b) pokok-pokok agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah tokoh e) membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok nahwu dan sharaf. Kurikulum seperti ini tidak dapat diketemukan dalam sebuah institusi, akan tetapi setiap daerah mempunyai kurikulumnya sendiri. Di Maroko misalnya, hanya diajarkan al-Qur'an dan rasm (tulisan)-nya. Di Andalusia diajarkan al-Qur'an, menulis, syair, pokok-pokok nahwu dan sharaf serta khat. Di Tunisia diajarkan al-Qur'an, hadits dan pokok-pokok ilmu agama terutama hafalan al-Qur'an. (Mahmud Yunus, 1990: 49)
Sedang pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a) al-Qur'an, b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu, sharaf, serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh, k) ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Sebagaimana pada jenjang dasar, mata pelajaran tersebut diajarkan di daerah yang berbeda-beda. Hal ini sekaligus sebagai konsekuensi dari institusi yang digunakan, yaitu masjid. Ia dikelola oleh masing-masing syaikh atau mudarris. Hal mana ia memiliki kewenangan untuk menentukan disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Sungguhpun secara umum disiplin ilmu yang diajarkannya adalah fiqh dan ilmu-ilmu agama, namun hal itu tidak selamanya berlaku secara konsisten pada semua masjid. Bahkan ada (juga) masjid yang cenderung mengajarkan ilmu-ilmu umum (al-'ulûm al-'aqliyyah).
 Berbagai halaqah di masjid (jâmi') misalnya, menawarkan pelajaran hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh, nahwu, sharaf, dan sastra (syair) Arab. Sementara di masjid lain, sebagaimana dideskripsikan Ahmad Syalabi, dimisalkan seperti masjid jâmi' al-Tuluni (berdiri 256 H.) dipelajari tafsir, hadits, fiqh dalam empat madzhab, qira'at, kedokteran dan hisab. Sementara di masjid jâmi' al-Azhâr, diajarkan ilmu kedokteran, yang diselenggarakan pada waktu tengah hari pada tiap-tiap hari. (Ahmad Syalabi, 1973: 105)
Berbeda dengan kedua jenjang sebelumnya, pendidikan tinggi lebih fleksibel dan berbeda antara satu institusi dengan yang lain. Secara umum pendidikan tinggi ini mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara lain: a) tafsir al-Qur'an, b) hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu / sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari antara lain: a) manthiq, b) ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d) ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f) falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati, j) ilmu kedokteran. Selama masa itu belum dikenal spesialisasi mata pelajaran. (Mahmud Yunus, 1990: 49) Hal terakhir ini ditentukan setelah seorang siswa tamat dari pendidikan tinggi. Yang didasarkan pada bakat dan kecenderungan masing-masing, sesudah praktek mengajar selama beberapa tahun.
3.  Metode Pengajaran
Pendidikan yang ada pada masa ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu formal dan non formal. Dalam pendidikan formal, pelaksanaannya formal pula. Sebelum pembelajaran, sebagaimana dijelaskan Stanton, seorang guru terlebih dahulu menyusun ta'liqah. Ta'liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta'liqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin ta'liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Namun, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta'liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta'liqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya. (Charles Michael Stanton, 1994: 54)
Metode pengajaran yang ditempuh bermacam-macam, mulai ceramah, sorogan, dikte, menghafal seperti yang terjadi di masjid-masjid dan kuttab, hingga diskusi, debat ilmiah, dan eksperimen sebagaimana di sanggar seni, perpustakaan dan di rumah-rumah para ilmuan. Dan inilah bentuk pendidikan non formalnya.
 Kelulusan mahasiswa ditentukan oleh kemampuannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasah. Setelah dinyatakan lulus, mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah, yang terkadang diwujudkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Ijazah ini lebih diberikan oleh guru daripada sekolah. Pemberian ijazah ini sekaligus merupakan pemberian izin (pada yang bersangkutan) untuk meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain. (Mahmud Yunus, 1990: 81)
4.  Kondisi Sosial-Masyarakat
Misi utama Islam adalah menjadikan umat manusia sebagai umat yang berperadaban. Misi ini terlihat dari perintah yang disampaikan pertama kali yang sekaligus menandai datangnya Islam, yaitu membaca. Sebagai Rasul Allah, Nabi Muhammad kemudian mengajak umat manusia merealisasikan perintah tersebut. Beliau menyadarkan akan pentingnya ilmu pengetahuan dan membakar semangat para shahabat, sehingga dalam waktu yang singkat Islam meraih kemajuan yang luar biasa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sepeninggal beliau semangat tersebut terus diwarisi oleh para penerusnya mulai dari shahabat, tabiin dan tabi’ al-tabiin, hingga akhirnya Islam meraih peradabannya yang adiluhung, tepatnya ketika pemerintahan umat muslim dipegang oleh khalifah Bani Abbasiyyah. Tak ada peradaban di dunia yang lebih tinggi dari peradaban yang diraih umat muslim kala itu.
Semangat dan besarnya apresiasi umat muslim terhadap ilmu pengetahuan pada masa ini membawa mereka menduduki derajat khairu ummah.  Apresiasi ini bukan hanya diberikan oleh para ilmuan, akan tetapi para khalifah, rakyat, saudagar, para orang kaya bahkan pembantu rumah tangga juga memberikan hal yang sama.
Para ilmuan, dengan ilmunya sendiri-sendiri, menjadikan rumah mereka sebagai institusi pendidikan dan mendirikan perpustakaan. Tidak jarang pula mereka memimpin diskusi atas undangan khalifah atau menjadi imam sekaligus mudarris di masjid tertentu dan lain-lain. Demikian juga para khalifah, mereka menjadikan istana sebagai institusi pendidikan, bahkan --dalam konteks pendidikan anak-anaknya-- mereka juga terlibat dalam penyusunan kurikulum. (Ahmad Syalabi, 1973: 48). Selain itu, mereka mendirikan dan mengelola beberapa perpustakaan yang dilengkapinya dengan berbagai sarana seperti tempat diskusi, ruang terjemah observatori dan penerbitan, bahkan tempat tidur, yang disediakan untuk umum. Perpustakaan juga didirikan di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaan mereka. Perpustakaan ini jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di Baghdad (yang memiliki 36 perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga perpustakaan yang terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu kota propinsi (termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan sepanjang wilayah Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia. (Charles Michael Stanton, 1994: 160-161)
Tidak kalah semangatnya, para saudagar juga turut meramaikan perkembangan ilmu pengetahuan. Menjamurnya toko buku kala itu merupakan motivasi tersendiri bagi masyarakat dalam menimba ilmu. Saudagar-saudagar tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dengan berjualan. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas, yang telah memilih jalan ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama' dan pujangga. (Ahmad Syalabi, 1973: 53)
Menjamurnya toko buku di ibukota negara yang mencapai lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama adalah apresiasi di sisi lain. Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan rumah seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah. Tidak jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat sekitarnya untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan. (Charles Michael Stanton, 1994: 163) Selain itu, mereka dapat menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kembali kepada mereka yang memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqût, yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; Âlî ibn 'Îsa, yang oleh Yaqût dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Nâdim --dikenal juga dengan nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik. (Charles Michael Stanton, 1994: 163)
Menjamurnya institusi pendidikan yang ada kala itu, tentunya menggambarkan dan memotivasi semangat rakyat dalam berlomba-lomba mencari ilmu, sehingga muncullah tokoh-tokoh besar di masa ini dalam berbagai bidang, yang hingga kini nama-nama mereka masih menghiasi perpustakaan-perpustakaan, mereka seperti al-Kindi, al-Fârâbi, Ibn Sînâ, dan Ibn Rusyd, juga al-Khawârizmî
D. Simpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan berkaitan tentang pendidikan pada masa Bani Abbasiyyah. Simpulan tersebut antara lain:
1.  Sungguhpun masih jauh dari kemajuan teknologi, namun semangat mencari ilmu umat muslim pada masa Bani Abbasiyyah sangat tinggi, sehingga membutuhkan banyak institusi sebagai tempat berlangsungnya pendidikan tersebut. Sebagaimana masa sekarang, pada masa itu sudah dikenal jenjang pendidikan. Tentunya hal itu berimplikasi pada perbedaan institusi. Untuk tingkat dasar, institusinya meliputi: kuttab, rumah, toko, istana, dan terkadang berlangsung juga di pasar. Untuk tingkat menengah meliputi: masjid serta sanggar seni dan sastra. Dan tingkat tinggi meliputi: masjid, perpustakaan, dan madrasah.
2.  Jenjang tersebut berkonsekuensi pula pada materi pelajaran. Pada tingkat dasar, materi pelajaran secara keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Qur'an, b) pokok-pokok agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah tokoh e) membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok nahwu dan sharaf. Pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a) al-Qur'an, b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu, sharaf, serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh, k) ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Dan berbeda dengan dua jenjang sebelumnya, pendidikan tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara lain: a) tafsir al-Qur'an, b) hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu / sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari antara lain: a) manthiq, b) ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d) ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f) falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati, j) ilmu kedokteran.
3.  Secara keseluruhan, metode pengajaran yang ditempuh antara lain: ceramah, sorogan, dikte, menghafal, diskusi, debat ilmiah, dan eksperimen.
4.  Kondisi sosial-masyarakat sangat mendukung bagi majunya pendidikan dan berkembangnya ilmu. Apresiasi terhadap keilmuah muncul dari semua lapisan masyarakat, baik ilmuan, para khalifah, rakyat, saudagar, para orang kaya bahkan pembantu rumah tangga.

Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Ciputat: Logos, 1999);
Hitti, Philip K., History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005);
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000);
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Ciputat: Logos, 1999);
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997);
Nokosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996);
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 2003);
Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994);
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973);

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990);

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IKHWAN AL-SHAFA

PENDIDIKAN

DALAM PERSPEKTIF IKHWAN AL-SHAFA

                                                              
Abd. Azis
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Pati

Abstract

Ikhwan al-Shafa is known as a fraternity of muslim scientists and philosophers. They own a secret movement having a political objective, that is, conducting social transformation through shifting society’s paradigm in smooth ways not in the radical ones. They do care about Islam at the moment, particularly on education, which was then reflected in a masterpiece, Rasa’il Ikhwan al-Shafa. This work is an encyclopedia containing several sciences, including education curriculum.  
In the field of education, Ikhwan al-Shafa has a concept that education is not merely a transfer of knowledge but it is more about a moral activity enabling an individual to achieve the highest level of humanity. In terms of epistimology, Ikhwan al-Shafa empasizes knowledge emerges from empiricism. The members view that knowledge cannot be attained through retention only. They argue that anything that is unreachable empirically cannot be captured in imagination, while any imaginary thing cannot be acknowledged rationally. Knowledge can be obtained from 1) The Holy Books, such as Taurat, the Bible, Zabur and Quran; 2) The books written by hukama and philosophers, such as Mathematics, Physics and Literatures; 3) The universe; 4) Contemplation on the universe.

Kata kunci : Ikhwan al-Shafa, pendidikan, kurikulum

Pendahuluan
Pendidikan Islam memiliki sejarah yang panjang. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertam kali  berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan --untuk tidak menyebut sistem--  merupakan tranformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan. (Azyumardi Azra, 2002)
Pada masa klasik, tepatmya pada awal masa Bani Abbasiyyah [al-Mansur (137-158 H.), al-Rasyid (170-193 H.), dan al-Ma’mun (198-218 H.)] merupakan masa kulminasi ilmu pengetahuan bagi Islam. Sungguhpun sebagian ilmu (baca: ilmu-ilmu non agama, profan) ketika itu diselenggarakan secara non-formal. Hal tersebut pada gilirannya membawa pengaruh besar bagi peradaban dunia selanjutnya. Dalam kaitan ini mayoritas penulis Barat menilai, bahwa sumbangan Islam bagi dunia ilmu pengetahuan adalah sebagai jembatan antara capaian-capaian Yunani dengan Eropa abad pertengahan. Sementara Nasr, sebagaimana dikatakan Charles Michael Stanton  (1994), mengatakan bahwa para ilmuan Arab dari masa awal tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan Yunani ke Eropa abad pertengahan, tetapi juga memperluas pengetahuan tersebut sebelum masuk ke Barat dalam bentuk terjemahan-terjemahan bahasa Latin.
Kemajuan yang diawali dengan penerjemahan terhadap sejumlah besar manuskrip, baik dari bahasa Syria maupun Yunani ke dalam bahasa Arab tersebut pada gilirannya melahirkan para tokoh intelektual dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa nama, seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M.). al-Kindi (801-873 M.), al-Razi (844-926 M.), al-Farabi (870-950 M.), Ibn Baytham (965-1039 M.), al-Biruni (973-1051 M.), Ibn Sina (980-1037 M.), al-Ghazali (1058-1111 M.) adalah produk dari masa ini.
Namun sejak kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Mutawakkil (232-247 H.), keadaan tersebut mulai berubah. Beliau mengeluarkan kebijakan yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Cara pikir Mu’tazily (cara pikir rasional dalam mencari pengetahuan dan kebenaran) dan buku-buku yang berbau Mu’tazilah serta ilmu-ilmu sekuler, prafon, mulai disingkirkan. Sementara itu keyakinan tradisional mulai mendominasi masyarakat Islam. Para filsuf dituduh sebagai penganut bid’ah. Agama jadi beku karena tokoh-tokohnya yang jumud dan fanatisme. Syariat Islam dikacaukan oleh noda ta’wil yang telah jauh dari syari’at Islam itu sendiri.
Pada masa ini muncullah sekelompok orang yang ingin menghidupkan kembali obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan, baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari kejumudan dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang akhirnya dikenal dengan nama Ikhwan al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul, bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan, untuk menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.
Karakteristik dasar pemikiran mereka, terefleksi dalam pandangan pendidikannya. Menurutnya, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran, sebab kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan kesehatan sang ibu hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim (embrio). Karena janin berada dalam rahim selama sembilan bulan itu adalah agar sempurna bentuk dan kejadiannya. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berangkat dari pemikiran tersebut, selanjutnya dalam pendidikan mereka memiliki tujuan tertentu. Hal inilah yang akan dikaji (merupakan kajian pokok) dalam tulisan ini. “Apa atau bagaimana tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa”.
Dalam karya-karya ilmiah, baik yang tidak -atau belum- terpublikasikan, seperti makalah, skripsi, tesis maupun desertasi, maupun yang telah terpublikasikan, tidak banyak (sekurang-kurangnya jika dibanding dengan tokoh-tokoh lain secara individual, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lain-lain) yang membicarakan tentang kepedulian Ikhwan al-Shafa ini. Hipotesis penulis, hal tersebut lebih karena di masa eksisnya Ikhwan al-Shafa merupakan gerakan bawah tanah yang bergerak secara rahasia, sehingga sejarahnya sulit --untuk tidak mengatakan “tidak dapat”--ditelusuri dan diteliti. Tidak selayaknya tokoh-tokoh maupun filsuf-filsuf yang lain seperti dua nama di atas, kemusian al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain.
Berangkat dari kelangkaan tersebut, tulisan ini berniat menambah khazanah keilmuan Islam sekaligus menengok kembali dan mencari data, betapa Islam dengan tokoh-tokohnya, di setiap masa dan tempat tertentu, selalu menunjukkan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan maupun pendidikan.

Biografi Ikhwan al-Shafa
Dari namanya, dapat diketahui bahwa ia adalah sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Ia muncul pertama kali di Basrah (sebelah selatan Irak) pada abad IV H., sekitar tahun 340 H./951 M., sebagai refleksi dari pola pikir umat Islam (sebagian ulama) pada masa itu yang dinilai telah mengalami kejumudan dan fanatisme. Sehingga agama menjadi beku, para filsuf dikutuk dengan cara menuduh para rasionalis sebagai penganut bid’ah. Syari’at Islam dinodai dengan ta’wil yang telah jauh dari syari’at Islam itu sendiri. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988). Berangkat dari niatnya yang mulia --memurnikan syari’at Islam dan menyalakan kembali obor ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin-- kelompok ini menyebut organisasinya dengan nama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci).
Mereka terdiri dari ahli pikir (ilmuwan dan filsuf) muslim. Sebuah pendapat mengatakan bahwa mereka berasal dari para simpatisan Syi’ah Isma’iliyyah, setelah wafatnya Imam Isma’iliyyah ke-7, Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq. Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah para pendukung Dinasti Buwaihi (golongan Syi’ah) yang berkuasa sebagai amir al-umara’ dalam lingkungan Dinasti Abbasiyah. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988). Ada lima nama yang dianggap sebagai tokoh utama dari kelompok ini, yaitu 1) Abu Sulaiman Muhammad ibn Mu’syir al-Busty (terkenal dengan nama al-Maqdisi), yang bertugas menulis dan merangkum semua pandangan kelompok ini; 2) Abu al-Hasan Ali ibn Harun al-Zanjany; 3) Abu Ahmad al-Mihranjany; 4) Al-Aufy; dan 5) Zaid ibn Rafi’ah, selaku pemimpin kelompok ini. (MM. Syarif, 1963)
Mereka mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, pecinta kebenaran, elit intelektual, dan solid-kooperatif. Menurutnya, pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan, dan etnik kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyah. Sebagai solusi, mereka menawarkan alternatif, yaitu menyatukan perbedaan ke dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Mereka mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia, dan Romawi. Mereka juga giat mengadakan penelitian, yang dimunculkan dalam bentuk buku, brosur, dan pamphlet, sebagaimana mereka memunculkan statemen-statemennya. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988)
Pandangan-pandangannya banyak bertentangan dengan khalifah, sehingga untuk menghindarkan diri dari campur tangan khalifah, mereka merahasiakan keberadaan dan aktifitasnya. Mereka berkumpul dan bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Sekalipun mereka memiliki banyak cabang, namun anggotanya sangat sedikit. Hal ini dikarenakan: 1) pergerakan mereka disusun secara rahasia; dan 2) penerimaan anggota dilakukan secara selektif. Di samping bobot ilmiahnya, mereka juga mempertimbangkan calon anggota dalam hal akhlak, karakter, dan budi pekertinya.
Aktifitas Ikhwan al-Shafa didasarkan pada pandangannya, yaitu “Syari’at Islam telah dinodai dengan berbagai macam kejahilan dan dilumuri oleh beraneka ragam kesesatan. Dan jalan terbaik untuk membersihkan semua itu adalah dengan filsafat”. Semasa eksisnya, kelompok ini menciptakan sebuah madzhab tersendiri, yang mana dengan madzhab tersebut mereka akhirnya mendapat tentangan dari ahli agama dan ahli pengetahuan yang lain, terutama para mutakallimin. Para ahli agama dan ahli pengetahuan tersebut mencela jalan yang ditempuh Ikhwan al-Shafa dalam mena’wilkan al-Qur'an yang tidak sesuai dengan dhahir ayat serta keluar dari maksud yang dikandung al-Qur'an menurut tafsiran mereka. Mereka menganggap Ikhwan al-Shafa telah menggabungkan fundamen agama dengan filsafat Yunani, yaitu menggabungkan wahyu dengan akal. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988)
Ikhwan al-Shafa banyak menulis buku, dan satu di antaranya adalah buku yang terdiri dari berbagai macam risalah, yang diberi nama “Rasa’il Ikhwan al-Shafa wa Kullan al-Wafa” (risalah-risalah tentang saudara-saudara suci dan sahabat-sahabat jujur). Buku yang kemudian dikenal dengan Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa tersebut terdiri dari 51 risalah yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu 1) Matematika, terdiri dari 14 naskah, meliputi: geometri, astronomi, musik, geografi, seni, akhlak, dan logika. 2) Ilmu alam dan fisika, terdiri atas 17 naskah, meliputi: fisika, mineralogy, botani, alam kehidupan dan kematian, dan tentang kemampuan manusia di dalam berpikir.
3) Sains pemikiran serta psikologi, terdiri dari 10 naskah, meliputi: metafisika, waktu dan peredaran waktu, ilmu tabi’at, dan tentang kebangkitan kembali. 4) Agama, terdiri dari 14 risalah, yang meliputi theologi, hubungan manusia dengan Tuhan, ramalan, entitas spiritual, tindakan (aksi) perundingan politik, taqdir, ilmu ghaib, dan azimat. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988) Sedangkan di bidang filsafat meliputi: ilmu, matematika, mantik (logika), metafisika, tentang jiwa, filsafat agama, dan moral.
Dalam perkembangan pemikiran pendidikan, Ikhwan al-Shafa memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya, pertama, aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas. Mereka berpendapat bahwa fenomena kelaliman, otoritanisme dan tiranisme politik tidak akan berlangsung kontinu kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritanisme dan tiranisme. Kedua, paradigma “ta’limiy” (pengajaran). Ini tampak dalam praktik politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada penjenjangan da’wah. Ketiga, difersifikasi sumber-sumber pengetahuan, yang merupakan refleksi dari sabda Nabi “Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya di manapun ditemukan”. Keempat, penolakan fanatisme buta, peneguhan paham kebebasan dan apresiasi pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan sosial.(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Para sejarawan kontemporer mengakui kontribusi besar Ikhwan al-Shafa dalam perkembangan pemikiran Islam, yang dapat mereka simpulkan, antara lain:
1.    Totalitas kelompok Ikhwan al-Shafa dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad keempat Hijriyah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara.
2.    Perintisan program penyusunan karya ensiklopedi pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah popular mereka.
3.    Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

Konsep Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Dengan tepat, term pendidikan sulit untuk diformulasikan, karena keluasan wilayahnya. Wilayah pendidikan meliputi, antara lain: tempat (keluarga, sekolah, masyarakat); pelaku (diri sendiri, orang lain, lingkungan); dan daerah (hati, akal, jasmani). Namun secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha mendewasakan atau mencapai kedewasaan seseorang melalui pengajaran dan pelatihan.
Dalam konteks Islam, menurut Azyumardi Azra (2002), pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya inheren dengan konotasi istilah tarbiyyah, ta’lim dan ta’dib yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia, masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan nonformal.
Walaupun bukan merupakan suatu komitmen, kata tarbiyah merupakan kata yang paling populer untuk menunjuk pendidikan di negara-negara Arab, sehingga kita lebih sering mendengar istilah Kulliyyah Tarbiyyah, atau fakultas Tarbiyah dalam konteks Indonesia daripada kata yang lain. Penggunaan kata tarbiyah untuk menunjuk pendidikan pertama kali muncul, jelas Munir Mursa, berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di dunia Arab pada pertengahan abad ke-20. Di antara tokoh yang menggunakan istilah tersebut adalah Abdurrahman al-Nahlawi.
Berhubungan dengan pendidikan, Ikhwan al-Shafa menguraikan teorinya dengan komprehensif, sempurna, dan gradual. Secara garis besar uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah aktivitas moral untuk mencapai kebaikan bagi manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan hal yang urgensi dan esensi bagi manusia. Dan sebagai konsekuensi, mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hal tersebut. Kepedulian serta keseriusan mereka dapat dilihat dari karya spektakulernya, yaitu sebuah ensiklopedi yang terdiri dari 51 risalah dan tersusun dalam 4 jilid, yang sampai kini tetap eksis menghiasi diskursus-diskursus. Di dalam ensiklopedi tersebut terdapat kurikulum pendidikan yang pernah diberlakukan dalam Lembaga Pendidikan Tinggi Islam pada abad X M. (Charles Michael Stanton-terj, 1994).
Berikut ini kesimpulan dari materi dan topik-topik yang tercakup dalam Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa, yang dikemukakan oleh Fredrich Dieterici, dalam kutipan Charles Michael Stanton :
Disiplin-disiplin umum : tulis-baca dan gramatika, ilmu hitung, sastra, sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang dan keterampilan tangan, jual-beli, komersial, pertanian dan peternakan, serta biografi dan kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama : ilmu al-Qur'an, tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis : matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan, dan elemen-elemen; meteorology dan minerologi; esensi alam dan manifestasinya; botani dan zoology; anatomi dan antropologi; persepsi inderawi; embriologi; manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa (evolusi psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filologi); psikologi-pemahaman dunia kejiwaan dan sebagainya; dan theology-doktris esoteris Islam, susunan alam spiritual; serta ilmu tentang alam ghaib. (Charles Michael Stanton-terj, 1994)
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan atau pengalaman dari seseorang pada orang lain. Tapi jauh lebih luas dari itu. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan tidak dimulai sedari kecil, tetapi sejak seorang anak masih dalam kandungan. Saran para dokter agar ibu yang hamil berhati-hati dalam segala aktivitasnya, menurutnya, adalah karena kehati-hatian sang ibu sangat berpengaruh pada kesehatan bayi dalam rahimnya, yang selanjutnya berpengaruh pada intelektual dan kejiwaan sang bayi. (Ahmad Tafsir, 2001). Keberadaan janin dalam rahim selama sembilan bulan, menurutnya, hanyalah demi kesempurnaan bentuk dan kejadian sang bayi. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Selanjutnya, setelah sang bayi lahir, ia akan terus dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di sekelilingnya. Ikhwan al-Shafa menganalogikan jiwa bayi sebelum terisi oleh suatu pengetahuan bagaikan kertas putih dan bersih, tidak ada tulisan apapun, sebagaimana sabda Nabi SAW. sewaktu jiwa telah diisi oleh suatu pengetahuan atau kepercayaan, baik yang benar maupun yang batil, maka sebagian darinya telah tertulisi dan sulit untuk dihapuskan. Dengan demikian, perhatian terhadap kesehatan indrawi bayi atau anak hendaknya diberikan sejak dini, karena ia merupakan jendela masuknya dunia luar ke dalam jiwa. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Kesadaran kuat Ikhwan al-Shafa terhadap urgensi indra dalam memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik-jasmani untuk kebahagiaan manusia dan kenormalan hidupnya. Dalam risalah yang lain, mereka menekankan perlunya memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan seksama agar jangan sampai tidak terurus kebutuhan makan dan minumnya. “Sekiranya kebutuhan makan, minum, gerak dan istirahat dari fisik-jasmaniah terpenuhi dengan baik, maka kamu akan sehat wal afiat.” (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah, yang mana antara keduanya memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi. Oleh karena itu, kehidupan manusia diwarnai dengan dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, kepandaian dan kebodohan dan lain-lain. Namun dualistic yang mewarnai manusia tersebut tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002). Sebagai treatment menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-Shafa menegaskan perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi perkembangan anak.
Kelompok yang membenarkan adanya kebenaran dalam agama-agama non Islam ini, juga mengatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi, tetapi potensi itu tidak akan bisa menjadi aktual tanpa bimbingan guru. Ilmu yang ada pada manusia datang dari tiga jurusan, yaitu 1) panca indra; 2) argument; dan 3) perenungan akal. Jalan yang ketiga ini merupakan tahapan yang sederhana, dan akan mencapai ma’rifat Allah jika melalui hidup zuhud (asketis) dan amal saleh. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988).
Dalam pengajarannya, kelompok yang disebut juga ta’limiyyun ini, mengklasifikasikan manusia, sehubungan dengan pengetahuannya, ke dalam empat tingkatan atau kelompok. Pertama kelompok remaja dan pemuda yang berumur sekitar 15-30 tahun. Kelompok ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Mengingat kelompok ini berstatus murid, sepantasnya mereka mengikuti guru mereka. Kedua, kelompok orang dewasa, sekitar umur 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui simbol.
Ketiga, kelompok orang yang berumur 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui Namus Ilahy (malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan Nabi. Keempat, kelompok orang yang berusia 50 tahun ke atas. Tingkatan tertinggi yang memungkinkan manusia menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para malaikat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

Epistemologi Ikhwan al-Shafa
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Sedangkan secara terminology, epistemologi adalah cabang filsafat yang bersangkut-paut dengan teori pengetahuan. (Jan Handrik Rapar, 1996). Jika diformulasikan dengan pertanyaan, maka epistemologi mengandung pertanyaan-pertanyaan: apakah pengetahuan itu? Apa sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya dugaan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?
Untuk menjawab dari mana pengetahuan diperoleh, ada dua pendapat yang berbeda. Pertama, pengetahuan diperoleh melalui akal. Kedua, pengetahuan diperoleh melalui indra (pengalaman). Pendapat pertama selanjutnya dikenal dengan faham rasionalisme, dan kelompoknya disebut rasionalis. Mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia yang dapat dipercaya, dan sumber ilmu pengetahuan yang memenuhi syarat adalah yang diperoleh melalui akal atau rasio. Di antara filsuf yang memelopori pendapat ini adalah Plato.
Sedang pendapat kedua selanjutnya dikenal dengan faham empirisme dan kelompoknya disebut kaum empiris. Mereka berpendapat bahwa indra manusia mempunyai peranan besar dalam menghasilkan pengetahuan, sementara akal lebih berfungsi sebagai pengaturnya.
Dari dua kelompok ini, di manakah Ikhwan al-Shafa berada? Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato, yang menyatakan bahwa jiwa mengetahui dengan mengingat-ulang apa yang telah diperolehnya sewaktu berada di alam ide, sebelum turun ke bumi. Di alam ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam ide yang bersifat rohaniah menuju ke alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam material), sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam ide). (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ikhwan al-Shafa menganggap semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Sekedar menguatkan pendapat kaum empiris di atas, yang mengatakan bahwa akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa, orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan tingkat pengetahuan rasionalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas potensi indrawiah, pola interaksi mereka dengan lingkungan dan lainnya.
Berangkat dari realita tersebut, selanjutnya Ikhwan al-Shafa merumuskan bahwa:
“Sesungguhnya rasio manusia tiada lain hanyalah jiwa yang berpikir (al-nafs al-nathiqah), di kala manusia dalam usia dewasa. Jiwa pada waktu awal bersatu dengan badan, yaitu periode janin dalam rahim, adalah sesuatu yang amat sederhana, tidak berpengetahuan, tidak berakhlak, tidak berpihak dan tidak beraliran, sebagaimana difirmankan Allah SWT.: ‘Allah yang telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun’. Ia hanyalah substansi rohaniah yang hidup dan mempunyai potensi berkembang. Sewaktu jiwa mendapat impresi dan stimuli indrawiah-sensual dengan ragam jenis dan macamnya, lalu dipersepsikan. Dengan demikian, jiwa disebut sebagai berakal dan mengetahui secara aktual.” (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Tentang pertanyaan, apa sumber pengetahuan ? Menurut Ikhwan al-Shafa, sumber pengetahuan ada empat macam:
1.      Kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an.
2.      Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat.
3.      Alam.
4.      Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, yang sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

Tujuan Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Untuk mengetahui tujuan pendidikan, tidak bisa lepas dari pembahasan tentang konsep manusia. Karena merekalah pelaku pendidikan. Sebagai konsekuensi logis, jika kita ingin mengetahui apa tujuan pendidikan ala Ikhwan al-Shafa, maka kita harus mengetahui diskursus mereka tentang manusia.
Sebagaimana --secara serba sederhana-- telah penulis singgung di atas, bahwa dalam moral-etik, Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan “dualistic” tentang konsep dasar manusia. Manusia itu, jelasnya, tersusun dari unsur fisik-biologis dan jiwa-rohaniah. Kedua unsur ini memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan aksidentalnya. Karena unsur fisik-biologisnya, manusia cenderung untuk tidak kekal di dunia dan hidup selamanya. Sedangkan, karena unsur jiwa-rohaniahnya, manusia cenderung untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian, kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, tidur dan terjaga, pengetahuan dan kebodohan, ingat dan lupa, cerdas dan dungu, sehat dan sakit, kedermawanan dan kekikiran, baik dan jahat, ketakutan dan keberanian, susah dan senang dan lain-lain. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudaan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya.
Ketahuilah wahai Saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata berkaitan dengan unsur fisik-biologis manusia, atau semata-mata berkaitan dengan unsur jiwa-rohaniahnya, melainkan berkaitan dengan totalitas dua unsur itu yang membentuk manusia yang hidup, berpikir dan mati. Kehidupan dan kemampuan berpikir manusia dikarenakan oleh unsur jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya dikarenakan unsur fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur jiwa-rohaniahnya. Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang melingkupi kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan, kebijaksanaan, kejujuran, kebaikan, serta hal positif lainnya berasal dari jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semua itu berasal dari fermentasi anasir fisik-biologis manusia. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Namun dualistik yang mewarnai manusia, lanjutnya, tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari, sehingga terjadi keragaman antar individu, seperti ada individu yang berbakat menjadi pedagang, da’i, guru dan lain-lain.
Ragam potensi kognitif dan indrawiah juga memengaruhi pula pada potensi moral-etik yang juga beragam antara manusia, sebagaimana beragamnya potensi kognitif-intelektual. Menurutnya, moral yang bersandar pada karakter dasar manusia adalah kecenderungan kuat pada anggota badan, dan pada gilirannya akan memudahkan dalam merefleksikan dalam tindakan nyata. Sebagai contoh, misalnya seseorang berkarakter pemberani maka dia akan merasa enteng menghadapi hal-hal yang menakutkan. Tetapi jika dia berkarakter penakut, dalam menghadapi hal-hal yang menakutkan dia akan pikir-pikir dahulu atau penuh pertimbangan, begitu seterusnya.
Ikhwan al-Shafa juga mengakui adanya potensi psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing individu. Mereka menggambarkan kehidupan sosial sebagai tatanan (sistem) fungsional-komplementer, di mana tiap-tiap potensi genetic-bawaan yang dimiliki manusia merupakan alat-alat sistemik (sub sistem-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi tegaknya sebuah tatanan (sistem) tersebut. Namun tidak diragukan bahwa fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarkhi paling atas dan mulia dibanding fungsi-fungsi lainnya.
Berangkat dari eksplanasi di atas, bahwa manusia diliputi oleh dua hal, yaitu positif dan negative (baik dan buruk). Maka tujuan pendidikan bagi manusia, menurut Ikhwan al-Shafa, secara umum, adalah untuk mencapai kebaikan. Dan secara khusus, mereka merincinya menjadi dua tujuan, yaitu tujuan individual dan tujuan sosial. Secara tekstual, antara keduanya terdapat perbedaan. Ikhwan al-Shafa memberikan porsi lebih kepada kelompok kedua. Secara global-individual, tujuan pendidikan adalah untuk mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan ­global-sosial adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk).
Lebih jelasnya, tujuan-tujuan tersebut dapat dibaca dalam kutipan risalah mereka berikut ini: “Ketahuilah wahai Saudaraku! --semoga Allah memberi kekuatan kepada kita-- bahwa tujuan para filsuf dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para murid adalah al-suluk (pembentukan karakter diri) dan penitian ke arah penguasaan ilmu-ilmu kealaman (Fisika). Sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu kealaman adalah pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan (theologi) yang menjadi puncak tujuan para filsuf dan ilmuwan bijak, serta muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman ilmu-ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain; mengingat juga manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma’rifat) terhadap Tuhannya, sementara hal itu hanya bisa diraih bila ia mampu mengenali dirinya sendiri, seperti difirmankan Allah SWT., “Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri” (al-jahl al-nafs), dan seperti apa yang diungkapkan, “Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengenali (ma’rifat) Tuhannya”, demikian juga ungkapan, “orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah yang paling mengenali Tuhannya”. Maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan mempelajari ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara penyuciannya. Allah berfirman, “Demi jiwa dan apa yang Dia telah menyempurnakan. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketaqwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Namun tujuan tertinggi dari aktivitas pendidikan ini, menurutnya, adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar dapat meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu, tegasnya, hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang terhadap perilaku moral. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)

Penutup                           
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia dan memiliki tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal-revolusioner, tetapi melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya. Kepedulian tersebut terutama dalam pemikiran (pendidikan), yang selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya, Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa disiplin ilmu pengetahuan, sekaligus kurikulum pendidikan.
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, memiliki konsep bahwa pendidikan itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain tetapi lebih merupakan aktivitas moral yang dengannya seseorang mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam istilah mereka disebut “derajat malaikat al-muqarrabin. Aktivitas pendidikan ini bukan hanya berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas pendidikan sudah dimulai.
Dalam epistemologi, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari 1) kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an; 2) kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat; 3) alam; 4) perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.

Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2002
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (terj.), Jakarta: Logos, 1994
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Departemen Agama RI., Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1988
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996
Majid Fakhriy, Sejarah Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2002
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
M.M. Syarif (ed), A. Historis of Muslim Philosophy, Otto Harrassinwitz Wiesbaden, 1963