Selasa, 29 November 2011

RAGAM HADIS



Dilihat dari sumbernya, hadis dibagi menjadi 4 macam:
Hadis qudsi: hadis yang disandarkan Nabi pada Allah swt. Jadi sumber hadis (makna hadis) tersebut bukan Nabi tapi Allah, yang disampaikan-Nya melalui mimpi atau ilham (bukan melalui Jibril). Akan tetapi redaksinya Beliau sendiri yang menyusun. Di dalam setiap penyampaiannya, Beliau mengatakan “Allah berfirman…”. Sungguhpun berasal dari Allah, akan tetapi tidak memiliki sifat mu’jiz. Contoh hadis qudsy:
قال الله عز وجل: انا عند ظن عبدي بى، وانا معه حيث يذكرنى (رواه البخارى عن ابى هريرة)
Pendapat lain mengatakan bahwa hadis qudsi itu segala hadis yang berpautan dengan zat dan sifat Allah.
Hadis ini dinamakan qudsi yang berarti suci, karena berasal dari zat yang Mahasuci.
Hadis marfu’, marfu’ artinya diangkat.  Dalam kaitannya dengan hadis, hadis marfu’ adalah berita yang disandarkan pada Nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Beliau, sekalipun sanadnya terputus. Dengan demikian hadis marfu’ ada yang qauli, fi’li dan ada yang taqriri.
Hadis mauquf,  mauquf  artinya dihentikan. Dalam kaitannya dengan hadis, hadis  mauduf adalah berita yang disandarkan pada shahabat, baik yang berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Baik tersambung maupun terputus. Fuqaha Khurasan menyebut hadis yang seperti ini dengan sebutan atsar. Sedangkan hadis marfu’ mereka sebut sebagai khabar. Hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah, kecuali jika diperkuat oleh hadis Nabi, walaupun dhaif.
Hadis maqtu’, maqthu’ artinya terputus. Dalam hal ini adalah berita yang disandarkan pada tabi’in atau orang setelahnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maupun persetujuan. Hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum syara’ walaupum shahih

Dilihat dari segi kuantitas perawi, hadis dibagi menjadi 3 macam:
Menurut madzhab Hanafi (fuqaha hanafiyah), dari sudut ini hadis dibagi menjadi 3. Akan tetapi menurut ulama hadis, hanya ada 2, yaitu mutawatir dan ahad. 
1.      Hadis mutawatir
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi, sejak generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk berbohong. Hadis demikian bersifat qath’i al-wurud (dipastikan berasal dari Nabi). Dengan demikian hadis ini wajib dijadikan pegangan.
Hadis mutawatir ada 2 macam:
a.       Mutawatir lafdli: mutawatir redaksinya. Contoh :
من كذب علي متعمد فليتبوأ مقعده من النار
b.      Mutawatir ma’nawi: hadis yang isi/kandungannya diriwayatkan oleh orang banyak dengan redaksi yang berbeda-beda. Seperti hadis-hadis yang tatacara Nabi shalat.
2.      Hadis masyhur
Yaitu: hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa sahabat tetapi tidak mencapai tingkat muatawatir, walaupun di tingkat tabiin hadis tersebut diriwayatkan oleh secara mutawatir. Fuqaha menyebut hadis ini dengan hadis mustafidh.
Hadis ini memberikan keyakinan bahwa ia berasal dari Nabi. Namun mengingkari hadis masyhur tidaklah termasuk kafir.

3.      Hadis ahad
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau di bawah jumlah rawi hadis masyhur. Ketergantungan dalam berpedoman dengan hadis ini adalah pada kualitas rawi dan ketersambungan sanad. Menurut jumhur ulama, jika shahih harus dijadikan sebagai dasar. Hadis ini melahirkan ilmu dlanni.
Dilihat dari kualitas sanad dan matan, hadis dibagi menjadi 3 macam:
1.      Hadis shahih
Yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit serta tidak sadz dan cacat.
Ø  Sanad bersambung: sejak Nabi sampai rawi terakhir
Ø  Adil: teguh dalam beragama, tidak pernah bohong
Ø  Dhabit: kuat ingatan, cermat dan mengetahui ada atau tidaknya perubahan dalam periwayatan.
Ø  Syadz: tidak bertentangan dengan informasi lain yang dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas atau tidak bertentangan dengan dalil lain yang lebih kuat. Ulama Maliki menambah, tidak bertentangan dengan tradisi dan paham yang mengakar di Madinah.
Ø  Tidak cacat: tidak terjadi manipulasi di dalamnya, seperti misalnya setelah diteliti sebenarnya hadis tersebut tidak bersambung sanadnya, atau bahkan bukan dari Nabi.
Ada perbedaan dalam mengimplementasikan syarat di atas. Dalam poin pertama, sanad dikatakan bersambung jika pemberi dan penerima rawayat bertemu, yang dibuktikan dengan redaksi yang digunakan untuk meriwayatkan, seperti hadatsani (a), akhbarani (a) sami’tu dan lain-lain tidak dengan ‘an. Karena kata ‘an tidak menjamin bahwa proses penyampaian hadis dilakukan dengan bertemu.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata ‘an bisa dinilai bertemu jika antara pemberi dan penerima riwayat hidup semasa.
Demikian juga dalam menilai keadilan rawi, ada unsur subyektif

2.      Hadis hasan
Satu tingkatan di bawah hadis shahih, karena kadhabitan perawi tidak sesempurna rawi pada hadis shahih. Misalnya komentar terhadap rawi tersebut: lumayan, bolehlah, tidak mengapa dan lain-lain yang senada, asal tidak pembohong. Istilah ini dipopulerkan oleh al-Turmudzi. Beliau terkadang menulis di belakang hadisnya “hasan shahih”. Shahih dari persyaratan yang telah ditentukan kecuali kedhabitannya. Hadis ini bisa menjadi shahih  jika ada hadis lain yang senada yang kualiatas minimal sama (shahih lighairih).
3.      Hadis dhaif
Yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan di atas, seperti sanadnya terputus atau di antara rawinya ada yang pendusta atau tidak dikenal. Hadis ini juga bisa naik derajatnya (hasan lighairih) jika di antara perawinya ada yang tidak dikenal oleh ahli hadis tapi orang tersebut tidak diberitakan sebagai banyak salah dan pendusta serta hadis tersebut dikuatkan oleh hadis dhaif lain melalui jalur yang berbeda. Hadis dhaif yang demikianlah yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam fadhail amal. Sedangkan hadis yang tingkat kedhaifannya tinggi tidak boleh dijadikan sebagai dasar beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar