Tampilkan postingan dengan label bayi tabung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bayi tabung. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Desember 2011

BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF RELIGIUS

Di antara alternatif bagi gagalnya pembuahan sel telur oleh sperma dalam hubungan suami istri yang berdampak pada gagalnya proses lahirnya anak secara alami adalah melalui proses bayi tabung atau yang sering disebut dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai in vitro fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Sekaligus sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil.
A.      Pengertian Bayi Tabung
Bayi tabung adalah upaya pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Teknologi ini telah dirintis oleh PC Steptoe dan RG Edwards pada 1977. Hingga kini, banyak pasangan yang kesulitan memperoleh anak, mencoba menggunakan teknologi bayi tabung.
Prosedur bayi tabung ini dimulai dengan perangsangan indung telur istri dengan hormon. Ini untuk memacu perkembangan sejumlah folikel. Folikel adalah gelembung yang berisi sel telur. Perkembangan folikel dipantau secara teratur dengan alat ultrasonografi dan pengukuran kadar hormon estradional dalam darah.
Pengambilan sel telur dilakukan tanpa operasi, tetapi lewat pengisapan cairan folikel dengan tuntunan alat ultrasonografi transvaginal. Cairan folikel tersebut kemudian segera dibawa ke laboratorium. Seluruh sel telur yang diperoleh selanjutnya dieramkan dalam inkubator.
Beberapa jam kemudian, terhadap masing-masing sel telur akan ditambahkan sejumlah sperma suami (inseminasi) yang sebelumnya telah diolah dan dipilih yang terbaik mutunya.
Setelah kira-kira 18-20 jam, akan terlihat apakah proses pembuahan tersebut berhasil atau tidak. Sel telur yang telah dibuahi sperma atau disebut zigot akan dipantau selama 22-24 jam kemudian untuk melihat perkembangannya menjadi embrio.
"Dokter akan memilih empat embrio yang terbaik untuk ditanamkan kembali ke dalam rahim. Empat embrio merupakan jumlah yang maksimal karena apabila lebih dari empat, risiko yang ditanggung ibu dan janin akan sangat besar. Bahkan kehamilan tiga saja sudah bisa disebut sebagai kehamilan berisiko.
Embrio-embrio yang terbaik itu kemudian diisap ke dalam sebuah kateter khusus untuk dipindahkan ke dalam rahim. Terjadinya kehamilan dapat diketahui melalui pemeriksaan air seni 14 hari setelah pemindahan embrio.
"Saat ini tingkat keberhasilan bayi tabung masih sekitar 25 persen. Angka ini berlaku di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Semakin muda umur istri, semakin besar peluang kehamilannya. Pada perempuan usia kurang dari 35 tahun, angka keberhasilan mencapai 30-33 persen. Sementara pada perempuan berusia lebih dari 40 tahun, maka peluang kehamilannya hanya delapan persen.
1.      Ditentukan Kualitas Sperma-Sel Telur.
Program bayi tabung pada prinsipnya mempertemukan sperma dan ovum secara in vitro (di luar tubuh). Bayi tabung membantu terjadinya proses pembuahan yang secara alami tidak dapat terjadi pembuahan.
Menurut salah seorang konsultan IVF di Klinik Fertilitas Teratai dr Irsal Yan SpOG, pihak wanita akan dirangsang sel telurnya supaya memproduksi lebih dari satu. Tujuan dari mengikuti program ini agar sel telur yang diproduksi lebih banyak. "Sel telur dirangsang dengan obat-obat hormon sampai cukup matang seperti jumlah lebih banyak dan diameter lebih banyak," jelas dr Irsal.
Sementara proses pengambilan sperma diambil pada hari yang sama melalui masturbasi. Pada suami yang spermanya tidak keluar dengan cara biasa, dilakukan pengambilan sperma melalui testis, buah zakar atau saluran sperma sendiri.
"Diperlukan kualitas sperma dan sel telur yang bagus agar program bayi tabung berhasil," kata embriologist Dra Laksmi Wingit Ciptaning Msi. Dia menuturkan, sel ovum dikatakan matang bila sudah mempunyai satu polar bodi. Adapun, sperma mempunyai kualitas yang bagus jika mempunyai bentuk normal dan gerakan yang maju lurus ke depan. Ketika telur sudah matang dan diambil melalui proses ovum pick up, maka sel telur siap untuk dipertemukan dengan sperma.
Proses pembuahan bisa dilakukan dengan cara konvensional atau teknik ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection). Cara konvensional dengan membuahi satu telur dengan 100 ribu sperma. Sedangkan, ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection) yaitu teknik reproduksi dengan cara menyuntikkan satu sperma hidup ke dalam satu sel telur.
Setelah terjadi pembuahan selama dua sampai tiga hari di luar, pilih yang paling baik, kemudian masukkan kembali ke dalam rahim istri. Kemudian dipilih dua atau tiga embrio (tergantung umur istri) untuk dimasukkan ke dalam rahim. Jika masih tersisa embrio yang berkualitas bagus akan disimpan. Proses ini dinamakan freezing.
Embrio ini bisa disimpan selama bertahun-tahun, ketika ingin hamil kembali pasangan tidak usah mengikuti program bayi tabung kembali. "Embrio yang telah disimpan tinggal dithawing (dicairkan) kembali," ujarnya.
Menurut konsultan ahli, dr H Taufik Jamaan SpOG, dua minggu setelah embrio dimasukkan dapat diketahui apakah terjadi kehamilan atau tidak. Selain itu, rahim juga diberi hormon penguat rahim untuk memperkuat dinding rahim supaya kehamilan terjadi. Jika wanita mengalami menstruasi, berarti gagal.
2.      Bayi Tabung Tumbuh Lebih Pintar
Penelitian pertama terhadap anak-anak usia delapan tahun dari hasil pembuahan melalui metode Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI), menunjukkan, bahwa mereka rata-rata memiliki tingkat intelegensi yang lebih baik daripada anak-anak hasil reproduksi normal. Hal tersebut menolak anggapan bahwa teknik tersebut tidak seaman metode in vitro vertilization (IVF) standar yang biasa dipakai untuk menghasilkan bayi tabung.
ICSI dilakukan dengan menyuntikkan sperma secara langsung ke dalam sel telur, berbeda dengan IVF standar yang hanya meletakkan sperma sedekat mungkin dengan sel telur, tanpa disuntikkan, agar dapat melakukan pembuahan secara alami.
Beberapa penelitian pendahuluan yang dilakukan sejak 1998 melaporkan bahwa anak-anak hasil ICSI usia satu tahun terlambat berkembang dibandingkan anak-anak yang normal. Sehingga keamanan teknik tersebut sempat diragukan. Tapi, penelitian yang lebih lama terhadap anak usia lima tahun, tidak ditemukan perbedaan tingkat perkembangan yang signifikan.
Baru-baru ini, tim yang dipimpin Lize Leunens dari Free University of Brussels (VUB) di Belgia membandingkan antara tingkat intelegensi dan kemampuan motorik terhadap 151 anak hasil ICSI usia delapan tahun dengan 153 anak hasil pembuahan normal.
Hasilnya, tidak ada perbedaan dalam kemampuan motorik dan anak-anak ICSI memiliki nilai tes intelegensi yang lebih tinggi daripada yang normal. "Kami sangat gembira karena dalam jangka panjang anak-anak tersebut tidak menderita kemunduran dalam perkembangannya," katanya.
Dalam penelitian tersebut, tidak ada perbedaan level pendidikan dari ibunya, yang diketahui mempengaruhi tingkat intelegensi seorang anak. Oleh karena itu Leunens berpendapat, bahwa alasan yang dapat menerangkan adalah motivasi yang lebih besar dari ibu yang mengandung bayi ICSI. "Ibu yang mengandung bayi ICSI ini mungkin mendedikasikan dirinya secara khusus sebagai orang tua," katanya.
Selain itu, penjelasan yang masuk akal juga disampaikan menanggapi kemunduran tingkat perkembangan pada bayi ICSI yang berusia sangat muda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu bayi ICSI lebih suka membesarkan anaknya di rumah daripada mengirimkan ke playgroup atau berinteraksi dengan orang lain. Kondisi yang mungkin menyebabkan kemunduran dalam perkembangan sosial.
Tapi, penelitian ini bukanlah jawaban terakhir. Penelitian lain menunjukkan bahwa penolakan banyak orang tua untuk mengijinkan anaknya diteliti, mungkin agak menurunkan kepercayaan hasil penelitian Leunens. Faktanya, sepertiga orangtua anak-anak ICSI menolak berpartisipasi.
Tanpa mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, Leunens menyatakan, bahwa hasil penelitian tidak berbeda dengan kondisi yang dipaparkan orang tua melalui wawancara telepon. Ia juga menekankan bahwa penelitiannnya tidak melihat masalah kesehatan yang lain.
B.     Pandangan Agama terhadap Bayi Tabung
1.      Pandangan Agama Islam
Masalah ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri.
Fatwa MUI:
1.      Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2.      Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3.      Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4.      Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Hukum senada juga difatwakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai hasil dari forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Hanya saja NU memberikan penekanan bahwa apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’.
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.
2.      Pandangan Agama Kristen
Melihat penjabaran di atas, maka praktek IVF / bayi tabung dan ET itu tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, karena beberapa alasan:
a.       Umumnya IVF melibatkan aborsi, karena embryo yang tidak berguna dihancurkan/dibuang.
b.      IVF adalah percobaan yang tidak mempertimbangkan harkat sang bayi sebagai manusia, melainkan hanya untuk memenuhi keinginan orang tua.
c.       Pengambilan sperma dilakukan dengan masturbasi. Masturbasi selalu dianggap sebagai perbuatan dosa, dan tidak pernah dibenarkan.
d.      Persatuan sel telur dan sperma dilakukan di luar hubungan suami istri yang normal.
e.       Praktek IVF atau bayi tabung menghilangkan hak sang anak untuk dikandung dengan normal, melalui hubungan perkawinan suami istri. Jika melibatkan ‘ibu angkat’, ini juga berarti menghilangkan haknya untuk dikandung oleh ibunya yang asli.
3.      Pandangan Agama Budha
Ketika banyak agama merasa terancam dengan pemikiran modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Agama Buddha justru sebaliknya mendapatkan tempat untuk berjalan beriringan. Ketika banyak agama menolak teori evolusi, perkembangan bioteknologi, maupun teori tanpa batas tepi (teori kosmologi mengenai ketiadaan awal maupun akhir dari alam semesta oleh Stephen Hawking), agama Buddha sebaliknya tidak langsung menolak hal-hal tersebut. Bagi ajaran Buddha, perkembangan tekonologi bagaikan pisau yang di satu sisi dapat dimanfaatkan untuk memotong di dapur, namun di sisi lain dapat dipakai untuk menusuk orang lain. Jadi, alih-alih ajaran Buddha menolak pisau tersebut, melainkan alasan penggunaan pisau tersebut yang ditolak oleh Beliau ketika dipakai untuk melukai.
Kesimpulannya, di dalam ajaran Agama Buddha itu sendiri tidak ditolak adanya bayi tabung. Bahkan kloning pun juga tidak di tolak. Jadi, di lain kata dapat dikatakan bahwa bayi tabung atau inseminasi buatan di dalam agama ini diperbolehkan.
4.      Pandangan Agama Katholik
Bermacam teknik reproduksi buatan (termasuk bayi tabung) yang kelihatannya seolah mendukung kehidupan, dan yang sering dilakukan untuk maksud demikian, sesungguhnya membuka pintu ancaman terhadap kehidupan. Terpisah dari kenyataan bahwa hal tersebut tidak dapat diterima secara moral, karena hal itu memisahkan pro-creation dari konteks hubungan suami-istri. Teknik-teknik yang demikian mempunyai tingkat kegagalan yang cukup tinggi: tidak hanya dalam hal pembuahan (fertilisasi) tetapi juga dari segi perkembangan embrio, yang mempunyai tingkat resiko kematian yang tinggi, umumnya di dalam jangka waktu yang pendek. Lagi pula, jumlah embrio yang dihasilkan sering lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk implantasi ke dalam rahim wanita itu, dan “spare-embryo” (embrio cadangan) ini lalu dihancurkan atau digunakan untuk penelitian yang dengan dalih ilmu pengetahuan atau kemajuan ilmu kedokteran, pada dasarnya merendahkan kehidupan manusia pada tingkat “materi biologis” semata yang dapat dibuang begitu saja.
Maka diketahui bayi tabung / IVF yang merupakan teknik reproduksi buatan bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.
Memang, mungkin para pasangan yang tidak dapat mengandung anak secara normal mengalami kenyataan yang cukup menyakitkan. Jika mereka sungguh merindukan kehadiran anak-anak di tengah mereka, mungkin adopsi anak adalah jalan keluarnya. Memang kerinduan untuk membesarkan anak adalah suatu keinginan yang mulia, namun harus tetap berpegang bahwa tujuan yang baik (mempunyai anak) itu harus tidak diperoleh dengan jalan yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan, seperti IVF/ bayi tabung.

Senin, 19 Desember 2011

INSEMINASI DALAM PERSPEKTIF AGAMA


Dengan melengkapinya dengan akal, Allah menghendaki agar manusia menjadi makhluk yang aktif dan kreatif. Hidup akan berhenti jika manusia bersikap pasif. Dan Allah tidak menghendaki hal demikian. Terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan, hendaknya manusia mencari solusi yang memang telah Allah berikan (baca: QS. al-Insyirah: 5-6). Di antara masalah yang muncul dalam kehidupan manusia adalah gagalnya pasangan suami istri dalam mendambakan datangnya buah cinta mereka. Hal itu tentunya memiliki sebab tertentu yang dapat dipelajari. Sebab tersebut seperti misalnya salah satu suami istri atau bahkan keduanya mengidap penyakit yang menghalangi dalam melakukan pembuahan secara alami. Ini bukanlah akhir dari suatu harapan. Kemajuan science dan teknologi yang telah Allah karuniakan mampu menjadi solusi bagi kasus demikian.
A.      Pengertian Inseminasi  
Secara sederhana, inseminasi (buatan) adalah proses penempatan sperma dalam organ reproduksi wanita dengan tujuan untuk mendapatkan kehamilan. Ini harus dilakukan pada masa paling subur dari seorang wanita, yakni sekitar 24-48 jam sebelum ovulasi terjadi. Inseminasi buatan yang paling populer digunakan adalah IUI atau Intra Uterine Insemination. IUI merupakan proses fertility treatment yang melibatkan air mani yang dicuci dan kemudian ditransfer ke dalam rahim wanita dengan menggunakan jarum suntik khusus. Cara ini merupakan cara yang paling umum dan biasanya berhasil.
B.     Jenis-jenis Inseminasi
Selain IUI, ada juga beberapa proses inseminasi lain yang perlu kita ketahui:
1.      Intravaginal Insemination (IVI)
Yaitu jenis inseminasi yang paling sederhana, dan melibatkan penempatan sperma ke dalam vagina wanita. Idealnya, sperma harus ditempatkan sedekat mungkin dengan leher rahim. Metode inseminasi ini dapat digunakan bila menggunakan sperma donor, dan ketika tidak ada masalah dengan kesuburan wanita. Namun, tingkat keberhasilan IVI tidak sesukses IUI, dan ini merupakan proses inseminasi yang tidak umum.
2.      Intracervical Insemination (ICI)
Dengan proses ICI, sperma ditempatkan secara langsung di dalam leher rahim. Sperma tidak perlu dicuci, seperti dengan IUI, karena air mani tidak langsung ditempatkan di dalam rahim. ICI lebih umum daripada IVI, tapi masih belum sebaik IUI dari prosentase keberhasilannya. Dan lagi, biaya inseminasi dengan ICI biasanya lebih rendah daripada IUI karena sperma tidak perlu dicuci.
3.      Intratubal Insemination (ITI)
Proses ITI merupakan penempatan sperma yang tidak dicuci langsung ke tuba fallopi seorang wanita. Sperma dapat dipindahkan ke tabung melalui kateter khusus yang berlangsung melalui leher rahim, naik melalui rahim, dan masuk ke saluran tuba. Metode lainnya dari ITI adalah dengan operasi laparoskopi. Sayangnya, inseminasi melalui ITI memiliki resiko lebih besar untuk infeksi dan trauma, dan ada perdebatan dikalangan ahli tentang kefektifannya daripada IUI biasa. Karena sifatnya invasif, biaya ITI lebih tinggi, dan tingkat keberhasilannya tidak pasti.
Dengan adanya proses inseminasi ini, banyak pasangan yang akhirnya berhasil memiliki buah hati. Namun, sering kali kemajuan teknologi ini disalahgunakan. Yang paling populer adalah dengan adanya donor sperma, terutama bagi kalangan lesbian atau penganut kebebasan hidup.
C.    Pandangan Agama terhadap Inseminasi
1.      Pandangan Agama Islam
Inseminasi pada dasarnya bersifat netral. Namun kenetralan tersebut bisa berubah sesuai dengan hal-hal yang mengiringi dilakukannya inseminasi. Jadi, meskipun memiliki daya guna tinggi, terapan sains modern juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, tidak beriman dan tidak beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal, sehingga hal tersebut menjadi sebuah kejahatan. Oleh karena itu, kaedah dan ketentuan syariah patut dijadikan sebagai pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat merasa resah dan mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi pada 1960–an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah Kontemporer, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut hukum islam maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahid), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner, tentunya oleh para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut Mahmud Syaltut penghamilan buatan (jika menggunakan sperma donor) adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena memasukkan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara syara’, yang dilindungi hukum syara’.
Hal senada juga disampaikan oleh Yusuf Al-Qardlawi. Beliau  menyatakan bahwa Islam mengharamkan pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari sperma suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al-hajaatu tanzilu manzilah al dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah, pertama:
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Artinya: Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan. (QS. Al-Isra’ 70)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Pemuliaan manusia bukan hanya dari sisi fisik, namun sisi keturunan pun Allah bedakan dengan makhluk lain. Sehingga inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Surat Thaha:53. Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam Surat An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus berasal dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah/kebaikan).
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat (dampak negatif) daripada maslahah (dampak positif). Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar (jika menggunakan donor), antara lain berupa:
1.      Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
2.      Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3.      Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4.      Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tanggal.
5.      Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6.      Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dan lain-lain. Lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
2.      Pandangan Agama Kristen
Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia.
Hal ini karena beberapa alasan, di antaranya:
a.       Melibatkan aborsi
b.      Tidak mempertimbangkan harkat sang bayi sebagai manusia
c.       Masturbasi (pengambilan sperma) selalu dianggap sebagai perbuatan dosa
d.      Dilakukan di luar suami istri yang normal
e.       Menghilangkan hak sang anak untuk dikandung secara normal, melalui hubungan perkawinan suami istri.
3.      Pandangan Agama Katholik
Menurut agama katolik hubungan suami istri harus mempunyai tujuan union (persatuan suami istri) dan procreatin (terbuka untuk kemungkinan lahirnya anak). Maka, inseminasi baik yang heterolog (melibatkan pihak ke tiga) maupan yang homolog (antara hubungan suami istri itu sendiri) tidak sesuai dengan ajaran iman katolik, karena dalam prosesnya meniadakan proses union (persatuan suami istri).
4.      Pandangan Agama Budha
Dalam pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara --sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini-- ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam agama Budha, hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha. Dengan demikian, inseminasi tidak diperbolehkan dalam agama budha.
5.      Pandangan Agama  Hindu
Inseminasi atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang tidak sesuai dengan tata kehidupan agama Hindu, karena tidak melalui samskara dan menyulitkan dalam hukum kemasyarakatan.
Demikian agama menilai terhadap praktek inseminasi sebagai solusi teknologi dari masalah yang dialami manusia. Wa Allah a’lam

INSEMINASI DALAM PERSPEKTIF AGAMA


Dengan melengkapinya dengan akal, Allah menghendaki agar manusia menjadi makhluk yang aktif dan kreatif. Hidup akan berhenti jika manusia bersikap pasif. Dan Allah tidak menghendaki hal demikian. Terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan, hendaknya manusia mencari solusi yang memang telah Allah berikan (baca: QS. al-Insyirah: 5-6). Di antara masalah yang muncul dalam kehidupan manusia adalah gagalnya pasangan suami istri dalam mendambakan datangnya buah cinta mereka. Hal itu tentunya memiliki sebab tertentu yang dapat dipelajari. Sebab tersebut seperti misalnya salah satu suami istri atau bahkan keduanya mengidap penyakit yang menghalangi dalam melakukan pembuahan secara alami. Ini bukanlah akhir dari suatu harapan. Kemajuan science dan teknologi yang telah Allah karuniakan mampu menjadi solusi bagi kasus demikian.
A.      Pengertian Inseminasi  
Secara sederhana, inseminasi (buatan) adalah proses penempatan sperma dalam organ reproduksi wanita dengan tujuan untuk mendapatkan kehamilan. Ini harus dilakukan pada masa paling subur dari seorang wanita, yakni sekitar 24-48 jam sebelum ovulasi terjadi. Inseminasi buatan yang paling populer digunakan adalah IUI atau Intra Uterine Insemination. IUI merupakan proses fertility treatment yang melibatkan air mani yang dicuci dan kemudian ditransfer ke dalam rahim wanita dengan menggunakan jarum suntik khusus. Cara ini merupakan cara yang paling umum dan biasanya berhasil.
B.     Jenis-jenis Inseminasi
Selain IUI, ada juga beberapa proses inseminasi lain yang perlu kita ketahui:
1.      Intravaginal Insemination (IVI)
Yaitu jenis inseminasi yang paling sederhana, dan melibatkan penempatan sperma ke dalam vagina wanita. Idealnya, sperma harus ditempatkan sedekat mungkin dengan leher rahim. Metode inseminasi ini dapat digunakan bila menggunakan sperma donor, dan ketika tidak ada masalah dengan kesuburan wanita. Namun, tingkat keberhasilan IVI tidak sesukses IUI, dan ini merupakan proses inseminasi yang tidak umum.
2.      Intracervical Insemination (ICI)
Dengan proses ICI, sperma ditempatkan secara langsung di dalam leher rahim. Sperma tidak perlu dicuci, seperti dengan IUI, karena air mani tidak langsung ditempatkan di dalam rahim. ICI lebih umum daripada IVI, tapi masih belum sebaik IUI dari prosentase keberhasilannya. Dan lagi, biaya inseminasi dengan ICI biasanya lebih rendah daripada IUI karena sperma tidak perlu dicuci.
3.      Intratubal Insemination (ITI)
Proses ITI merupakan penempatan sperma yang tidak dicuci langsung ke tuba fallopi seorang wanita. Sperma dapat dipindahkan ke tabung melalui kateter khusus yang berlangsung melalui leher rahim, naik melalui rahim, dan masuk ke saluran tuba. Metode lainnya dari ITI adalah dengan operasi laparoskopi. Sayangnya, inseminasi melalui ITI memiliki resiko lebih besar untuk infeksi dan trauma, dan ada perdebatan dikalangan ahli tentang kefektifannya daripada IUI biasa. Karena sifatnya invasif, biaya ITI lebih tinggi, dan tingkat keberhasilannya tidak pasti.
Dengan adanya proses inseminasi ini, banyak pasangan yang akhirnya berhasil memiliki buah hati. Namun, sering kali kemajuan teknologi ini disalahgunakan. Yang paling populer adalah dengan adanya donor sperma, terutama bagi kalangan lesbian atau penganut kebebasan hidup.
C.    Pandangan Agama terhadap Inseminasi
1.      Pandangan Agama Islam
Inseminasi pada dasarnya bersifat netral. Namun kenetralan tersebut bisa berubah sesuai dengan hal-hal yang mengiringi dilakukannya inseminasi. Jadi, meskipun memiliki daya guna tinggi, terapan sains modern juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, tidak beriman dan tidak beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal, sehingga hal tersebut menjadi sebuah kejahatan. Oleh karena itu, kaedah dan ketentuan syariah patut dijadikan sebagai pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat merasa resah dan mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi pada 1960–an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk masalah Kontemporer, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut hukum islam maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahid), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner, tentunya oleh para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut Mahmud Syaltut penghamilan buatan (jika menggunakan sperma donor) adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena memasukkan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara syara’, yang dilindungi hukum syara’.
Hal senada juga disampaikan oleh Yusuf Al-Qardlawi. Beliau  menyatakan bahwa Islam mengharamkan pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari sperma suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al-hajaatu tanzilu manzilah al dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah, pertama:
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ