Jumat, 20 Mei 2011

PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA(Sebuah Ta’wil terhadap QS al-Maidah Ayat 38)



Oleh: Abd. Azis, M. Ag.*)


Indonesia termasuk negara yang plural dan majemuk
. Terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan berbagai pemetakan. Seperti organisasi keagamaan, partai politik, lembaga kemasyarakatan bahkan komunitas masyarakat menengah ke atas dan menengah ke bawah. Berangkat dari kepentingan yang berbeda-beda, antara satu dengan lainnya, maka timbullah semacam sekat dan sikap eksklusif, sehingga menimbulkan mental lanã a’mãlunã wa lakum a’mãlukum (bagi kami adalah apa yang kami kerjakan dan apa yang kalian kerjakan adalah untuk kalian).
Berangkat dari realitas di atas, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sangat lamban dalam mengalami perubahan (reformasi). Reformasi yang pernah didengungkan dan diharapkan, berlalu begitu saja bagai mimpi tanpa meninggalkan perubahan signifikan bagi bangsa ini. Mental bersatu dan saling menghormati dalam pemetakan dan penyekatan adalah hal yang pesimis untuk diharapkan.

Realitas ini juga mengindikasikan, bahwa sangat kecil kemungkinan, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, apa yang disuarakan oleh komunitas kecil mengenai penggantian ideologi negara dari Pancasila ke ideologi Islam (negara Islam) akan terealisasi. Penggantian ini tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena hal ini akan berbenturan dengan ideologi Pancasila yang telah lama menjiwai bangsa ini dan didukung oleh mayoritas.

Sebagai alternatif dari kontroversi ini adalah meng-Islam-kan masyarakat Indonesia dan bukan meng-Islam-kan negara Indonesia, dalam artian menerapkan ajaran-ajaran al-Qur'an dengan konteks ke-kini-an dan ke-Indonesia-an.

Al-Qur'an sebagai kalam Allah yang menjanjikan kebahagiaan di dunia dan akhirat serta menyatakan diri sebagai hudan li al-nãs (petunjuk bagi manusia) sekaligus sebagai eksplanator dari petunjuk-petunjuknya, bukanlah sebuah kitab suci yang hanya diperuntukkan dan diberlakukan bagi bangsa Arab dengan alasan karena ia diturunkan di sana. Dalam mengimplementasikan kandungan al-Qur'an dalam kehidupan pada suatu daerah (negara) tidak harus menjadikan negara tersebut menjadi negara Islam yang hukum formalnya al-Qur'an. Karena itu juga bukan perintah al-Qur'an.

Takwil dan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an dengan tanpa keluar dari kaidah pentakwilan serta dapat menghasilkan pemahaman kondisional merupakan jalan yang efektif dan akurat. Seperti misalnya pemahaman terhadap surat al-Maidah ayat 38 yang arti tekstualnya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Hukum yang terkandung, secara tekstual, dalam ayat tersebut, tidak mungkin terimplementasi di Indonesia yang telah menciptakan Kitab Undang-undang sebagai acuan dalam perkara pidana maupun perdata. Tapi hukum itu bukan berarti sia-sia bagi bangsa yang berpenduduk mayoritas Islam ini. Kata “Al-Sãriqu wa al-sãriqatu” yang diartikan “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan” bisa ditakwilkan dengan “koruptor laki-laki dan koruptor perempuan” (pencuri dan koruptor memiliki kesamaan), “Faqtha’û” yang diartikan “potonglah” bisa ditakwilkan dengan “putuslah atau pecatlah” (seperti ungkapan PHK) dan kata “aidiyahumã” artinya “tangan keduanya” dapat ditakwilkan dengan “kekuasaan atau jabatan” (sebagian mufassir mentakwilkan kata yadun pada konteks yadullah dengan kekuasaan Allah). Sehingga arti takwil dari ayat tersebut adalah “Para koruptor laki-laki dan para koruptor perempuan, cabutlah jabatannya ......”. Dengan demikian, akan sangat akurat jika pentakwilan seperti itu diterima dan diimplementasikan bagi bangsa ini, tanpa mengubah ideologi bangsa di satu sisi dan tanpa mengesampingkan isi daripada kandungan al-Qur'an yang sangat luas ini, di sisi lain.

Pentakwilan di atas berlaku juga bagi pencuri kelas teri (bukan pejabat), dengan mentakwilkan kata “Faqtha’û aidiyahumã” dengan putuslah kemampuannya dalam artian batasilah kebebasannya (dipenjara), sebagaimana yang telah diberlakukan. Dan bagi mereka yang mempunyai jabatan dua hukuman sekaligus, yaitu dipecat dan dipenjara. Tentunya dengan mempertimbangkan tingkat pencuriannya. Demikian seterusnya.

Selain terhadap ayat di atas, pentakwilan serta interpretasi dapat dilakukan terhadap ayat-ayat lain, karena Kitab yang terdiri dari 114 surat dan 6000 lebih ayat ini merupakan penuntun, bukan penuntut, hidup tidak hanya bagi umat Islam tetapi bagi manusia secara umum (hudan li al-nas) sampai akhir zaman, yang mana tiap-tiap zaman dan tempat memiliki problem sendiri-sendiri yang tentu berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga takwil dan interpretasi merupakan konsekuensi.

Demikianlah al-Qur'an, sebuah kitab yang unik, yang setiap sudutnya menyimpan banyak mutiara. Setiap ayatnya dapat diberlakukan bagi setiap komunitas yang berbeda, yang sering diformulasikan dengan term shãlih li kulli zamãn wa makãn, layak pakai bagi tiap masa dan tempat secara elastis dan plastis. Wa Allah a’lam.



*) Adalah staf pengajar  pada Sekolah Tinggi Agama Islam Pati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar