A.
Kehancuran Pendidikan dan Kebudayaan
Sangat ironis, ketika kemajuan dunia pendidikan dan teknologi
justru diiringi dengan keserakahan ekonomi, moral kekuasaan otoriter politik, rendahnya
moralitas pemimpin, dan ketidakadilan hukum.
Faktor dominan yang disinyalir sebagai penyebab bagi munculnya
kontradiksi di atas adalah karena pendidikan tidak difungsikan untuk mengawal
kemajuan teknologi hingga tingkat pemberdayaannya. Pendidikan tidak
ditumbuhkembangkan dalam kehidupan keseharian sehingga tidak mampu mewarnai
kehidupan. Bahkan pendidikan dilepaskan dari sistem pemberdayaan teknologi.
Ketika pendidikan dilepas dari teknologi dan industri, hal yang akan terjadi
adalah melebarnya ruang bagi moral keserakahan. Dengan sendirinya hal itu
berpengaruh langsung bagi luasnya ekonomi kapitalistik, kekuasaan politik
otoriter dan ketidakadilan hukum. Persoalannya
adalah semua jenis moralitas tersebut cenderung merusak sedangkan pendidikan menumbuhkan,
dan teknologi sendiri bisa dimanfaatkan secara fleksibel.
Ketika dunia pendidikan kerasukan moralitas kapitalisme-hedonistik,
orientasi pendidikan pun bergeser ke arah titik kenikmatan ekonomi material. Pergeseran
orientasi seperti ini mendorong penyelenggaraan pendidikan cenderung menjadi
komersial. Akibatnya, orang tua mengharapkan putra-putrinya menjadi dokter,
insinyur, konglomerat, pejabat dan lain-lain. Karena profesi ini disinyalir
paling dekat dengan perolehan uang atau materi sebanyak-banyaknya. Harapan putra-putri
menjadi anak yang bermoral, beriman, shalih dan lain-lain menjadi sangat tidak
populer. Karena posisi ini jauh dari perolehan uang. Akibat selanjutnya adalah keluarga
menyerahkan pendidikan putra-putrinya pada lembaga pendidikan sekolah. Karena
hanya lembaga inilah yang bisa mencetak dokter, insinyur, pejabat dan
lain-lain.
Dalam rangka memenuhi kepercayaan masyarakat, lembaga sekolah kemudian
sibuk membuat kebijakan-kebijakan konkrit yang menarik simpati. Seperti sekolah
unggulan, teladan, berstandar nasional, rintisan sekolah berstandar
internasional dan lain-lain yang semuanya bermuara pada kepentingan komersial.
Bahkan komersial ini sekarang, diakui atau tidak, sudah menjadi ciri khas
lembaga pendidikan sekolah, baik negeri maupun swasta.
Begitu juga dengan Perguruan Tinggi. Menerima mahasiswa
sebanyak-banyaknya dan SPP mahal dijadikan sebagai alat promosi bagi
berkualitasnya PT bersangkutan. Dengan dukungan logika awam, ketika mahasiswa
sebuah PT banyak hal itu menunjukkan kualitas PT. Padahal hal demikian bukan
jaminan. Bisa jadi semakin banyak mahasiswa, semakin merosot kualitasnya.
Pendidikan dibidik pada kognitif penguasaan materi yang tersedia tanpa didukung
dengan sarana yang memadai. Kurikulum diorganisasikan tidak berlandaskan pada
asas fungsional bagi pemberdayaan masyarakat, namun hanya sebatas kumpulan mata
kuliah yang tidak jelas hubungannya antara satu dengan lainnya. Penelitian
dilakukan bukan berdasarkan kebutuhan, akan tetapi bergantung pada pesanan dan
atau sponsor. Hasil penelitian tidak dijadikan sebagai menu perkuliahan akan
tetapi cukup dijadikan sebagai pemenuh rak buku saja.
Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak difungsikan secara efektif dan
efisien untuk pembaruan kehidupan masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi
eksis tanpa dorongan ke arah penemuan teori-teori ilmiah baru, tetapi sebatas
rutinitas kegiatan perkuliahan. Gelar akademis dan jabatan fungsional dalam
masyarakat kampus tinggal ‘wadah’ tanpa isi jenis keahlian tertentu yang jelas
di dalamnya. Akibatnya perguruan tinggi kehilangan ciri khasnya sebagai
masyarakat ilmiah hingga pada akhirnya gagal mencetak sumber daya manusia yang
cerdas dan kreatif.
Ada indikasi kuat bahwa tidak semua lulusan perguruan tinggi
terserap habis di dalam masyarakat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal
itu berarti keberadaan PT disfungsi bagi pembaruan kehidupan masyarakat.
Banyaknya sarjana-pengangguran bukan dikarenakan terbatasnya lapangan
pekerjaan, namun oleh kualitas SDM dan kreatifitas sarjana itu sendiri yang
kurang memadahi. Hal itu sekaligus menggambarkan tidak ada hubungan
kausalistik-fungsional antara masyarakat dengan Perguruan Tinggi.
Terpuruknya kehidupan sosial di segala bidang disebabkan karena
terjadi kesalahan penempatan dan pemberdayaan alumnus pendidikan tinggi, di
samping memang rendahnya kualitas. Hal ini jelas merupakan nilai negatif yang
tidak menguntungkan bagi masa depan kehidupan masyarakat. Pengangguran
intelektual mendorong bagi munculnya sikap dan perilaku bergantung serta menumbuhkan
mental konsumtif-konsumeristik.
Terhadap pengangguran ini
Perguruan Tinggi harus segera menentukan sikap. Terutama sikap menentukan pola
ilmiah pokok. Namun pola ilmiah pokok apapun yang ditentukan, harus
berorientasi pada pengembangan potensi kreatif mahasiswa. Potensi kreatifitas
hanya bisa ditumbuhkembangkan melalui koridor monodualistik, yaitu,
pencerdasan spiritual dan pencerdasan
moral. Sasaran pencerdasan spiritual adalah membuka wawasan kehidupan sehingga
dapat membentuk filsafat hidup. Sedangkan sasaran pencerdasan moral adalah
munculnya semangat hidup sehingga seseorang tidak mudah putus asa dalam
menghadapi kesulitan hidup. Kedua koridor tersebut adalah jalan utama
pendidikan menuju pembudayaan masyarakat.
Kondisi pendidikan yang seperti ini dapat dikatakan sebagai kondisi
krisis. Artinya pendidikan tersebut tidak mampu menangkal kecenderungan global
ekonomi kapitalistik yang bersifat materil-hedonistik bahkan tercemari olehnya.
Ketidakmampuan tersebut disebabkan karena kehidupan politik dan hukum tidak memberi
kontribusi, bahkan larut dalam moral hedonisme-materialistik tersebut. Tanpa
dukungan moralitas demokrasi dan keadilan mustahil pendidikan mampu menjalankan
visi misinya.
Oleh karena itu, pendidikan tidak cukup hanya dibicarakan secara
ilmiah-teoritis dengan sasaran kecerdasan intelektual saja. Nilai-nilai hakiki
pendidikan harus dipelajari secara seksama dengan sasaran kecerdasan spiritual
untuk kemudian diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari dengan sasaran
konkret, yaitu kecerdasan emosional.
B.
Hedonisme-Materialistik
Berkaitan dengan hidup, terdapat dua aliran filsafat yang
kontradiktif: idealisme dan materialisme. Jenis pertama berpendapat bahwa
kehidupan yang hakiki adalah yang ada di alam ide. Karena dunia materi berubah-ubah,
tidak pasti dan semu. Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa kehidupan yang
ada di alam idea adalah yang semu, tidak nyata dan tidak terukur. Kehidupan
yang sesungguhnya adalah yang nyata yang dapat diukur, material dan konkrit.
Fakta
membuktikan bahwa kemajuan teknologi telah menggeser pandangan hidup manusia,
dari sistem agraris menjadi sistem industri, dari filsafat spiritual menjadi
filsafat positivisme-materialistik. Filsafat positivisme-materialisme memiliki
pandangan bahwa hidup berkaitan dengan ekonomi, dalam arti mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Filsafat
positivisme-materialistik begitu cepat berkembang karena ditunjang oleh opini
tentang perkembangan jumlah penduduk sehingga tidak sesuai dengan ketersediaan
sumber daya alam. Hal ini tentu menuntut manusia untuk lebih kreatif, dinamis
dan kompetitif. Pandangan ini mengajarkan bagi yang pasif dalam hidup maka dia
tidak akan mendapatkan bagian dan terancam kelaparan. Hanya dengan materi
seseorang memiliki arti, posisi dan peranan.
Yang terjadi
kemudian adalah pandangan hidup manusia yang tidak lagi berharap pada surga dan
kenikmatan akherat, namun dunia inilah surganya. Hal ini terlihat dalam cara
hidup kebanyakan manusia yang semakin
mewah dan berlebih-lebih baik dalam makanan, pakaian maupun tempat tinggal, dan
hal demikian sudah menjadi pandangan hidup sehingga terjadilah persaingan.
Filsafat hidup positivisme-materialistis mendorong perilaku hidup
biadab dan tidak berbudaya. Dikatakan biadab karena filsafat ini mewariskan
sikap kejam antara sesama manusia, bahkan sesama saudara demi kenikmatan dan
kemewahan hidup. Dikatakan tak berbudaya karena kekejaman perilaku akan
berakibat pada hancurnya tatanan kehidupan sosial dan tatanan kehidupan alam.
Dengan filsafat ini secara tidak sadar manusia kehilangan ruh dan spirit
kehidupan berupa kebahagiaan di hari kemudian. Dan dengan filsafat ini manusia
lupa dirinya, asal usulnya, dunianya dan tujuan hidupnya.
C.
Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat berasal dari akar kata ‘phillein’ yang berarti
cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan, sehingga secara etimologi
filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Term ini dimunculkan oleh Socrates
beberapa abad SM, sebagai penolakan terhadap kaum sophis yang mendeklarasikan
diri sebagai orang yang memiliki kebijaksanaan. Sebagai makhluk yang banyak
kekurangan, manusia hanya berhak mencintai kebijaksanaan dan tidak mampu memiliki
kebijaksanaan, begitu Socrates berpendapat.
Cinta mengandung unsur subyek (yang mencintai) dan obyek (yang
dicintai). Kedua unsur tersebut disatukan oleh pengetahuan. Artinya, bersatunya
kedua unsur tersebut didorong oleh pengetahuan subyek terhadap obyek. Dari sini
dapat dipastikan, ‘dalamnya’ cinta subyek bergantung pada pengetahuannya
terhadap obyek.
Kebijaksanaan mengandung arti pengetahuan hakiki tentang bijaksana,
atau hakikat perbuatan bijaksana.
Dalam perkembangannya, filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan
tentang pengetahuan. Dapat pula diartikan akar dari pengetahuan atau
pengetahuan terdalam. Dalam prakteknya, ketika ia dirangkai dengan obyek
tertentu, (filsafat pendidikan, misalnya) filsafat lebih sebagai kata kerja
(sebuah aktifitas) dari pada sebagai kata benda (obyek kajian), yaitu aktifitas
akal dalam mengkaji obyek tersebut.
Pendidikan secara sederhana bisa diartikan sebagai bimbingan orang
dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan. Definisi yang
senada juga diberikan oleh Prof. Hoogeveld dan Prof. S. Brojonegoro. Secara
luas pendidikan di antaranya diartikan sebagai suatu usaha yang disadari untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam
maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup.
Melihat definisi pendidikan secara luas di atas, bahwa pendidikan
merupakan pengembangan kepribadian dan kemampuan, tentu ‘kepribadian dan
kemampuan yang bagaimana yang diharapkan’ perlu ditentukan, dan bagaimana cara
mencapainya. Bahkan semua hal yang berkaitan dengan pendidikan. Penentuan
tersebut dengan menggunakan logika yang telah dikonstruk sedemikian rupa. Itulah
yang disebut dengan filsafat pendidikan. Dengan formulasi yang lebih jelas,
filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan.
Melihat bidang kajian dalam pendidikan yang demikian maka
pembahasan filsafat pendidikan mengikuti kaedah dasar filsafat umum. Hal dasar
yang dikaji dalam filsafat umum adalah:
1.
Hakekat
kehidupan yang baik
2.
Hakekat
manusia
3.
Hakekat
masyarakat
4.
Hakekat
realitas akhir
Pendidikan sangat terkait dengan hakekat kehidupan. Untuk apa kita
hidup? Ke mana berakhirnya hidup ini? Bahkan dikatakan hidup itu ketika kita
bagaimana? Semua akan dicari jawabannya oleh pendidikan. Demikian juga dengan
filsafat, ia akan mencari jawaban dari semua itu. Dengan kata lain bisa
disampaikan, bahwa keduanya mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Hakekat manusia; dengan adanya praktek pendidikan bagi manusia,
menunjukkan bahwa pendidikan mengakui kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi
manusia. Sementara dalam hal ini filsafat mencoba mencari jawaban tentang apa
dan siapakah manusia itu?
Hakekat masyarakat dalam filsafat tentu tidak bisa dipisahkan
dengan hasil kajiannya tentang manusia. Sementara pendidikan pun, bahkan sejak
dasar, telah mengajarkan tentang kemasyarakatan manusia. Banyaknya hal yang
berkaitan dengan kemasyarakatan manusia, disusunlah pembahasannya dalam
kurikulum tertentu dengan menyesuaikan pada tingkatan siswa.
Hakekat realitas akhir; bagi filsafat hal ini membahas tentang
hakekat yang ada: apa atau siapa? Apakah manusia termasuk ‘ada’? Sementara
dalam pendidikan, bahkan adanya pendidikan itu sendiri merupakan hasil dari
pemikiran manusia tentang realitas akhir.
D.
Obyek Filsafat Pendidikan
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa filsafat pendidikan berpijak
pada filsafat umum, terutama dalam kaitan obyek kajiannya. Dengan demikian,
obyek filsafat pendidikan adalah obyek filsafat secara umum juga. Di sini
terdapat tiga hal, yaitu ontology (tentang hakekat: apa yang
dipelajari/dicari), epistemology (bagaimana cara mendapatkannya), dan aksiologi
(apa gunanya)
1.
Ontologi
Dalam filsafat, ontology berbicara tentang hakekat realitas atau
apa yang ada. Apa yang dicari melalui filsafat adalah apa yang ada di alam ini
(hakekat realitas). Jadi pembidikan filsafat dalam ontology menggunakan kata
tanya ‘apa’. Dalam konteks pendidikan, ontology membicarakan tentang apa yang
harus dipelajari, diajarkan dan dididikkan kepada peserta didik. Setiap jenis
dan jenjang pendidikan tentu memiliki obyek tertentu sesuai dengan jenis dan
jenjang tersebut.
2.
Epistemologi
Dalam
filsafat, epistemology berkaitan dengan pertanyaan ‘bagaimana’. Di antara
pertanyaannya adalah bagaimana proses mengetahui itu berlangsung? Pada intinya
mengajukan pertanyaan dengan kata tanya ‘bagaimana’. Dalam pendidikan,
epistemology membahas tentang bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Dari
epistemologi inilah kemudian muncul metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran.
Bagaimana peserta didik dengan mudah memperoleh atau memahami materi ajar yang
disampaikan oleh pendidik.
3.
Aksiologi
Dalam filsafat aksiologi membahas tentang nilai (baik dan buruk,
indah dan jelek). Dengan logika, para filosof mencari apa yang menurut akal
dinilai sebagai ke-baik-an dan atau ke-buruk-an. Baik dan buruk dicari dalam
filsafat adalah untuk dicapai dalam hidup. Dalam dunia pendidikan baik dan
buruk ini menjadi pertimbangan dalam penentuan tujuan pendidikan. Pendidikan
berkaitan dengan nilai secara langsung. Dengan kata lain aksiologi dalam pendidikan
berkaitan dengan tujuan pendidikan.
E.
Tujuan Filsafat Pendidikan
Sebagai sebuah aktifitas, pendidikan memiliki tujuan. Tujuan
pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan hidup para pelaku pendidikan
(manusia), karena pendidikan adalah alat bagi manusia untuk dapat menjalani
kehidupan. Tanpa pendidikan manusia tidak akan bisa melangsungkan hidupnya.
Tujuan hidup manusia akan bergantung pada pandangan hidupnya. Dengan demikian,
filsafat berfungsi sebagai penuntun dalam menentukan dan mencapai tujuan
pendidikan.
Dari hipotesis tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan filsafat
pendidikan adalah agar manusia memiliki landasan dalam menentukan dan mencapai
tujuan pendidikan. Dengan demikian, perbedaan tujuan pendidikan yang dirumuskan
seseorang atau sekelompok orang atau bahkan oleh bangsa tertentu bergantung
pada filsafat yang dianut oleh orang atau sekelompok orang atau bangsa tertentu
tersebut. Dari sinilah awal terjadinya perbedaan tujuan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar