A. Pendahuluan
Sepintas judul di atas terasa janggal. Ketika kata ‘pendidikan’ diikuti dengan kata ‘membangun’ (pembangunan), logika kita sepakat, artinya di sini tidak dirasakan ada kejanggalan, karena memang sudah seharusnya pendidikan itu membangun, sekurang-kurang terhadap mental dan moral kita. Namun ketika kata ‘pendidikan’ diikuti dengan kata ‘menghancurkan’ --dan atau memperalat-- maka di sinilah kejanggalan itu kita rasakan, karena antara ‘pendidikan’ dan ‘menghancurkan’ adalah a vis a (berlawanan). Berpijak pada statemen tersebut, berarti mengikutkan kata ‘menghancurkan’ pada kata ‘pendidikan’ semakna dengan mengikutkan kata ‘menghancurkan’ pada kata ‘membangun’. Itu adalah sesuatu yang tidak akan terjadi atau terselesaikan. Ibarat dua orang, yang satu membangun, yang lain menghancurkan. Kapan selesainya? Sekali lagi, di sinilah letak kejanggalan tersebut.
Akan tetapi dengan membaca sepenuhnya tulisan ini, rasa janggal tersebut akan hilang. Begitu sekurang-kurangnya harapan penulis.
B. Pendidikan: Membangun
Pendidikan mengandung arti membangun jika dilihat dari sisi konseptual, teori, visi, misi, tujuan, dan praktek dari segelintir orang. Pendidikan yang demikian telah didefinisikan dengan ramah, santun, obyektif, manusiawi oleh para tokoh pendidikan. M. Ngalim Purwanto, misalnya, mendefinisikan pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. (M. Ngalim Purwanto, 1997:10). Begitu juga Langgulung. Menurutnya, pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik. (Hasan Langgulung, 1986: 33).
Dari dua definisi tersebut dapat dikatakan, jika kita menginginkan anak-anak kelak menjadi orang yang mengerti apa yang harus dilakukan di dalam menjalani hidupnya --termasuk dalam menghadapi problemnya-- baik dalam tataran sosial maupun spiritual hendaknya sekarang mereka dididik. Begitu juga jika dikehendaki agar mereka bertindak tertentu dalam menghadapi hal tertentu maka mulai sekarang mereka hendaknya dididik dengan tingkah laku tersebut. Begitu pentingnya pendidikan dalam pandangan kedua tokoh tersebut. Pendidikan terasa sebagai kegiatan yang manusiawi (memanusiakan manusia). Oleh karenanya ia sangat dibutuhkan oleh setiap orang, bahkan dijadikan sebagai suatu kewajiban yang seandainya ditinggalkan seseorang akan kehilangan arah dalam hidupnya.
Di lain pihak Sartono --dan dikuatkan Langgulung-- mengatakan, tanpa pendidikan kita tidak dapat bertahan hidup (lihat Tri Yudho, 1996: 9). Dari sini semakin jelas betapa luhurnya pendidikan. Sehingga bangsa Indonesia sendiri menyadari dan kemudian merumuskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas 2003)
Pentingnya pendidikan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh tokoh masyarakat dengan mendirikan institusi pendidikan dengan visi, misi dan tujuan yang tentunya luar biasa pula, dengan harapan agar kelak anak-anak mereka menjadi generasi yang dapat diharapkan dan diandalkan. Di sinilah pendidikan merupakan harapan bagi setiap orang dalam rangka membangun masa depan, dan untuk mencapai kedewasaan sehingga mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sekaligus mampu mengambil sikap.
C. Pendidikan: Menghancurkan
Konsep, visi, misi, tujuan pendidikan yang sangat manusiawi sebagaimana didefinisikan di atas, kemudian dipraktekkan berbeda oleh kebanyakan masyarakat yang notabene peduli terhadap pendidikan. Tidak sedikit di antara pelaku pendidikan, baik kepala sekolah maupun wakilnya, staf pengajar --bahkan orang-orang yang bekerja di kementerian pendidikan-- yang tahu visi, misi, maupun tujuan pendidikan di mana mereka melaksanakan tugas. Tidak jarang pula mereka yang sudah mengetahuinya kemudian menjadikan pengetahuan tersebut sebagai muara dalam melaksanakan tugas. Tindakan inilah di antaranya yang dapat menghancurkan pendidikan.
Selain itu, terjadinya pengangkatan guru yang kurang profesional, masih suburnya praktek KKN dalam ranah pendidikan, kasus suap, kemampuan penguasaan materi dan metode pembelajaran yang tidak dimiliki guru, managemen pendidikan yang tidak tertata rapi, seperti terjadinya pungli atau mahalnya tarif pendidikan yang dipasang, pengaturan jadwal, pemberian alokasi waktu yang kurang memadahi bagi mata pelajaran yang memiliki materi banyak dan lain-lain turut mempercepat hancurnya pendidikan.
Namun di atas semua itu, yang tidak kalah dahsyatnya dalam menghancurkan pendidikan adalah rendahnya dedikasi dan hilangnya keikhlasan di hati mereka. Dijadikannya sekolahan --dan atau instansi terkait- sebagai tempat mencari keuntungan materi merupakan tanda hilangnya keikhlasan. Ketika keikhlasan hilang maka semangat mendidik akan digantungkan pada banyaknya imbalan yang didapat, selain itu semangat mendidik tersebut menjadi tidak konsisten. Seorang guru akan semangat ketika keberhasilan pendidikannya kelak akan dijadikan sebagai lahan promosi. Jika hal itu yang terjadi maka kemampuan anak hanyalah kemampuan sesaat, karena mereka belajar hanyalah untuk kepentingan sesaat. Inilah di antara perbedaan antara praktek pendidikan sekarang dengan masa klasik. Mengapa pendidikan yang didukung oleh sarana dan prasarana yang pas-pasan mampu melahirkan tokoh-tokoh besar. Sementara pendidikan yang didukung oleh sarana yang memadahi justru melahirkan pencuri-pencuri besar.
D. Pendidikan sebagai Alat
Seringkali stockholder pendidikan menjadikan lembaganya sebagai alat taruhan, dalam arti mempertaruhkan harga diri. Agar mendapatkan emage baik di mata masyarakat, seringkali mereka menempuh jalan yang tidak sportif dan obyektif, lebih-lebih dalam menghadapi UN. Pengalaman penulis selama 4 periode menjadi pemantau UN cukup menjadi bukti betapa hal ini ditempuh oleh sebagian besar --untuk tidak mengatakan semua-- pengelola pendidikan. Kebanyakan guru, ketika menjadi pengawas membiarkan peserta ujian melakukan kecurangan dengan berbagai cara. Ketika menjadi panitia, mereka mendiktekan jawaban kepada siswanya, mengajari cara-cara melakukan kecurangan, bahkan menginstruksikan siswa yang pandai untuk mengajari siswa yang bodoh di dalam mengerjakan soal. Begitu juga kepala sekolah, tidak memberi kontrol terhadap sikap demikian.
Tidak jarang pula institusi tersebut dijadikan sebagai lahan bisnis. Siswa dijadikan sapi perah untuk mendapatkan laba sebanyak mungkin tanpa mempedulikan bagaimana kemajuan belajar mereka, baik dengan jalan memungut biaya pada siswa maupun membelokkan subsidi-subsidi yang masuk. Kasus ini memang tidak sebanyak kasus sebelumnya, namun demikian kita tidak bisa melupakan bahwa ia turut juga dalam menghancurkan pendidikan di tanah air.
Kasus lain --yang mungkin masih menimbulkan perdebatan-- adalah adanya indoktrinasi yang dilakukan sekolah-sekolah tertentu. Indoktrinasi pada batas-batas tertentu merupakan pengkebirian terhadap kreatifitas dan kritisitas siswa. Siswa yang seharusnya mampu menangkap segala pengetahuan, gagal karena pengetahuan-pengetahuan tertentu dikatakan sebagai pengetahauan yang salah dan tidak harus diikuti. Pendidikan seharusnya menjadikan anak mampu menilai sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Namun kemampuan itu tidak didapatkannya, hanya karena kepentingan manager pendidikan. wa Allah a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar