1.
Pendahuluan
Surat al-Fatihah
termasuk surat Makkiyah (surat yang turun sebelum Rasulullah Hijrah). Terdiri
dari tujuh ayat, dengan basmalah sebagai ayat pertama. Ia termasuk bacaan yang
wajib dibaca ketika shalat (baca: rukun shalat) sebagaimana sabda Rasul (yang
artinya) “Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (al-Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim
dari Ubadah bin Shamit RA). Dalam
sabda yang lain Rasul mengatakan
(yang artinya), “Barangsiapa shalat tidak membaca
Ummul Qur’an (surat al-Fatihah) maka shalatnya pincang
(khidaaj).” (HR. Muslim). Berdasarkan
dua hadits di atas para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan
para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca al-Fatihah
di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya. Dengan demikian surat
al-Fatihah merupakan surat yang dibaca berulang-ulang dalam sehari-hari. Karena
itulah ia disebut al-sab’u al-matsâni (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang).
Surat al-Fatihah juga disebut ummu
al-kitab (induk al-Qur'an), karena al-Fatihah mengandung seluruh isi
al-Qur'an (yaitu: tauhid, janji dan ancaman, ibadah, petunjuk jalan yang lurus,
kisah umat terdahulu). Nama al-Fatihah sendiri, yang artinya pembuka, terambil dari keberadaannya sebagai surat pembuka al-Qur`an (surat yang pertama kali)
2.
Ayat dan Terjemahnya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (۱) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (۲) الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (۳) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (۴)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (۵) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
(٦) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّينَ (۷)
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
2.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
3.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4.
Yang menguasai di hari Pembalasan
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya
kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
6.
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.
3. Mufradat
Yang Menguasai
|
مَالِكِ
|
hari pembalasan
|
يَوْمِ
الدِّينِ
|
orang-orang
yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
|
الَّذِينَ
أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
|
orang-orang yang dimurkai
|
المَغضُوبِ
عَلَيهِمْ
|
orang-orang yang tersesat.”
|
الضَّالِّينَ
|
4.
Penafsiran
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku
berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan setan agar dia tidak menimpakan bahaya
kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Setan selalu menempatkan dirinya sebagai
musuh bagi kalian. Oleh sebab itu, maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh
baginya. Setan bersumpah di
hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah setan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ
أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ
Artinya: “Demi
kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu
yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa
selamat dari jerat-jerat setan kecuali orang-orang yang ikhlas. Isti’adzah/ta’awwudz (meminta
perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada
selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah
yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya: “Aku memulai
bacaanku ini seraya meminta barakah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barakah
kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan
pahalanya. Barakah adalah
milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barakah
bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka
kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul
‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Al-Rahmân dan Al-Rahîm adalah dua nama Allah
di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Al-Rahman maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang
baik di dunia maupun di akherat.
Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan Maha Pengasih. Kedua makna tersebut memiliki konotasi yang sama. Di dunia ini semua makhluk bisa
merasakan kasih sayang Allah, semua diberinya rizki dan nikmat, bukan hanya
yang beriman, tapi yang kafir juga begitu juga dengan binatang.
Al-Rahim maknanya Allah memiliki kasih sayang yang hanya diberikan di akherat.
Dalam bahasa Indonesia biasa diartikan: Maha Penyayang. Karena hanya diberikan
di akherat maka yang berhak mendapatkannya hanya hamba-hamba yang bertakwa dan
mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Rahmat inilah yang
akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak
bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan
rahmat yang sempurna ini
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb
seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu
adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena
perbuatan-perbuatan-Nya yang
tidak pernah lepas dari sifat memberikan
karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah
yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah
sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya
kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan
ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb
adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah
Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka,
memberikan rizki kepada
mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah
bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang
jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan
pengikut-pengikut mereka. Tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan
mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan
menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka
dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka
berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita
mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin
karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur,
pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang
ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. baik dengan ucapan lisannya
maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta
tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil
Mannaan, hal. 20).
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang
Menguasai pada hari pembalasan.”
مَالِكِ adalah zat yang memiliki kekuasaan (penguasa). Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang
yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala
dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur
segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri.
Bagian awal ayat ini bisa dibaca
مَالِكِ (penguasa
atau pemilik) atau مَلِكِ (raja)
يَوْمِ
الدِّينِ adalah
hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat
manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan
sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia
kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak
sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat
itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun
dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya
setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua
tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan
yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan
dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang
akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu
disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun
sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya
berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir
Rahman, hal. 39).
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami
beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami
hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di
dalam ayat ini objek kalimat yaitu إِيَّاكَ diletakkan di depan. Padahal susunan biasanya adalahنَعْبُدُكَ
yang
artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di
belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya
boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.
Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak
menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta
tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala
sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan
maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi.
Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan
larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan
diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah
tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas
cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta
pertolongan atau perlindungan.
Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk
cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan
kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman
bin Nashir al-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukan-nya ibadah sebelum isti’anah
ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang
lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala
di atas hak hamba-Nya….”
Dengan dua perkara
inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah
setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka
sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala
di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan
pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perintah-Nya dan menjauhi larang-Nya tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
اِهْدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya:
“Tunjukilah kami
jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah,
bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti jalan yang lurus.”
Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang
yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai
surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami
kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju
jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan
hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama
Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan
lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran
Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan
merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh
sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat
yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu
membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya
orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang
yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka
ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para
pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan
ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi
anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa
saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia
juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan
meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan
mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah. Inilah jalan Islam. Islam yang
ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi
perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita
kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah
nikmat dari Allah. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun
sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ
الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya
orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang
yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya
adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang
yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka.
Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini
tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang
shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang
ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang
5.
Kandungan Surat
a. Hanya Allahlah yang pantas dipuji, karena dari-Nyalah semua
kebaikan berasal.
b. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta mengetahui bagaimana cara mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya.
c. Dia akan membalas semua amal hamba-Nya.
d. Kewajiban hendaknya lebih didahulukan daripada hak.
e. Dialah yang memiliki petunjuk dan hanya kepada-Nyalah hendaknya
kita berharap.
f. Jalan yang lurus adalah jalan yang diridhai-Nya dan dapat
mengantarkan hamba kepada-Nya, yakni jalannya para Nabi dan orang-orang shalih
(agama Islam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar