Rabu, 22 Juni 2011

ISLAM DAN KEBIDANAN

Oleh: Abd. Azis, M. Ag.


Pertama-tama harus kita katakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beragama. Dan karena merupakan bagian dari bangsa ini maka kita adalah umat beragama (umat yang mengikuti agama, tertentu). Jika ditelisik dari asal katanya, agama memiliki makna teratur (a: tidak, gama: kacau). Tidak aneh jika kemudian agama dalam aplikasinya memiliki banyak aturan. Justru aneh jika agama tidak mempunyai aturan. Tentunya aturan-aturan agama tersebut diperuntukkan bagi para pemeluknya. Aturan ini meliputi segala aspek kehidupan. Baik secara langsung (tersurat) maupun tidak (tersirat). Dari yang besar sampai yang kecil. Baik dari sisi individu maupun sosial. Baik hubungan antar manusia maupun antara manusia dengan Allah. Semua aturan tersebut adalah demi kemaslahatan dan kebaikan manusia. Tak satupun perintah Allah yang tidak bermanfaat bagi manusia dan tak satupun larangan Allah yang (kalau dilakukan) tidak berdampak buruk bagi manusia.
Agama mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun, bagaimana bisnis yang menguntungkan tetapi tidak merugikan orang lain, bagaimana anak bangsa menjadi orang yang berpendidikan, bagaimana umat ini tidak gatek tapi juga tidak mempertuhankan teknologi, bagaimana perkembangan jiwa manusia, bagaimana cara mengolah alam, bagaimana manusia bisa menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi yang bertugas memakmurkan bumi, bagaimana manusia bisa saling hidup bersanding dengan nyaman dsb.
Terhadap masalah khalifah, agama memberikan pedoman bahwa, untuk dapat melaksanakan tugas pemakmuran, manusia harus memiliki akal yang kreatif. Akal yang kreatif dapat diraih jika fisik dalam kondisi sehat dan jiwa kuat. Untuk itu kesehatan fisik harus dijaga, di antaranya lewat makanan. Hal ini tidak dapat dipungkitri. Al-Qur'an sendiri membicarakan masalah makanan ini sampai di 27 tempat. Di satu sisi, pembicaraan tersebut berupa perintah makan makanan yang halal. Di sisi yang lain berupa perintah makan makanan yang baik. Dan empat tempat di antaranya menggabungkan keduanya sekaligus (halalan thaiyiban: halal dan baik). Untuk menentukan halal tidaknya suatu makanan kita dapat berpedoman pada fatwa MUI misalnya. Sedangkan untuk menentukan baik tidaknya secara tepat ini harus melibatkan ahli medis --yang dalam hal ini termasuk bidan-- terutama makanan yang harus dikonsumsi oleh wanita yang sedang hamil serta balita. Perhatian terhadap makanan bagi wanita yang hamil penting dilakukan karena kondisinya akan berpengaruh terhadap bayi yang dikandungnya.
Selain terhadap makanan, penjagaan kesehatan juga harus rutin dilakukan sejak dalam kandungan. Pengetahuan tentang kondisi janin setiap bulan penting bahkan harus dilakukan guna memastikan normal tidaknya bayi. Semua adalah tugas mulia seorang bidan. Selain itu, dan sangat diharapkan, ketika wanita yang hamil tersebut melahirkan. Saat di mana seorang wanita dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara mati dan hidup. Sekali lagi bantuan bidan pada saat itu sangat diharapkan. Karena besarnya peran bidan dalam keberlangsungan hidup manusia, tidak berlebihan jika kemudian kita memasukkan bidan ke dalam golongan pahlawan kesehatan bangsa.
Namun demikian, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan. Bagaimana pun juga seorang bidan hanyalah manusia yang hanya bisa berusaha. Keputusan akhir tetap ada di tangan Allah Yang Mahakuasa. Tentu saja Allah selalu punya keputusan sendiri terhadap masalah yang kita tangani, yang terkadang berbeda dengan apa yang kita harapkan dan usahakan. Hal ini penting sekali dipegang, agar jika suatu saat ketika mengalami kegagalan dalam menangani masalah, sungguhpun telah sungguh-sunguh, seorang bidan tidak putus asa. Dalam al-Qur'an hal ini disampaikan dengan ungkapan: ”dan ketika saya sakit Dialah yang menyembuhkan”
Agama juga bicara dalam hal sosial atau interksi antara sesama manusia. Agama mengajarkan, bahwa sesama manusia harus saling menghormati, menghargai dan saling menolong. Hubungan antara yang tua dengan yang muda dinyatakan, bahwa yang muda harus menghormati yang tua, dan yang tua harus menyayangi yang muda. Sementara untuk hubungan antara laki-laki dan perempuan agama memberikan batas-batas tertentu yang jika dilanggar dapat berdampak negatif. Agama (al-Qur'an) mengingatkan agar para mukmin laki-laki dan perempuan masing-masing harus selalu membatasi pandangan dan menjaga kemaluannya.
Dibatasinya pandangan ini, karena pandangan adalah awal dari terjadinya suatu interaksi yang lebih jauh. Bagi muda mudi yang bukan muhrim pandangan mata ini sering digambarkan: dari mata turun ke hati. Artinya dari pandangan ini bisa melahirkan rasa suka bahkan cinta. Dan bagi yang kurang imannya, cinta tersebut dapat membutakan mata mereka. Jika hal itu terjadi maka bukan tidak mugkin mereka akan melakukan hal-hal yang terlarang. Ada banyak dampak negatif yang harus ditanggung jika hal itu terjadi terutama bagi kaum perempuan. Karena itulah mengapa agama melarangnya. Termasuk dampak terburuk yang mungkin terjadi adalah munculnya upaya menggugurkan kandungan. Dalam merealisasikan pilihan yang dapat dikategorikan kriminal ini seringkali melibatkan bidan, sebagai orang yang dipandang memiliki keahlian.
Di sinilah ujian terbesar bagi profesi seorang bidan. Imbalan besar seringkali mengganjal dia untuk dapat menolak dengan lantang. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan imbalan yang cukup memuskan. Tetapi di saat yang sama dia telah melakukan suatu kejahatan, lebih-lebih jika janin dalam kandungan sudah berbentuk manusia. Dia dapat dikatakan sebagai melakukan pembunuhan. Suatu tindakan yang sangat dikutuk oleh Allah. Sekaligus melanggar UU negara, yang dapat membuatnya masuk penjara.

 disampaikan dalam acara buka bersama di AKBID BAKTI UTAMA Pati, tgl 3 Sept. 2009

DIKOTOMI DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Dikotomi adalah kasus yang tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam. Selama berabad-abad, sejak menjelang runtuhnya Dinasti Abbasiyyah, pengutamaan ilmu-ilmu agama di atas ilmu-ilmu umum menghiasi institusi-institusi pendidikan Islam. Sehingga proses pendidikan yang diselenggarakan tidak mampu memberikan solusi bagi problem kehidupan (dunia) yang semakin kompleks, sekaligus tidak mampu melahirkan manusia yang siap menghadapi masa depan dengan segala konsekuensinya. Sebagai implikasi, Islam berada jauh di belakang kelompok lain bahkan menjadi agama yang termarjinal dalam kancah kehidupan. Begitu besar ekses yang ditimbulkan oleh sistem ini, maka upaya untuk melacak akar munculnya dikotomi sangat menarik bagi sejumlah ilmuwan. Karya-karya ilmiah mengenainya sejak lama telah bermunculan, bahkan beberapa di antaranya telah dipublikasikan. Namun kesimpulan yang mereka tarik tidak selamanya sama. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor penyebab dikotomi selalu terbuka untuk diteliti dan diperdebatkan. Itulah yang mengilhami penulis untuk ikut serta dalam melakukan penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan sosio-historis. Metode dan pendekatan ini berhubungan dengan perkembangan atau evolusi masyarakat dalam aturan kronologis yang tepat yang berdasarkan sejarah, otentik, nyata, faktual dan bukan legenda atau fiksi. Yang selajutnya digunakan untuk mengkaji tentang interaksi sosial masyarakat muslim pada masa klasik, terutama dalam relevansinya dengan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini telah mengungkap bahwa, aliran agama yang dijadikan dasar bagi keberagamaan umat, terutama pada masa Daulah Bani Abbasiyah, turut menentukan dan mewarnai proses pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Tiga aliran besar yang berkembang pada masa Bani Abbasiyyah, yaitu Mu'tazilah, Syi'ah (Ismâ'îliyah), dan Sunni, telah membuktikan pengaruhnya tersebut. Sehingga apa yang menjadi doktrin dari aliran-aliran tersebut, terefleksi dalam pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Mu'tazilah misalnya, sebagai aliran rasional telah mengilhami munculnya ilmu-ilmu yang berbasis rasio. Demikian juga Syi'ah (Ismâ'îliyah), rasionalitas yang diadopsi dari aliran Mu'tazilah, menjadikan aliran ini sebagai pengembang ilmu-ilmu rasional yang telah ditumbuhkan sebelumnya. Dan Sunni --yang karena tampil lebih akhir pada masa kejayaan Islam sehingga menjadi aliran yang terbesar-- yang pengaruhnya bukan hanya dirasakan oleh mereka yang hidup pada awal tampilnya, akan tetapi hingga kini masih dirasakan oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia. Sehingga pendidikan Islam yang berlangsung hingga kini pun tidak bisa terlepas dari aliran ini.
Pemikiran ortodoks-konservatif yang diwarisi aliran ini (baca: Sunni) dari ulama'-ulama' ortodoks, dikembangkan oleh mayoritas tokohnya di awal-awal bangkitnya, di penghujung pemerintahan Bani Abbasiyyah, pada paroh kedua abad XI, dengan dukungan para penguasa Dinasti Saljuk yang memegang kendali kekhalifahan Bani Abbasiyyah ketika itu, bahkan ia menjadi kredo bagi mayoritas kelompok Sunni ketika itu. Sikap anti rasional dan penentangan terhadap ilmu-ilmu yang berbasis rasio yang dulu dikumandangkan kelompok ortodok, sekarang mendapatkan kemenangannya melalui aliran Sunni. Beberapa ilmuwan Sunni pada masa ini membatasi terhadap kajian ilmu-ilmu umum. Hal itu tampak dalam pendirian beberapa madrasah yang hanya mengajarkan kajian ilmu-ilmu agama.
Dalam kaitan ini, implikasi madrasah Nidlâmiyah yang didirikan penguasa Sunni, dan memiliki prestise tinggi serta menjadi standar bagi madrasah-madrasah yang lain, tidak bisa dielakkan. Pemberlakuan kurikulumnya yang didominasi oleh ilmu-ilmu agama yang kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lain merupakan indikasi bagi termarjinalkannya ilmu-ilmu umum dalam institusi pendidikan Islam. Sekurang-kurangnya, dalam hal ini madrasah Nidlâmiyah turut mempercepat dan melestarikan praktik dikotomi yang berlangsung di institusi-institusi di zamannya dan sesudahnya.
Sehingga penelitian ini menemukan beberapa faktor, yang saling mendukung, bagi munculnya praktik dikotomi dalam praksis pendidikan Islam. Faktor-faktor tersebut antara lain, pertama, sistem pemikiran ortodoks-konservatif yang dikembangkan oleh sejumlah ulama' Sunni, sehingga menjadi kredo bagi mayoritas pengikut Sunni. Kedua, adanya fanatik madzhab, yang merupakan tradisi yang berlangsung selama masa Abbasiyyah. Ketiga, pemberlakuan kurikulum yang didominasi ilmu-ilmu agama pada madrasah Nidlâmiyah.