PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF IKHWAN
AL-SHAFA
Abd. Azis
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Pati
Abstract
Ikhwan al-Shafa is known as a fraternity of muslim scientists and philosophers. They
own a secret movement having a political objective, that is, conducting social
transformation through shifting society’s paradigm in smooth ways not in the radical ones.
They do care about Islam at the moment, particularly on education, which was
then reflected in a masterpiece, Rasa’il Ikhwan al-Shafa. This work is an
encyclopedia containing several sciences, including education curriculum.
In the field of education, Ikhwan al-Shafa has a concept that education is not merely a
transfer of knowledge but it is more about a moral activity enabling an
individual to achieve the highest level of humanity. In terms of epistimology, Ikhwan al-Shafa empasizes knowledge
emerges from empiricism. The members view that knowledge cannot be attained
through retention only. They argue that anything that is unreachable
empirically cannot be captured in imagination, while any imaginary thing cannot
be acknowledged rationally. Knowledge can be obtained from 1) The Holy Books,
such as Taurat, the Bible, Zabur and Quran; 2) The books written by hukama and philosophers, such as
Mathematics, Physics and Literatures; 3) The universe; 4) Contemplation on the
universe.
Kata
kunci : Ikhwan al-Shafa, pendidikan, kurikulum
Pendahuluan
Pendidikan Islam memiliki sejarah yang
panjang. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang
seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di
mana Islam lahir dan pertam kali
berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan
--untuk tidak menyebut sistem--
merupakan tranformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra Islam pada
dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan. (Azyumardi Azra, 2002)
Pada masa klasik, tepatmya pada awal
masa Bani Abbasiyyah [al-Mansur (137-158 H.), al-Rasyid (170-193 H.), dan
al-Ma’mun (198-218 H.)] merupakan masa kulminasi ilmu pengetahuan bagi Islam.
Sungguhpun sebagian ilmu (baca: ilmu-ilmu non agama, profan) ketika itu
diselenggarakan secara non-formal. Hal tersebut pada gilirannya membawa
pengaruh besar bagi peradaban dunia selanjutnya. Dalam kaitan ini mayoritas
penulis Barat menilai, bahwa sumbangan Islam bagi dunia ilmu pengetahuan adalah
sebagai jembatan antara capaian-capaian Yunani dengan Eropa abad pertengahan.
Sementara Nasr, sebagaimana dikatakan Charles Michael Stanton (1994), mengatakan bahwa para ilmuan Arab dari
masa awal tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan Yunani ke Eropa abad
pertengahan, tetapi juga memperluas pengetahuan tersebut sebelum masuk ke Barat
dalam bentuk terjemahan-terjemahan bahasa Latin.
Kemajuan yang diawali dengan
penerjemahan terhadap sejumlah besar manuskrip, baik dari bahasa Syria maupun
Yunani ke dalam bahasa Arab tersebut pada gilirannya melahirkan para tokoh
intelektual dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa nama, seperti
Jabir ibn Hayyan (721-815 M.). al-Kindi (801-873 M.), al-Razi (844-926 M.),
al-Farabi (870-950 M.), Ibn Baytham (965-1039 M.), al-Biruni (973-1051 M.), Ibn
Sina (980-1037 M.), al-Ghazali (1058-1111 M.) adalah produk dari masa ini.
Namun sejak kekhalifahan Abbasiyah
dipegang oleh al-Mutawakkil (232-247 H.), keadaan tersebut mulai berubah.
Beliau mengeluarkan kebijakan yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Cara
pikir Mu’tazily (cara pikir rasional dalam mencari pengetahuan dan kebenaran)
dan buku-buku yang berbau Mu’tazilah serta ilmu-ilmu sekuler, prafon,
mulai disingkirkan. Sementara itu keyakinan tradisional mulai
mendominasi masyarakat Islam. Para filsuf
dituduh sebagai penganut bid’ah. Agama jadi beku karena tokoh-tokohnya yang
jumud dan fanatisme. Syariat Islam dikacaukan oleh noda ta’wil yang telah jauh
dari syari’at Islam itu sendiri.
Pada masa ini muncullah sekelompok orang
yang ingin menghidupkan kembali obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala
cabang ilmu pengetahuan, baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu
yang didatangkan dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari
kejumudan dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang akhirnya dikenal dengan nama Ikhwan
al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul, bertukar
pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan,
untuk menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.
Karakteristik dasar pemikiran mereka,
terefleksi dalam pandangan pendidikannya. Menurutnya, aktivitas pendidikan
dimulai sejak sebelum kelahiran, sebab kondisi diri bayi dan perkembangannya
sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan kesehatan sang ibu hamil. Dengan
demikian, perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim
(embrio). Karena janin berada dalam rahim selama sembilan bulan itu
adalah agar sempurna bentuk dan kejadiannya. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berangkat dari pemikiran tersebut,
selanjutnya dalam pendidikan mereka memiliki tujuan tertentu. Hal inilah yang
akan dikaji (merupakan kajian pokok) dalam tulisan ini. “Apa atau bagaimana
tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa”.
Dalam karya-karya ilmiah, baik yang
tidak -atau belum- terpublikasikan, seperti makalah, skripsi, tesis maupun
desertasi, maupun yang telah terpublikasikan, tidak banyak (sekurang-kurangnya
jika dibanding dengan tokoh-tokoh lain secara individual, seperti al-Ghazali,
Ibn Khaldun dan lain-lain) yang membicarakan tentang kepedulian Ikhwan
al-Shafa ini. Hipotesis penulis, hal tersebut lebih karena di masa eksisnya
Ikhwan al-Shafa merupakan gerakan bawah tanah yang bergerak secara
rahasia, sehingga sejarahnya sulit --untuk tidak mengatakan “tidak
dapat”--ditelusuri dan diteliti. Tidak selayaknya tokoh-tokoh maupun
filsuf-filsuf yang lain seperti dua nama di atas, kemusian al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina dan lain-lain.
Berangkat dari kelangkaan tersebut,
tulisan ini berniat menambah khazanah keilmuan Islam sekaligus menengok kembali
dan mencari data, betapa Islam dengan tokoh-tokohnya, di setiap masa dan tempat
tertentu, selalu menunjukkan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan maupun
pendidikan.
Biografi Ikhwan al-Shafa
Dari namanya, dapat diketahui bahwa ia
adalah sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Ia muncul pertama kali
di Basrah (sebelah selatan Irak) pada abad IV H., sekitar tahun 340 H./951 M.,
sebagai refleksi dari pola pikir umat Islam (sebagian ulama) pada masa itu yang
dinilai telah mengalami kejumudan dan fanatisme. Sehingga agama menjadi beku,
para filsuf dikutuk dengan cara menuduh para rasionalis sebagai penganut
bid’ah. Syari’at Islam dinodai dengan ta’wil yang telah jauh dari syari’at
Islam itu sendiri. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988). Berangkat dari
niatnya yang mulia --memurnikan syari’at Islam dan menyalakan kembali obor ilmu
pengetahuan di kalangan kaum muslimin-- kelompok ini menyebut organisasinya
dengan nama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci).
Mereka terdiri dari ahli pikir (ilmuwan
dan filsuf) muslim. Sebuah pendapat mengatakan bahwa mereka berasal dari para
simpatisan Syi’ah Isma’iliyyah, setelah wafatnya Imam Isma’iliyyah ke-7,
Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq. Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah para
pendukung Dinasti Buwaihi (golongan Syi’ah) yang berkuasa sebagai amir
al-umara’ dalam lingkungan Dinasti Abbasiyah. (Depag., Ensiklopedi
Islam, 1988). Ada lima nama yang dianggap sebagai tokoh utama dari kelompok
ini, yaitu 1) Abu Sulaiman Muhammad ibn Mu’syir al-Busty (terkenal dengan nama
al-Maqdisi), yang bertugas menulis dan merangkum semua pandangan kelompok ini;
2) Abu al-Hasan Ali ibn Harun al-Zanjany; 3) Abu Ahmad al-Mihranjany; 4)
Al-Aufy; dan 5) Zaid ibn Rafi’ah, selaku pemimpin kelompok ini. (MM. Syarif,
1963)
Mereka mengklaim dirinya sebagai
kelompok non partisan, objektif, pecinta kebenaran, elit intelektual, dan
solid-kooperatif. Menurutnya, pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan
terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan, dan etnik kesukuan dalam
kekhalifahan Abbasiyah. Sebagai solusi, mereka menawarkan alternatif, yaitu
menyatukan perbedaan ke dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada
ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.(Muhammad
Jawwad Ridla, 2002)
Mereka mempelajari segala cabang ilmu
pengetahuan baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan
dari India , Yunani , Persia ,
dan Romawi. Mereka juga giat mengadakan penelitian, yang dimunculkan dalam
bentuk buku, brosur, dan pamphlet, sebagaimana mereka memunculkan
statemen-statemennya. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988)
Pandangan-pandangannya banyak
bertentangan dengan khalifah, sehingga untuk menghindarkan diri dari campur
tangan khalifah, mereka merahasiakan keberadaan dan aktifitasnya. Mereka
berkumpul dan bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Sekalipun
mereka memiliki banyak cabang, namun anggotanya sangat sedikit. Hal ini
dikarenakan: 1) pergerakan mereka disusun secara rahasia; dan 2) penerimaan
anggota dilakukan secara selektif. Di samping bobot ilmiahnya, mereka juga
mempertimbangkan calon anggota dalam hal akhlak, karakter, dan budi pekertinya.
Aktifitas Ikhwan al-Shafa didasarkan
pada pandangannya, yaitu “Syari’at Islam telah dinodai dengan berbagai macam
kejahilan dan dilumuri oleh beraneka ragam kesesatan. Dan jalan terbaik untuk
membersihkan semua itu adalah dengan filsafat”. Semasa eksisnya, kelompok ini
menciptakan sebuah madzhab tersendiri, yang mana dengan madzhab tersebut mereka
akhirnya mendapat tentangan dari ahli agama dan ahli pengetahuan yang lain,
terutama para mutakallimin. Para ahli
agama dan ahli pengetahuan tersebut mencela jalan yang ditempuh Ikhwan
al-Shafa dalam mena’wilkan al-Qur'an yang tidak sesuai dengan dhahir ayat
serta keluar dari maksud yang dikandung al-Qur'an menurut tafsiran mereka.
Mereka menganggap Ikhwan al-Shafa telah menggabungkan fundamen agama
dengan filsafat Yunani, yaitu menggabungkan wahyu dengan akal. (Depag., Ensiklopedi
Islam, 1988)
Ikhwan al-Shafa banyak
menulis buku, dan satu di antaranya adalah buku yang terdiri dari berbagai
macam risalah, yang diberi nama “Rasa’il Ikhwan al-Shafa wa Kullan al-Wafa”
(risalah-risalah tentang saudara-saudara suci dan sahabat-sahabat jujur). Buku
yang kemudian dikenal dengan Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa tersebut terdiri dari
51 risalah yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu 1) Matematika, terdiri
dari 14 naskah, meliputi: geometri, astronomi, musik, geografi, seni, akhlak,
dan logika. 2) Ilmu alam dan fisika, terdiri atas 17 naskah, meliputi: fisika,
mineralogy, botani, alam kehidupan dan kematian, dan tentang kemampuan manusia
di dalam berpikir.
3) Sains pemikiran serta psikologi,
terdiri dari 10 naskah, meliputi: metafisika, waktu dan peredaran waktu, ilmu
tabi’at, dan tentang kebangkitan kembali. 4) Agama, terdiri dari 14 risalah,
yang meliputi theologi, hubungan manusia dengan Tuhan, ramalan, entitas
spiritual, tindakan (aksi) perundingan politik, taqdir, ilmu ghaib, dan azimat.
(Depag., Ensiklopedi Islam, 1988) Sedangkan di bidang filsafat meliputi:
ilmu, matematika, mantik (logika), metafisika, tentang jiwa, filsafat agama,
dan moral.
Dalam perkembangan pemikiran pendidikan,
Ikhwan al-Shafa memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya, pertama,
aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang efektif
dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah intelektual dan moral,
dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas. Mereka berpendapat bahwa fenomena
kelaliman, otoritanisme dan tiranisme politik tidak akan berlangsung kontinu
kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan
diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan
kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritanisme dan
tiranisme. Kedua, paradigma “ta’limiy” (pengajaran). Ini tampak
dalam praktik politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka
berada pada penjenjangan da’wah. Ketiga, difersifikasi sumber-sumber
pengetahuan, yang merupakan refleksi dari sabda Nabi “Hikmah itu barang
hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya di manapun ditemukan”. Keempat,
penolakan fanatisme buta, peneguhan paham kebebasan dan apresiasi pluralitas
pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan sosial.(Muhammad
Jawwad Ridla, 2002)
1.
Totalitas
kelompok Ikhwan al-Shafa dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di
abad keempat Hijriyah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih
berbicara.
2.
Perintisan
program penyusunan karya ensiklopedi pemikiran keislaman, yaitu dengan
risalah-risalah popular mereka.
3.
Pencerdasan dan
pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan
filsafat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Konsep
Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Dengan tepat, term pendidikan
sulit untuk diformulasikan, karena keluasan wilayahnya. Wilayah pendidikan
meliputi, antara lain: tempat (keluarga, sekolah, masyarakat); pelaku (diri
sendiri, orang lain, lingkungan); dan daerah (hati, akal, jasmani). Namun
secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha mendewasakan atau mencapai
kedewasaan seseorang melalui pengajaran dan pelatihan.
Dalam konteks Islam, menurut Azyumardi
Azra (2002), pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya inheren dengan
konotasi istilah tarbiyyah, ta’lim dan ta’dib yang harus dipahami
secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam
menyangkut manusia, masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan
Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus
menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan nonformal.
Walaupun bukan merupakan suatu komitmen,
kata tarbiyah merupakan kata yang paling populer untuk menunjuk pendidikan di
negara-negara Arab, sehingga kita lebih sering mendengar istilah Kulliyyah
Tarbiyyah, atau fakultas Tarbiyah dalam konteks Indonesia daripada kata
yang lain. Penggunaan kata tarbiyah untuk menunjuk pendidikan pertama kali
muncul, jelas Munir Mursa, berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di
dunia Arab pada pertengahan abad ke-20. Di antara tokoh yang menggunakan
istilah tersebut adalah Abdurrahman al-Nahlawi.
Berhubungan dengan pendidikan, Ikhwan
al-Shafa menguraikan teorinya dengan komprehensif, sempurna, dan gradual.
Secara garis besar uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah
aktivitas moral untuk mencapai kebaikan bagi manusia. Dengan demikian,
pendidikan merupakan hal yang urgensi dan esensi bagi manusia. Dan sebagai
konsekuensi, mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hal
tersebut. Kepedulian serta keseriusan mereka dapat dilihat dari karya
spektakulernya, yaitu sebuah ensiklopedi yang terdiri dari 51 risalah dan
tersusun dalam 4 jilid, yang sampai kini tetap eksis menghiasi
diskursus-diskursus. Di dalam ensiklopedi tersebut terdapat kurikulum
pendidikan yang pernah diberlakukan dalam Lembaga Pendidikan Tinggi Islam pada
abad X M. (Charles Michael Stanton-terj, 1994).
Berikut ini kesimpulan dari materi dan
topik-topik yang tercakup dalam Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa, yang dikemukakan
oleh Fredrich Dieterici, dalam kutipan Charles Michael Stanton :
Disiplin-disiplin umum : tulis-baca
dan gramatika, ilmu hitung, sastra, sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda
dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang dan keterampilan
tangan, jual-beli, komersial, pertanian dan peternakan, serta biografi dan
kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama : ilmu al-Qur'an,
tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis : matematika,
logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan
hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu
dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan, dan elemen-elemen; meteorology dan
minerologi; esensi alam dan manifestasinya; botani dan zoology; anatomi dan
antropologi; persepsi inderawi; embriologi; manusia sebagai mikro kosmos;
perkembangan jiwa (evolusi psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa
(filologi); psikologi-pemahaman dunia kejiwaan dan sebagainya; dan
theology-doktris esoteris Islam, susunan alam spiritual; serta ilmu tentang
alam ghaib. (Charles Michael Stanton-terj, 1994)
Menurut Ikhwan al-Shafa,
aktivitas pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan atau pengalaman dari
seseorang pada orang lain. Tapi jauh lebih luas dari itu. Oleh karena itu,
aktivitas pendidikan tidak dimulai sedari kecil, tetapi sejak seorang anak
masih dalam kandungan. Saran para dokter agar ibu yang hamil berhati-hati dalam
segala aktivitasnya, menurutnya, adalah karena kehati-hatian sang ibu sangat
berpengaruh pada kesehatan bayi dalam rahimnya, yang selanjutnya berpengaruh
pada intelektual dan kejiwaan sang bayi. (Ahmad Tafsir, 2001). Keberadaan janin
dalam rahim selama sembilan bulan, menurutnya, hanyalah demi kesempurnaan
bentuk dan kejadian sang bayi. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Selanjutnya, setelah sang bayi lahir, ia
akan terus dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di sekelilingnya. Ikhwan
al-Shafa menganalogikan jiwa bayi sebelum terisi oleh suatu pengetahuan bagaikan
kertas putih dan bersih, tidak ada tulisan apapun, sebagaimana
sabda Nabi SAW. sewaktu jiwa telah diisi oleh suatu pengetahuan atau
kepercayaan, baik yang benar maupun yang batil, maka sebagian darinya telah
tertulisi dan sulit untuk dihapuskan. Dengan demikian, perhatian terhadap
kesehatan indrawi bayi atau anak hendaknya diberikan sejak dini, karena ia
merupakan jendela masuknya dunia luar ke dalam jiwa. (Muhammad Jawwad Ridla,
2002).
Kesadaran kuat Ikhwan al-Shafa terhadap
urgensi indra dalam memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan
manusia, baik dataran empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada
pengapresiasian peran dan fungsi fisik-jasmani untuk kebahagiaan manusia dan
kenormalan hidupnya. Dalam risalah yang lain, mereka menekankan perlunya
memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan seksama
agar jangan sampai tidak terurus kebutuhan makan dan minumnya. “Sekiranya
kebutuhan makan, minum, gerak dan istirahat dari fisik-jasmaniah terpenuhi dengan
baik, maka kamu akan sehat wal afiat.” (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Ikhwan al-Shafa juga
berpendapat bahwa manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur
jiwa-rohaniah, yang mana antara keduanya memiliki perbedaan sifat dan
berlawanan kondisi. Oleh karena itu, kehidupan manusia diwarnai dengan dualitas
berlawanan, seperti hidup dan mati, kepandaian dan kebodohan dan lain-lain.
Namun dualistic yang mewarnai manusia tersebut tidaklah bersifat liberal,
melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi individual yang unik.
Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap
individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang
dimilikinya bersifat ikhtiyari. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002). Sebagai treatment
menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-Shafa menegaskan
perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi perkembangan anak.
Kelompok yang membenarkan adanya
kebenaran dalam agama-agama non Islam ini, juga mengatakan bahwa setiap manusia
memiliki potensi, tetapi potensi itu tidak akan bisa menjadi aktual tanpa
bimbingan guru. Ilmu yang ada pada manusia datang dari tiga jurusan, yaitu 1)
panca indra; 2) argument; dan 3) perenungan akal. Jalan yang ketiga ini
merupakan tahapan yang sederhana, dan akan mencapai ma’rifat Allah jika melalui
hidup zuhud (asketis) dan amal saleh. (Depag., Ensiklopedi Islam,
1988).
Dalam pengajarannya, kelompok yang
disebut juga ta’limiyyun ini, mengklasifikasikan manusia, sehubungan
dengan pengetahuannya, ke dalam empat tingkatan atau kelompok. Pertama
kelompok remaja dan pemuda yang berumur sekitar 15-30 tahun. Kelompok ini,
pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah.
Mengingat kelompok ini berstatus murid, sepantasnya mereka mengikuti guru mereka.
Kedua, kelompok orang dewasa, sekitar umur 30-40 tahun. Kelompok ini
sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan
melalui simbol.
Ketiga, kelompok orang
yang berumur 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui Namus Ilahy (malaikat
Tuhan) secara sempurna sesuai tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan Nabi. Keempat,
kelompok orang yang berusia 50 tahun ke atas. Tingkatan tertinggi yang
memungkinkan manusia menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya
yang dimiliki para malaikat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Epistemologi
Ikhwan al-Shafa
Secara etimologi, epistemologi berasal
dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu).
Sedangkan secara terminology, epistemologi adalah cabang filsafat yang
bersangkut-paut dengan teori pengetahuan. (Jan Handrik Rapar, 1996). Jika
diformulasikan dengan pertanyaan, maka epistemologi mengandung
pertanyaan-pertanyaan: apakah pengetahuan itu? Apa sumber dan dasar
pengetahuan? Apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya dugaan?
Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?
Untuk menjawab dari mana pengetahuan
diperoleh, ada dua pendapat yang berbeda. Pertama, pengetahuan diperoleh
melalui akal. Kedua, pengetahuan diperoleh melalui indra (pengalaman).
Pendapat pertama selanjutnya dikenal dengan faham rasionalisme, dan
kelompoknya disebut rasionalis. Mereka berpendapat bahwa sumber
pengetahuan manusia yang dapat dipercaya, dan sumber ilmu pengetahuan yang
memenuhi syarat adalah yang diperoleh melalui akal atau rasio. Di antara filsuf
yang memelopori pendapat ini adalah Plato.
Sedang pendapat kedua selanjutnya
dikenal dengan faham empirisme dan kelompoknya disebut kaum empiris.
Mereka berpendapat bahwa indra manusia mempunyai peranan besar dalam
menghasilkan pengetahuan, sementara akal lebih berfungsi sebagai pengaturnya.
Dari dua kelompok ini, di manakah Ikhwan
al-Shafa berada? Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda
dengan teori pengetahuan Plato, yang menyatakan bahwa jiwa mengetahui dengan mengingat-ulang
apa yang telah diperolehnya sewaktu berada di alam ide, sebelum turun ke bumi.
Di alam ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam ide
yang bersifat rohaniah menuju ke alam material, ia lupa akan pengetahuan yang
dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam
material), sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang
dulu pernah dimilikinya (di alam ide). (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ikhwan
al-Shafa menganggap semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah
(empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka,
bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa
diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa
dirasiokan. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Sekedar menguatkan pendapat kaum empiris
di atas, yang mengatakan bahwa akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan
al-Shafa mengatakan bahwa, orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan
tingkat pengetahuan rasionalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan
kualitas potensi indrawiah, pola interaksi mereka dengan lingkungan dan
lainnya.
Berangkat dari realita tersebut,
selanjutnya Ikhwan al-Shafa merumuskan bahwa:
“Sesungguhnya rasio manusia tiada lain
hanyalah jiwa yang berpikir (al-nafs al-nathiqah), di kala manusia dalam
usia dewasa. Jiwa pada waktu awal bersatu dengan badan, yaitu periode janin
dalam rahim, adalah sesuatu yang amat sederhana, tidak berpengetahuan, tidak
berakhlak, tidak berpihak dan tidak beraliran, sebagaimana difirmankan Allah
SWT.: ‘Allah yang telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui apapun’. Ia hanyalah substansi rohaniah yang hidup dan mempunyai
potensi berkembang. Sewaktu jiwa mendapat impresi dan stimuli
indrawiah-sensual dengan ragam jenis dan macamnya, lalu dipersepsikan. Dengan
demikian, jiwa disebut sebagai berakal dan mengetahui secara aktual.” (Muhammad
Jawwad Ridla, 2002)
Tentang pertanyaan, apa sumber
pengetahuan ? Menurut Ikhwan al-Shafa, sumber pengetahuan ada empat
macam:
1.
Kitab suci yang
diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an.
2.
Kitab-kitab yang
disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika,
fisika-kealaman, sastra dan filsafat.
3.
Alam.
4.
Perenungan alam
semesta dan tata aturan kosmiknya, yang sering disebut substansi noumenon,
ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris. (Muhammad
Jawwad Ridla, 2002)
Tujuan
Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Untuk mengetahui tujuan pendidikan,
tidak bisa lepas dari pembahasan tentang konsep manusia. Karena merekalah
pelaku pendidikan. Sebagai konsekuensi logis, jika kita ingin mengetahui apa
tujuan pendidikan ala Ikhwan al-Shafa, maka kita harus mengetahui
diskursus mereka tentang manusia.
Sebagaimana --secara serba sederhana--
telah penulis singgung di atas, bahwa dalam moral-etik, Ikhwan
al-Shafa mempunyai pandangan “dualistic” tentang konsep dasar manusia.
Manusia itu, jelasnya, tersusun dari unsur fisik-biologis dan jiwa-rohaniah.
Kedua unsur ini memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi, namun memiliki
kesamaan dalam tindakan dan aksidentalnya. Karena unsur fisik-biologisnya, manusia
cenderung untuk tidak kekal di dunia dan hidup selamanya. Sedangkan, karena
unsur jiwa-rohaniahnya, manusia cenderung untuk meraih akhirat dan keselamatan
di sana . Dengan
demikian, kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan, seperti
hidup dan mati, tidur dan terjaga, pengetahuan dan kebodohan, ingat dan lupa,
cerdas dan dungu, sehat dan sakit, kedermawanan dan kekikiran, baik dan jahat,
ketakutan dan keberanian, susah dan senang dan lain-lain. (Muhammad Jawwad
Ridla, 2002)
Manusia berada dalam tarik-menarik
antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudaan dan
ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan,
ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan
dan perilaku moral-etik lainnya.
Ketahuilah wahai
Saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata berkaitan
dengan unsur fisik-biologis manusia, atau semata-mata berkaitan dengan unsur
jiwa-rohaniahnya, melainkan berkaitan dengan totalitas dua unsur itu yang
membentuk manusia yang hidup, berpikir dan mati. Kehidupan dan kemampuan
berpikir manusia dikarenakan oleh unsur jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya
dikarenakan unsur fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur
jiwa-rohaniahnya. Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang
melingkupi kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu
sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan,
kebijaksanaan, kejujuran, kebaikan, serta hal positif lainnya berasal dari
jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semua itu berasal dari
fermentasi anasir fisik-biologis manusia. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Namun dualistik yang mewarnai manusia,
lanjutnya, tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh ragam potensi
individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun
watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun
kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari, sehingga
terjadi keragaman antar individu, seperti ada individu yang berbakat menjadi
pedagang, da’i, guru dan lain-lain.
Ragam potensi kognitif dan indrawiah
juga memengaruhi pula pada potensi moral-etik yang juga beragam antara
manusia, sebagaimana beragamnya potensi kognitif-intelektual.
Menurutnya, moral yang bersandar pada karakter dasar manusia adalah
kecenderungan kuat pada anggota badan, dan pada gilirannya akan memudahkan
dalam merefleksikan dalam tindakan nyata. Sebagai contoh, misalnya seseorang
berkarakter pemberani maka dia akan merasa enteng menghadapi hal-hal yang
menakutkan. Tetapi jika dia berkarakter penakut, dalam menghadapi hal-hal yang
menakutkan dia akan pikir-pikir dahulu atau penuh pertimbangan, begitu
seterusnya.
Ikhwan al-Shafa juga
mengakui adanya potensi psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing
individu. Mereka menggambarkan kehidupan sosial sebagai tatanan (sistem) fungsional-komplementer,
di mana tiap-tiap potensi genetic-bawaan yang dimiliki manusia merupakan
alat-alat sistemik (sub sistem-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi
tegaknya sebuah tatanan (sistem) tersebut. Namun tidak diragukan bahwa
fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarkhi paling atas dan mulia dibanding
fungsi-fungsi lainnya.
Berangkat dari eksplanasi di atas, bahwa
manusia diliputi oleh dua hal, yaitu positif dan negative (baik dan buruk).
Maka tujuan pendidikan bagi manusia, menurut Ikhwan al-Shafa, secara
umum, adalah untuk mencapai kebaikan. Dan secara khusus, mereka
merincinya menjadi dua tujuan, yaitu tujuan individual dan tujuan sosial.
Secara tekstual, antara keduanya terdapat perbedaan. Ikhwan al-Shafa memberikan
porsi lebih kepada kelompok kedua. Secara global-individual, tujuan
pendidikan adalah untuk mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan global-sosial
adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk).
Lebih jelasnya, tujuan-tujuan tersebut
dapat dibaca dalam kutipan risalah mereka berikut ini: “Ketahuilah wahai
Saudaraku! --semoga Allah memberi kekuatan kepada kita-- bahwa tujuan para
filsuf dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para
murid adalah al-suluk (pembentukan karakter diri) dan penitian ke arah
penguasaan ilmu-ilmu kealaman (Fisika). Sedangkan tujuan mereka mempelajari
ilmu-ilmu kealaman adalah pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan
(theologi) yang menjadi puncak tujuan para filsuf dan ilmuwan bijak, serta
muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman
ilmu-ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal
awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara
akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan
diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain; mengingat juga
manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma’rifat) terhadap Tuhannya, sementara
hal itu hanya bisa diraih bila ia mampu mengenali dirinya sendiri, seperti
difirmankan Allah SWT., “Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim,
kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri” (al-jahl al-nafs), dan
seperti apa yang diungkapkan, “Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka
ia akan mampu mengenali (ma’rifat) Tuhannya”, demikian juga ungkapan, “orang
yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah yang paling mengenali
Tuhannya”. Maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan
mempelajari ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara
penyuciannya. Allah berfirman, “Demi jiwa dan apa yang Dia telah
menyempurnakan. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketaqwaannya. Sungguh
beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang
mengotorinya”. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Namun tujuan tertinggi dari aktivitas
pendidikan ini, menurutnya, adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan
malaikat yang suci, agar dapat meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu, tegasnya,
hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang terhadap perilaku moral.
(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Penutup
Dari uraian di atas,
dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan suci yang
terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia dan
memiliki tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara
radikal-revolusioner, tetapi melalui cara transformasi pola pikir
masyarakat luas. Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya.
Kepedulian tersebut terutama dalam pemikiran (pendidikan), yang selanjutnya
terefleksi dalam karya spektakulernya, Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah
karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa disiplin ilmu
pengetahuan, sekaligus kurikulum pendidikan.
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa,
memiliki konsep bahwa pendidikan itu bukan sekedar upaya transfer suatu
pengetahuan dari seseorang kepada orang lain tetapi lebih merupakan aktivitas
moral yang dengannya seseorang mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi,
yang dalam istilah mereka disebut “derajat malaikat al-muqarrabin.”
Aktivitas pendidikan ini bukan hanya berupa bimbingan dan pengajaran tetapi
juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak seorang anak masih dalam kandungan
(embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas pendidikan sudah dimulai.
Dalam epistemologi, Ikhwan al-Shafa
mengatakan bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah
(empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka,
bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa
diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa
dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari 1) kitab suci yang
diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an; 2) kitab-kitab yang
disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika,
fisika-kealaman, sastra dan filsafat; 3) alam; 4) perenungan alam semesta dan
tata aturan kosmiknya.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan
al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang
tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Daftar Pustaka
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2001
Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam, Jakarta :
Logos, 2002
Charles
Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (terj.), Jakarta : Logos, 1994
Cyril
Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Departemen
Agama RI., Ensiklopedi Islam, Jakarta ,
1988
Jan
Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta ,
Kanisius, 1996
Majid
Fakhriy, Sejarah Filsafat Islam, Bandung ,
Mizan, 2002
Muhammad
Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta , Tiara Wacana, 2002
M.M.
Syarif (ed), A. Historis of Muslim Philosophy, Otto Harrassinwitz
Wiesbaden, 1963
Tidak ada komentar:
Posting Komentar