Selasa, 27 Agustus 2013

TAFSIR SURAT AL-IKHLASH



SURAT AL-IKHLAS
A.    Pendahuluan
Menurut mayoritas ulama`, surat ini termasuk dalam golongan surat Makkiyah. Terdiri dari 4 ayat. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar utama Islam, sekaligus surat tauhid dan penyucian nama Allah. Karena di dalam al-Qur'an terdapat tiga prinsip umum, yaitu tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta penyebutan tentang kedahsyatan hari kiamat maka pahala membaca surat ini disejajarkan dengan membaca sepertiga al-Qur’an. Tentunya membaca di sini disertai dengan tadabbur dan pemahaman.
Meskipun ringkas, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nasrani, dan Yahudi. Menggagalkan pemahaman Manaisme (al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan, juga terhadap Nasrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat ini dinamakan al-Ikhlas, karena ia mengukuhkan (memurnikan) ke-Esa-an Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tiada yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.
B.     Asbab al-Nuzul Ayat
Banyak riwayat tentang sebab turunnya surat ini. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwasanya orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasulullah: “Hai Muhammad (katakan pada kami) sifat dan jenis Tuhanmu!” maka turunlah surat ini. Sementara Qatadah meriwayatkan: “Para pemimpin suatu kelompok berkata: (katakan pada kami) dari jenis apa Tuhanmu!” maka turunlah surat ini.[1] Dalam riwayat lain dijelaskan: orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah: (gambarkanlah) kepada kami sifat dan jenis Tuhan yang kamu mengajak kami (untuk menyembahnya) Rasul diam kemudian turunlah surat ini.[2] Ibn Abbas meriwayatkan: orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah: “Hai Muhammad gambarkanlah kepada kami sifat dan jenis Tuhan yang kamu mengajak kami (untuk menyembahnya).[3]
C.    Ayat dan Terjemahnya
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُو كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
D. Mufradat:
Arti
Mufradat
Satu
أحد
Tempat bergantung
الصمد
Sepadan, sama, dan tandingan
كُفُوًا
Tiada beranak
لَمْ يَلِدْ
Tidak diperanakkan
 لَمْ يُولَدْ

E.     Tafsir Ayat
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
“Katakan (Muhammad), ‘Dialah Allah. Allah itu Esa.”[4] Esa Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Artinya, Dzat Allah satu dan tiada berbilang. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.[5]
Barangkali pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan, “Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya, bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini.
اللهُ الصَّمَدُ ﴿٣﴾
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”
(al-shamadu); Dzat yang makhluk bergantung kepada-Nya dalam segala kebutuhannya, karena keberadaan-Nya yang mampu memenuhi.[6]
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”
Ini merupakan penyucian Allah dari mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah,[7] terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah.[8] Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidakmungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan ketidakmungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Kufuwan: tidak ada yang menyamai-Nya. Sebagaimana pendapat Ka’ab dan ‘Atha`: tidak ada bagi-Nya persamaan dan yang sama. Ibn Jarir dari Ibn Abbas: tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. Begitu juga pendapat Mujahid: tidak ada teman bagi-Nya.[9] Selama satu Dzat-Nya dan tidak berbilang, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tiada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.

F.     Kandungan Surat
Surat ini menggambarkan Allah, Yang Maha Esa sifat, dzat dan perbuatan-Nya. Berbeda dengan makhluk, sekaligus menentang keyakinan yang mengajarkan bahwa Tuhan itu berbilang.


[1] Kedua riwayat tersebut terdapat dalam kitab tafsir al-Bachr. Lihat Tafsir al-Bachr – Maktabah Syamilah
[2] Tafsir Ibn Ajibah – Maktabah Syamilah. Lihat juga Tafsir Thanthawi – Maktabah  Syamilah; Tafsir Fatch al-Qadir -  Maktabah Syamilah
[3] Tafsir al-Zamakhsyari – Maktabah Syamilah. Di dalam Tafsir al-Samarqandi terdapat tambahan “Tuhan yang kamu menyebah-Nya”. Tafsir al-Samarqandi – Maktabah Syamilah.
[4] Tafsir Fatch al-Qadir  -  Maktabah Syamilah
[5] Lihat misalnya Tafsir Ibn Ajibah   Maktabah Syamilah
[6] Tafsir Fatch al-Qadir  -  Maktabah Syamilah
[7] Baca QS al-Najm 27
[8] Baca QS al-Taubah 30
[9] Tafsir al-Syanqithiy -  Maktabah Syamilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar