SURAT AL-IKHLAS
A. Pendahuluan
Menurut mayoritas ulama`, surat ini termasuk dalam golongan surat Makkiyah. Terdiri dari 4 ayat. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar utama Islam, sekaligus surat tauhid
dan penyucian nama Allah. Karena di dalam al-Qur'an terdapat tiga prinsip umum,
yaitu tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta penyebutan tentang kedahsyatan
hari kiamat maka pahala membaca surat ini disejajarkan dengan membaca sepertiga al-Qur’an. Tentunya
membaca di sini disertai dengan
tadabbur dan pemahaman.
Meskipun
ringkas, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nasrani, dan Yahudi.
Menggagalkan pemahaman Manaisme (al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya
dan kegelapan, juga terhadap Nasrani yang berpaham trinitas, terhadap agama
Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang
musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau
bahwa Allah mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat ini dinamakan al-Ikhlas, karena ia
mengukuhkan (memurnikan) ke-Esa-an Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri
yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, tiada yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu
adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.
B. Asbab
al-Nuzul Ayat
Banyak riwayat tentang
sebab turunnya surat ini. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat Ibnu
Abbas yang mengatakan bahwasanya orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasulullah:
“Hai Muhammad (katakan pada kami) sifat dan jenis Tuhanmu!” maka turunlah surat
ini. Sementara Qatadah meriwayatkan: “Para pemimpin suatu kelompok berkata: (katakan
pada kami) dari jenis apa Tuhanmu!” maka turunlah surat ini.[1] Dalam
riwayat lain dijelaskan: orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah: (gambarkanlah)
kepada kami sifat dan jenis Tuhan yang kamu mengajak kami (untuk menyembahnya) Rasul
diam kemudian turunlah surat ini.[2]
Ibn Abbas meriwayatkan: orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah: “Hai Muhammad gambarkanlah kepada
kami sifat dan jenis Tuhan yang kamu mengajak kami (untuk menyembahnya).[3]
C. Ayat dan
Terjemahnya
قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾
وَلَمْ يَكُنْ لَّهُو كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
1.
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu.
3. Dia
tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
D. Mufradat:
Arti
|
Mufradat
|
Satu
|
أحد
|
Tempat bergantung
|
الصمد
|
Sepadan, sama, dan tandingan
|
كُفُوًا
|
Tiada beranak
|
لَمْ يَلِدْ
|
Tidak diperanakkan
|
لَمْ يُولَدْ
|
E. Tafsir Ayat
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
“Katakan (Muhammad), ‘Dialah Allah.
Allah itu Esa.”[4]
Esa Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Artinya, Dzat Allah satu dan tiada berbilang. Sifat-Nya
satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu
perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.[5]
Barangkali
pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang
beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu
harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk
memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya
jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan,
“Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya,
bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan
tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau
dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini
keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah
meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini.
اللهُ الصَّمَدُ ﴿٣﴾
“Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu.”
(al-shamadu); Dzat yang makhluk bergantung kepada-Nya
dalam segala kebutuhannya, karena keberadaan-Nya yang mampu memenuhi.[6]
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ ﴿٣﴾
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”
Ini merupakan penyucian Allah dari
mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai
anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa
malaikat itu anak-anak perempuan Allah,[7]
terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak
Allah.[8]
Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih itu
anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya.
Ketidakmungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya bagian yang
terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya
sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak
karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta
mewarisinya. Sedangkan ketidakmungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah
aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang
menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ
كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
“Dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Kufuwan: tidak ada yang menyamai-Nya. Sebagaimana
pendapat Ka’ab dan ‘Atha`: tidak ada bagi-Nya persamaan dan yang sama. Ibn
Jarir dari Ibn Abbas: tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. Begitu juga pendapat
Mujahid: tidak ada teman bagi-Nya.[9] Selama satu Dzat-Nya dan tidak berbilang,
bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhluk-Nya.
Tiada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
sekutukan.
F.
Kandungan Surat
Surat ini
menggambarkan Allah, Yang Maha Esa sifat, dzat dan perbuatan-Nya. Berbeda dengan makhluk, sekaligus menentang keyakinan yang mengajarkan
bahwa Tuhan itu berbilang.
[1] Kedua
riwayat tersebut terdapat dalam kitab tafsir al-Bachr. Lihat Tafsir al-Bachr –
Maktabah Syamilah
[2] Tafsir
Ibn Ajibah – Maktabah Syamilah. Lihat juga Tafsir Thanthawi – Maktabah Syamilah; Tafsir Fatch al-Qadir - Maktabah Syamilah
[3]
Tafsir al-Zamakhsyari – Maktabah Syamilah. Di dalam Tafsir al-Samarqandi terdapat
tambahan “Tuhan yang kamu menyebah-Nya”. Tafsir al-Samarqandi – Maktabah
Syamilah.
[7]
Baca QS al-Najm 27
[8]
Baca QS al-Taubah 30
[9]
Tafsir al-Syanqithiy - Maktabah Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar