Kamis, 26 September 2013

PENGANTAR FILSAFAT PENDIDIKAN



A.      Kehancuran Pendidikan dan Kebudayaan
Sangat ironis, ketika kemajuan dunia pendidikan dan teknologi justru diiringi dengan keserakahan ekonomi, moral kekuasaan otoriter politik, rendahnya moralitas pemimpin, dan ketidakadilan hukum.
Faktor dominan yang disinyalir sebagai penyebab bagi munculnya kontradiksi di atas adalah karena pendidikan tidak difungsikan untuk mengawal kemajuan teknologi hingga tingkat pemberdayaannya. Pendidikan tidak ditumbuhkembangkan dalam kehidupan keseharian sehingga tidak mampu mewarnai kehidupan. Bahkan pendidikan dilepaskan dari sistem pemberdayaan teknologi. Ketika pendidikan dilepas dari teknologi dan industri, hal yang akan terjadi adalah melebarnya ruang bagi moral keserakahan. Dengan sendirinya hal itu berpengaruh langsung bagi luasnya ekonomi kapitalistik, kekuasaan politik otoriter dan ketidakadilan hukum.  Persoalannya adalah semua jenis moralitas tersebut cenderung merusak sedangkan pendidikan menumbuhkan, dan teknologi sendiri bisa dimanfaatkan secara fleksibel.
Ketika dunia pendidikan kerasukan moralitas kapitalisme-hedonistik, orientasi pendidikan pun bergeser ke arah titik kenikmatan ekonomi material. Pergeseran orientasi seperti ini mendorong penyelenggaraan pendidikan cenderung menjadi komersial. Akibatnya, orang tua mengharapkan putra-putrinya menjadi dokter, insinyur, konglomerat, pejabat dan lain-lain. Karena profesi ini disinyalir paling dekat dengan perolehan uang atau materi sebanyak-banyaknya. Harapan putra-putri menjadi anak yang bermoral, beriman, shalih dan lain-lain menjadi sangat tidak populer. Karena posisi ini jauh dari perolehan uang. Akibat selanjutnya adalah keluarga menyerahkan pendidikan putra-putrinya pada lembaga pendidikan sekolah. Karena hanya lembaga inilah yang bisa mencetak dokter, insinyur, pejabat dan lain-lain.
Dalam rangka memenuhi kepercayaan masyarakat, lembaga sekolah kemudian sibuk membuat kebijakan-kebijakan konkrit yang menarik simpati. Seperti sekolah unggulan, teladan, berstandar nasional, rintisan sekolah berstandar internasional dan lain-lain yang semuanya bermuara pada kepentingan komersial. Bahkan komersial ini sekarang, diakui atau tidak, sudah menjadi ciri khas lembaga pendidikan sekolah, baik negeri maupun swasta.
Begitu juga dengan Perguruan Tinggi. Menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya dan SPP mahal dijadikan sebagai alat promosi bagi berkualitasnya PT bersangkutan. Dengan dukungan logika awam, ketika mahasiswa sebuah PT banyak hal itu menunjukkan kualitas PT. Padahal hal demikian bukan jaminan. Bisa jadi semakin banyak mahasiswa, semakin merosot kualitasnya. Pendidikan dibidik pada kognitif penguasaan materi yang tersedia tanpa didukung dengan sarana yang memadai. Kurikulum diorganisasikan tidak berlandaskan pada asas fungsional bagi pemberdayaan masyarakat, namun hanya sebatas kumpulan mata kuliah yang tidak jelas hubungannya antara satu dengan lainnya. Penelitian dilakukan bukan berdasarkan kebutuhan, akan tetapi bergantung pada pesanan dan atau sponsor. Hasil penelitian tidak dijadikan sebagai menu perkuliahan akan tetapi cukup dijadikan sebagai pemenuh rak buku saja.
Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak difungsikan secara efektif dan efisien untuk pembaruan kehidupan masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi eksis tanpa dorongan ke arah penemuan teori-teori ilmiah baru, tetapi sebatas rutinitas kegiatan perkuliahan. Gelar akademis dan jabatan fungsional dalam masyarakat kampus tinggal ‘wadah’ tanpa isi jenis keahlian tertentu yang jelas di dalamnya. Akibatnya perguruan tinggi kehilangan ciri khasnya sebagai masyarakat ilmiah hingga pada akhirnya gagal mencetak sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif.  
Ada indikasi kuat bahwa tidak semua lulusan perguruan tinggi terserap habis di dalam masyarakat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal itu berarti keberadaan PT disfungsi bagi pembaruan kehidupan masyarakat. Banyaknya sarjana-pengangguran bukan dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan, namun oleh kualitas SDM dan kreatifitas sarjana itu sendiri yang kurang memadahi. Hal itu sekaligus menggambarkan tidak ada hubungan kausalistik-fungsional antara masyarakat dengan Perguruan Tinggi.
Terpuruknya kehidupan sosial di segala bidang disebabkan karena terjadi kesalahan penempatan dan pemberdayaan alumnus pendidikan tinggi, di samping memang rendahnya kualitas. Hal ini jelas merupakan nilai negatif yang tidak menguntungkan bagi masa depan kehidupan masyarakat. Pengangguran intelektual mendorong bagi munculnya sikap dan perilaku bergantung serta menumbuhkan mental konsumtif-konsumeristik.
 Terhadap pengangguran ini Perguruan Tinggi harus segera menentukan sikap. Terutama sikap menentukan pola ilmiah pokok. Namun pola ilmiah pokok apapun yang ditentukan, harus berorientasi pada pengembangan potensi kreatif mahasiswa. Potensi kreatifitas hanya bisa ditumbuhkembangkan melalui koridor monodualistik, yaitu, pencerdasan  spiritual dan pencerdasan moral. Sasaran pencerdasan spiritual adalah membuka wawasan kehidupan sehingga dapat membentuk filsafat hidup. Sedangkan sasaran pencerdasan moral adalah munculnya semangat hidup sehingga seseorang tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan hidup. Kedua koridor tersebut adalah jalan utama pendidikan menuju pembudayaan masyarakat.
Kondisi pendidikan yang seperti ini dapat dikatakan sebagai kondisi krisis. Artinya pendidikan tersebut tidak mampu menangkal kecenderungan global ekonomi kapitalistik yang bersifat materil-hedonistik bahkan tercemari olehnya. Ketidakmampuan tersebut disebabkan karena kehidupan politik dan hukum tidak memberi kontribusi, bahkan larut dalam moral hedonisme-materialistik tersebut. Tanpa dukungan moralitas demokrasi dan keadilan mustahil pendidikan mampu menjalankan visi misinya.
Oleh karena itu, pendidikan tidak cukup hanya dibicarakan secara ilmiah-teoritis dengan sasaran kecerdasan intelektual saja. Nilai-nilai hakiki pendidikan harus dipelajari secara seksama dengan sasaran kecerdasan spiritual untuk kemudian diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dengan sasaran konkret, yaitu kecerdasan emosional.
B.       Hedonisme-Materialistik
Berkaitan dengan hidup, terdapat dua aliran filsafat yang kontradiktif: idealisme dan materialisme. Jenis pertama berpendapat bahwa kehidupan yang hakiki adalah yang ada di alam ide. Karena dunia materi berubah-ubah, tidak pasti dan semu. Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa kehidupan yang ada di alam idea adalah yang semu, tidak nyata dan tidak terukur. Kehidupan yang sesungguhnya adalah yang nyata yang dapat diukur, material dan konkrit.
Fakta membuktikan bahwa kemajuan teknologi telah menggeser pandangan hidup manusia, dari sistem agraris menjadi sistem industri, dari filsafat spiritual menjadi filsafat positivisme-materialistik. Filsafat positivisme-materialisme memiliki pandangan bahwa hidup berkaitan dengan ekonomi, dalam arti mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Filsafat positivisme-materialistik begitu cepat berkembang karena ditunjang oleh opini tentang perkembangan jumlah penduduk sehingga tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya alam. Hal ini tentu menuntut manusia untuk lebih kreatif, dinamis dan kompetitif. Pandangan ini mengajarkan bagi yang pasif dalam hidup maka dia tidak akan mendapatkan bagian dan terancam kelaparan. Hanya dengan materi seseorang memiliki arti, posisi dan peranan.
Yang terjadi kemudian adalah pandangan hidup manusia yang tidak lagi berharap pada surga dan kenikmatan akherat, namun dunia inilah surganya. Hal ini terlihat dalam cara hidup kebanyakan manusia yang  semakin mewah dan berlebih-lebih baik dalam makanan, pakaian maupun tempat tinggal, dan hal demikian sudah menjadi pandangan hidup sehingga terjadilah persaingan.
Filsafat hidup positivisme-materialistis mendorong perilaku hidup biadab dan tidak berbudaya. Dikatakan biadab karena filsafat ini mewariskan sikap kejam antara sesama manusia, bahkan sesama saudara demi kenikmatan dan kemewahan hidup. Dikatakan tak berbudaya karena kekejaman perilaku akan berakibat pada hancurnya tatanan kehidupan sosial dan tatanan kehidupan alam. Dengan filsafat ini secara tidak sadar manusia kehilangan ruh dan spirit kehidupan berupa kebahagiaan di hari kemudian. Dan dengan filsafat ini manusia lupa dirinya, asal usulnya, dunianya dan tujuan hidupnya. 
C.      Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat berasal dari akar kata ‘phillein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan, sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Term ini dimunculkan oleh Socrates beberapa abad SM, sebagai penolakan terhadap kaum sophis yang mendeklarasikan diri sebagai orang yang memiliki kebijaksanaan. Sebagai makhluk yang banyak kekurangan, manusia hanya berhak mencintai kebijaksanaan dan tidak mampu memiliki kebijaksanaan, begitu Socrates berpendapat.
Cinta mengandung unsur subyek (yang mencintai) dan obyek (yang dicintai). Kedua unsur tersebut disatukan oleh pengetahuan. Artinya, bersatunya kedua unsur tersebut didorong oleh pengetahuan subyek terhadap obyek. Dari sini dapat dipastikan, ‘dalamnya’ cinta subyek bergantung pada pengetahuannya terhadap obyek.
Kebijaksanaan mengandung arti pengetahuan hakiki tentang bijaksana, atau hakikat perbuatan bijaksana.
Dalam perkembangannya, filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang pengetahuan. Dapat pula diartikan akar dari pengetahuan atau pengetahuan terdalam. Dalam prakteknya, ketika ia dirangkai dengan obyek tertentu, (filsafat pendidikan, misalnya) filsafat lebih sebagai kata kerja (sebuah aktifitas) dari pada sebagai kata benda (obyek kajian), yaitu aktifitas akal dalam mengkaji obyek tersebut.
Pendidikan secara sederhana bisa diartikan sebagai bimbingan orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. Definisi yang senada juga diberikan oleh Prof. Hoogeveld dan Prof. S. Brojonegoro. Secara luas pendidikan di antaranya diartikan sebagai suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup.
Melihat definisi pendidikan secara luas di atas, bahwa pendidikan merupakan pengembangan kepribadian dan kemampuan, tentu ‘kepribadian dan kemampuan yang bagaimana yang diharapkan’ perlu ditentukan, dan bagaimana cara mencapainya. Bahkan semua hal yang berkaitan dengan pendidikan. Penentuan tersebut dengan menggunakan logika yang telah dikonstruk sedemikian rupa. Itulah yang disebut dengan filsafat pendidikan. Dengan formulasi yang lebih jelas, filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafah  dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan.
Melihat bidang kajian dalam pendidikan yang demikian maka pembahasan filsafat pendidikan mengikuti kaedah dasar filsafat umum. Hal dasar yang dikaji dalam filsafat umum adalah:
1.      Hakekat kehidupan yang baik
2.      Hakekat manusia 
3.      Hakekat masyarakat
4.      Hakekat realitas akhir
Pendidikan sangat terkait dengan hakekat kehidupan. Untuk apa kita hidup? Ke mana berakhirnya hidup ini? Bahkan dikatakan hidup itu ketika kita bagaimana? Semua akan dicari jawabannya oleh pendidikan. Demikian juga dengan filsafat, ia akan mencari jawaban dari semua itu. Dengan kata lain bisa disampaikan, bahwa keduanya mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.     
Hakekat manusia; dengan adanya praktek pendidikan bagi manusia, menunjukkan bahwa pendidikan mengakui kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sementara dalam hal ini filsafat mencoba mencari jawaban tentang apa dan siapakah manusia itu?
Hakekat masyarakat dalam filsafat tentu tidak bisa dipisahkan dengan hasil kajiannya tentang manusia. Sementara pendidikan pun, bahkan sejak dasar, telah mengajarkan tentang kemasyarakatan manusia. Banyaknya hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan manusia, disusunlah pembahasannya dalam kurikulum tertentu dengan menyesuaikan pada tingkatan siswa.
Hakekat realitas akhir; bagi filsafat hal ini membahas tentang hakekat yang ada: apa atau siapa? Apakah manusia termasuk ‘ada’? Sementara dalam pendidikan, bahkan adanya pendidikan itu sendiri merupakan hasil dari pemikiran manusia tentang realitas akhir.
D.      Obyek Filsafat Pendidikan
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa filsafat pendidikan berpijak pada filsafat umum, terutama dalam kaitan obyek kajiannya. Dengan demikian, obyek filsafat pendidikan adalah obyek filsafat secara umum juga. Di sini terdapat tiga hal, yaitu ontology (tentang hakekat: apa yang dipelajari/dicari), epistemology (bagaimana cara mendapatkannya), dan aksiologi (apa gunanya)
1.      Ontologi
Dalam filsafat, ontology berbicara tentang hakekat realitas atau apa yang ada. Apa yang dicari melalui filsafat adalah apa yang ada di alam ini (hakekat realitas). Jadi pembidikan filsafat dalam ontology menggunakan kata tanya ‘apa’. Dalam konteks pendidikan, ontology membicarakan tentang apa yang harus dipelajari, diajarkan dan dididikkan kepada peserta didik. Setiap jenis dan jenjang pendidikan tentu memiliki obyek tertentu sesuai dengan jenis dan jenjang tersebut.
2.      Epistemologi
Dalam filsafat, epistemology berkaitan dengan pertanyaan ‘bagaimana’. Di antara pertanyaannya adalah bagaimana proses mengetahui itu berlangsung? Pada intinya mengajukan pertanyaan dengan kata tanya ‘bagaimana’. Dalam pendidikan, epistemology membahas tentang bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Dari epistemologi inilah kemudian muncul metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran. Bagaimana peserta didik dengan mudah memperoleh atau memahami materi ajar yang disampaikan oleh pendidik.
3.      Aksiologi
Dalam filsafat aksiologi membahas tentang nilai (baik dan buruk, indah dan jelek). Dengan logika, para filosof mencari apa yang menurut akal dinilai sebagai ke-baik-an dan atau ke-buruk-an. Baik dan buruk dicari dalam filsafat adalah untuk dicapai dalam hidup. Dalam dunia pendidikan baik dan buruk ini menjadi pertimbangan dalam penentuan tujuan pendidikan. Pendidikan berkaitan dengan nilai secara langsung. Dengan kata lain aksiologi dalam pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan.
E.       Tujuan Filsafat Pendidikan
Sebagai sebuah aktifitas, pendidikan memiliki tujuan. Tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan hidup para pelaku pendidikan (manusia), karena pendidikan adalah alat bagi manusia untuk dapat menjalani kehidupan. Tanpa pendidikan manusia tidak akan bisa melangsungkan hidupnya. Tujuan hidup manusia akan bergantung pada pandangan hidupnya. Dengan demikian, filsafat berfungsi sebagai penuntun dalam menentukan dan mencapai tujuan pendidikan.
Dari hipotesis tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan filsafat pendidikan adalah agar manusia memiliki landasan dalam menentukan dan mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian, perbedaan tujuan pendidikan yang dirumuskan seseorang atau sekelompok orang atau bahkan oleh bangsa tertentu bergantung pada filsafat yang dianut oleh orang atau sekelompok orang atau bangsa tertentu tersebut. Dari sinilah awal terjadinya perbedaan tujuan pendidikan.