Senin, 19 Desember 2011

INSEMINASI DALAM PERSPEKTIF AGAMA


Dengan melengkapinya dengan akal, Allah menghendaki agar manusia menjadi makhluk yang aktif dan kreatif. Hidup akan berhenti jika manusia bersikap pasif. Dan Allah tidak menghendaki hal demikian. Terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan, hendaknya manusia mencari solusi yang memang telah Allah berikan (baca: QS. al-Insyirah: 5-6). Di antara masalah yang muncul dalam kehidupan manusia adalah gagalnya pasangan suami istri dalam mendambakan datangnya buah cinta mereka. Hal itu tentunya memiliki sebab tertentu yang dapat dipelajari. Sebab tersebut seperti misalnya salah satu suami istri atau bahkan keduanya mengidap penyakit yang menghalangi dalam melakukan pembuahan secara alami. Ini bukanlah akhir dari suatu harapan. Kemajuan science dan teknologi yang telah Allah karuniakan mampu menjadi solusi bagi kasus demikian.
A.      Pengertian Inseminasi  
Secara sederhana, inseminasi (buatan) adalah proses penempatan sperma dalam organ reproduksi wanita dengan tujuan untuk mendapatkan kehamilan. Ini harus dilakukan pada masa paling subur dari seorang wanita, yakni sekitar 24-48 jam sebelum ovulasi terjadi. Inseminasi buatan yang paling populer digunakan adalah IUI atau Intra Uterine Insemination. IUI merupakan proses fertility treatment yang melibatkan air mani yang dicuci dan kemudian ditransfer ke dalam rahim wanita dengan menggunakan jarum suntik khusus. Cara ini merupakan cara yang paling umum dan biasanya berhasil.
B.     Jenis-jenis Inseminasi
Selain IUI, ada juga beberapa proses inseminasi lain yang perlu kita ketahui:
1.      Intravaginal Insemination (IVI)
Yaitu jenis inseminasi yang paling sederhana, dan melibatkan penempatan sperma ke dalam vagina wanita. Idealnya, sperma harus ditempatkan sedekat mungkin dengan leher rahim. Metode inseminasi ini dapat digunakan bila menggunakan sperma donor, dan ketika tidak ada masalah dengan kesuburan wanita. Namun, tingkat keberhasilan IVI tidak sesukses IUI, dan ini merupakan proses inseminasi yang tidak umum.
2.      Intracervical Insemination (ICI)
Dengan proses ICI, sperma ditempatkan secara langsung di dalam leher rahim. Sperma tidak perlu dicuci, seperti dengan IUI, karena air mani tidak langsung ditempatkan di dalam rahim. ICI lebih umum daripada IVI, tapi masih belum sebaik IUI dari prosentase keberhasilannya. Dan lagi, biaya inseminasi dengan ICI biasanya lebih rendah daripada IUI karena sperma tidak perlu dicuci.
3.      Intratubal Insemination (ITI)
Proses ITI merupakan penempatan sperma yang tidak dicuci langsung ke tuba fallopi seorang wanita. Sperma dapat dipindahkan ke tabung melalui kateter khusus yang berlangsung melalui leher rahim, naik melalui rahim, dan masuk ke saluran tuba. Metode lainnya dari ITI adalah dengan operasi laparoskopi. Sayangnya, inseminasi melalui ITI memiliki resiko lebih besar untuk infeksi dan trauma, dan ada perdebatan dikalangan ahli tentang kefektifannya daripada IUI biasa. Karena sifatnya invasif, biaya ITI lebih tinggi, dan tingkat keberhasilannya tidak pasti.
Dengan adanya proses inseminasi ini, banyak pasangan yang akhirnya berhasil memiliki buah hati. Namun, sering kali kemajuan teknologi ini disalahgunakan. Yang paling populer adalah dengan adanya donor sperma, terutama bagi kalangan lesbian atau penganut kebebasan hidup.
C.    Pandangan Agama terhadap Inseminasi
1.      Pandangan Agama Islam
Inseminasi pada dasarnya bersifat netral. Namun kenetralan tersebut bisa berubah sesuai dengan hal-hal yang mengiringi dilakukannya inseminasi. Jadi, meskipun memiliki daya guna tinggi, terapan sains modern juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, tidak beriman dan tidak beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal, sehingga hal tersebut menjadi sebuah kejahatan. Oleh karena itu, kaedah dan ketentuan syariah patut dijadikan sebagai pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat merasa resah dan mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi pada 1960–an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah Kontemporer, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut hukum islam maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahid), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner, tentunya oleh para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut Mahmud Syaltut penghamilan buatan (jika menggunakan sperma donor) adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena memasukkan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara syara’, yang dilindungi hukum syara’.
Hal senada juga disampaikan oleh Yusuf Al-Qardlawi. Beliau  menyatakan bahwa Islam mengharamkan pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari sperma suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al-hajaatu tanzilu manzilah al dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah, pertama:
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar