PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEEMASAN
Menguak Sejarah Pendidikan Islam
pada Masa Bani Abbasiyyah
Abd. Azis
Dosen
Sekolah Tinggi Agama Islam Pati
Abstract
The Bani Abbasid caliphs was the second dynasty after the
death of the Prophet and the Righteous `al-Rashideen who controlled the religion-state of Islam. In that time Islamic
civilization reached the valuable, and in that time such
civilizations also eventually decline. Until now, Islam has not been able to
rise to regain these civilizations.
The history records that the reign period of Bani
Abbasid was approximately five centuries (132-656 AH / 750-1240 AD), but the progress
that is the original product of the Abbasid Dynasty was the progress that
appeared in 132-232 AH., which is called as the first period.
This research uses socio-historical methods and approaches. These methods and
approaches associated with the development or evolution of society in the
proper chronological rules and based on the authentic, real, and factual history, not on a legend or
fiction. Hereinafter these methods and approaches are used to assess the Muslim community about the social
interaction during the Bani Abbasid Caliphs, particularly in
its relevance to the education and the development of science.
This study has revealed that, during the reign of Bani
Abbasid, the spirit community on science was so high. This, on the one hand,
due to the realization of calls for the holy book and which was exemplified
and passed
by the
Prophet, and on the other hand due to the expansion of Islamic territory, which
in turn occured a touch between the local
civilizations with the civilization in the conquered regions. They did not give priority
to one science (the science of religion) over another (general science). In
their eyes all the science is very important to know. The amount of science
they were learning and their burning passion necessitated a number of
places used for learning.
Ultimately the researcher concluded, although in a
simple format, the education in the Bani Abbasid had taken many places
as the ongoing process of learning and teaching institution, there were at least seven
institutions. The curriculums or the materials that were learned at that time included the science of
religion and general science. That great variety of such materials as well as indicated the diversity of
methods which were adopted in the teaching and learning. The method selection depended on the materials, places, and conditions of
students. All of that at once illustrated and were not separated from environmental factors
(socio-community) that very supportive.
Kata kunci: Pendidikan Islam, Periode Klasik, Bani
Abbasiyyah
A. Pendahuluan
Dalam percaturan dunia, Islam yang tumbuh subur di belahan
dunia bagian timur dinilai berada di dunia ketiga atau dalam posisi marjinal.
Posisi yang sangat tidak menguntungkan ini dialami sejak runtuhnya kekhalifahan
Bani Abbasiyyah di tangan tentara Mongol dan Tartar pada tahun 1240 M. Khalifah
Bani Abbasiyyah adalah dinasti kedua pasca wafatnya Rasulullah dan Khulafâ`
al-Râsyidîn yang mengendalikan negara-agama Islam. Di masanyalah Islam
mencapai peradabannya yang adiluhung, dan di masanya pula peradaban tersebut
akhirnya mengalami kemunduran. Hingga
kini Islam belum mampu bangkit untuk meraih kembali peradaban tersebut.
Sementara bangsa Barat yang telah bangkit sejak masa renaissance di Abad XIV
terus meroket hingga kini.
Fakta ini (baca: kemunduran Islam) memang hal yang
kontradiktif, mengingat Islam secara normatif adalah agama rasional, agama
peradaban dan tepat menjadi agama masa depan umat manusia. Al-Qur'an, kitab
suci agama Islam yang tak pernah tertandingi oleh siapapun, adalah sebuah kitab
inspirator sekaligus motivator besar bagi tumbuhnya sebuah peradaban di setiap
zaman dan tempat. Tentunya hal ini bukan hanya isapan jempol. Besarnya
peradaban yang terjadi ketika tampuk pemerintahan umat muslim dikendalikan oleh
Bani Abbasiyyah adalah bukti riil betapa al-Qur'an adalah kitab inspirator dan
motivator. Al-Qur'an, kala itu, benar-benar difahami dan diejawantahkan dalam
kehidupan masyarakat, sehingga kondisi umat benar-benar merupakan refleksi
daripada al-Qur'an terutama dalam pendidikan umat.
Kemajuan yang diraih umat muslim (dalam pendidikan) pada masa
itu pada gilirannya menjadi kontribusi besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan
pada masa-masa berikutnya. Bukan saja bagi umat muslim sendiri, akan tetapi bagi dunia. Demikian
pengakuan mayoritas penulis Barat. Hingga dekade belakangan ini sumbangan Islam
bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama, adalah sebagai jembatan antara
capaian-capaian Yunani dengan Eropa pada Abad Pertengahan. (Charles Michael
Stanton, 1994: 36)
Tentunya
kemajuan tersebut memiliki karakter, situasi-kondisi dan cirinya sendiri, baik
yang berkaitan dengan kondisi sosial, ghirah umat dan pemerintah, dan lain-lain
yang pada gilirannya membedakan antara umat muslim di masa kekhalifahan
Abbasiyyah dengan masa-masa setelahnya. Dengan demikian, pengkajian terhadap
fakta tersebut menjadi sangat mendesak, guna membangun kembali kemajuan yang
telah runtuh. Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menguak kembali
data-data yang berkaitan dengan Bani Abbasiyyah. Pembahasan ini akan difokuskan
pada: Apa saja lembaga pendidikan yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Bani
Abbasiyyah? Bagaimana kurikulum pendidikan yang ada pada masa itu? Bagaimana
metode pembelajaran yang mereka lakukan? Serta bagaimana kondisi
masyarakatnya?
B. Sejarah Peradaban pada Masa Bani Abbasiyyah
(132-656 H. / 750-1240 M.)
Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, masa Khalifah
Abbasiyyah merupakan masa kejayaan bagi
peradaban Islam. Jika pada masa Bani Umayyah (satu masa sebelum masa Bani
Abbasiyyah) Islam mendapatkan wilayahnya yang sangat luas, maka pada masa Khalifah
Abbasiyyah Islam mendapatkan peradabannya yang adiluhung. Tak satu pun
peradaban dunia, ketika itu, yang lebih tinggi dari peradaban Islam. Sehingga
ia patut dikatakan sebagai super power yang berkuasa di sebagian besar
negara-negara yang mencakup di tiga benua.
Bani Abbasiyyah berkuasa selama kurang lebih lima abad. Suatu
masa yang jauh lebih panjang dibanding masa kekuasaan Bani Umayyah, yang hanya
mampu bertahan selama 90 tahun. Masa yang panjang ini dipimpin oleh 37
khalifah. Masing-masing khalifah memiliki masa kekuasaan, problematika, gejolak
politik sendiri-sendiri. Berangkat dari hal itu, Syalabi mengklasifikasi masa
ini menjadi tiga periode. Periode pertama tahun 132-232 H. (sejak Abû al-'Abbâs
al-Saffah hingga Abû Ja'far Hârûn al-Wâtsiq), di mana para khalifah Abbasiyyah
berkuasa penuh. Periode kedua tahun 232-590 H. (sejak Abû al-Fadhl Ja'far
al-Mutawakkil hingga Abû al-'Abbâs Ahmad al-Nâshir), tatkala kekuasaan
Abbasiyyah sebenarnya berada di tangan orang lain. Dan periode ketiga 590-656
H. (sejak Abû al-'Abbâs Ahmad al-Nâshir hingga Abû Ahmad 'Abdullâh
al-Musta'shim) kembalinya kekuasaan Abbasiyyah di tangan mereka tetapi hanya di
sekitar Bahgdad saja. (Ahmad Syalabi, 1973: 17-19).
Kemajuan yang diraih Bani Abbasiyyah ini, diawali dengan
ekspansi yang terjadi pada masa Bani Umayyah; yang pada gilirannya menimbulkan
persentuhan peradaban antara Islam (Arab) dengan daerah-daerah taklukan.
Khazanah intelektual Yunani klasik yang terdapat di Mesir (Aleksandria), Syria
(Antakia), Irak (Judisapur), Mesopotamia dan Persia (Bactra) pada masa ini
mulai dipelajari oleh para ilmuwan (muslim), dengan dukungan para khalifah
periode awal yang memiliki corak pemikiran rasional, sebagai pengaruh teologi
Mu'tazilah. (Harun Nasution, 1998: 131). Hal ini pada gilirannya menyuburkan
semangat ilmiah di kalangan umat muslim, dan akhirnya lahirlah para ilmuwan
--disertai karya-karya mereka-- dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama
maupun profan.
Setelah para khalifah periode pertama berlalu, maka naiklah
para khalifah periode kedua sebagai penerus, yang jauh berbeda sifat dan
karakternya --di samping perbedaan aliran teologi, yang dalam hal ini para
khalifah periode kedua (dan ketiga) adalah para pengikut aliran Sunni-- dengan
para khalifah pendahulunya. Gerakan sparatis yang berhasil ditekan pada masa
sebelumnya, muncul kembali bahkan semakin meluas, sehingga disintegrasi tidak
dapat dielakkan lagi. (Ali Mufrodi, 1997: 106). Di saat inilah muncul kekuatan
lain yang naik ke atas panggung kekuasaan untuk mengendalikan tampuk
pemerintahan, namun tidak disertai dengan penurunan para khalifah dari kursi
kekuasaannya. Sikap ini berimplikasi pada hilangnya peran seorang khalifah.
Para khalifah tidak lebih dari sebuah simbol yang tidak punya wewenang apa-apa
dalam pemerintahan. Bahkan kedudukan tersebut berada dalam kontrol mereka.
Sehingga mereka dapat menaikkan dan menurunkan khalifah sesuka hati.
Sejarah telah mengabadikan tiga kekuatan yang berhasil
mengambil alih kendali pemerintahan Abbasiyyah tersebut. Yaitu: kaum Turki
(232-334 H.), golongan Bani Buwaihi (334-447 H.) dan golongan Bani Saljuk
(447-590 H.). Dengan demikian, sungguhpun sejarah mencatat bahwa masa berkuasa
Bani Abbasiyyah adalah kurang lebih lima abad (132-656 H. / 750-1240 M.) dan
disaksikan sejarah sebagai dinasti yang mampu melahirkan peradaban Islam
adiluhung yang tak terkalahkan oleh kekuatan manapun di zamannya, akan tetapi
kemajuan-kemajuan yang merupakan produk orisinil dari Dinasti Abbasiyyah
hanyalah kemajuan yang muncul dalam 132-232 H., yang disebut sebagai periode
pertama.
Kekuatan pertama (kaum Turki) selama berkuasa, relatif tidak
memiliki prestasi dalam membangun peradaban terutama dalam pendidikan. Hanya
kekejamannyalah yang menghiasi sejarah kekuasaannya. Hal itu ditunjukkan dengan
sikapnya yang membunuh dengan didahului oleh penyiksaan tak manusiawi terhadap
para khalifah Abbasiyyah di masanya, di samping munculnya disintegrasi yang
dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil. Sementara pada masa Dinasti Buwaihi
yang Syi'ah, kehidupan ilmiah yang terjadi pada masa periode pertama, mampu
muncul kembali --dalam format yang lebih sederhana-- terutama pada masa
kejayaan dinasti ini yang berada dibawah kepemimpinan 'Adûd al-Dawlah (949-983
M.) dan kedua putranya, Syaraf al-Dawlah (983-989 M.) dan Bahâ' al-Dawlah
(989-1012 M.). (Philip K. Hitti, 2005: 599-601)
Kekuatan terakhir adalah Dinasti Saljuk, yang mempunyai
hubungan baik dengan para khalifah, karena keduanya sama-sama berpegang pada
aliran Sunni. Prestasi yang diraih oleh dinasti ini adalah pendirian madrasah,
sebagai institusi pendidikan tinggi, oleh wazir Nidlâm al-Mulk dibawah sultan
Alb Arslân dan Mâliksyah. Madrasah ini bukan saja didirikan di Baghdad, tetapi
juga di kota-kota lain. Al-Subki menjelaskan bahwa Nidlâm al-Mulk mempunyai
sekolah di setiap kota di Iraq dan Khurasan. (Ahmad Syalabi, 1973: 290)
Setelah
berakhirnya dinasti Saljuk, maka berakhir pula intervensi asing terhadap
pemerintahan Abbasiyyah dan akhirnya exis kembali, dengan wilayah kekuasaannya
(pada periode ketiga) yang sangat terbatas. Masa ini berlaku hingga tentara
Mongol dan Tartar datang di tahun 656 H. menyerbu masuk ke dalam Islam,
membunuh khalifah dan keluarganya, dan mengumumkan tamatnya pemerintahan
Abbasiyyah.
C. Sejarah
Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyyah
1. Institusi
Pendidikan
Semangat ilmiah yang tumbuh subur pada masa ini pada
gilirannya menjadi motivator bagi majunya pendidikan. Terjadilah di masa ini
revolusi ilmu pengetahuan. Pendidikan non-agama, profan, yang telah ditanam 'Umar ibn Khaththâb dalam kurikulum
pendidikan di zamannya, mengalami perluasan sedemikian rupa sehingga meliputi
berbagai bidang, yang pada akhirnya menjamurlah kegiatan pendidikan dengan
banyak mengambil tempat dalam pelaksanaannya.
Sampai Abad IV H.,
begitu Hasan 'Abd. al 'Al dalam kutipan Suwendi, telah berdiri tujuh lembaga
pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik dan kajiannya
sendiri-sendiri. Ketujuh lembaga tersebut adalah: a) kuttab, b) masjid, c) toko
kitab, d) rumah, e) sanggar seni dan sastra, f) perpustakaan, dan g) madrasah.
(Suwendi, 2004: 21)
Dengan mempertimbangkan materi pendidikan (mata pelajaran)
yang diajarkan, selanjutnya institusi-institusi tersebut dapat
diklasifikasi-kan menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau dasar,
yang meliputi: kuttab, rumah, toko, istana, dan terkadang berlangsung juga di
pasar. Kedua, tingkat menengah, yang meliputi: masjid serta sanggar seni dan
sastra. Ketiga, tingkat tinggi yang meliputi: masjid, perpustakaan, dan
madrasah. (A. Tafsir dkk, 2004: 259)
Kuttâb sebagai tempat belajar, bahkan sudah ada sejak masa
pra-Islam. Karena Islam menekankan pendidikan (di antaranya baca-tulis) bagi
umatnya, maka kehadiran Islam mendesak perkembangan Kuttâb. Pada mulanya Kuttâb
ini digunakan sebagai tempat belajar baca-tulis, terutama bagi anak-anak, dan seringkali
dilakukan oleh orang-orang Kristen (kafir dzimmi dan tawanan-tawanan perang
Badar), dan berlokasi di luar masjid. Pengajaran ini dilakukan dengan
menggunakan syair-syair yang terkenal pada masanya. Hal itu, untuk
menghindarkan diri dari menggunakan al-Qur'an. Sebab penggunaan al-Qur'an untuk
belajar menulis dipandang kurang etis.
Pengajaran al-Qur'an serta masalah keagamaan, pada awalnya,
dilaksanakan di masjid secara non-formal. Akan tetapi, karena anak-anak
(sebagai bagian dari murid yang belajar di masjid) tidak dapat menjaga
kebersihan dan kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat khusus
(kuttâb) di samping masjid. Sejak itulah pendirian kuttâb semakin meningkat (di
setiap desa terdapat satu atau lebih), sehingga muncullah dua jenis kuttâb.
Satu kuttâb untuk pendidikan sekuler (secular learning), dan yang lain untuk
pendidikan agama (religious learning).
Di antara kuttâb-kuttâb tersebut, begitu 'Izzudîn 'Abbâs, ada
yang mengharuskan bagi siswanya untuk membayar biaya pendidikan, yakni
bagi yang kaya, dan ada yang bebas
biaya, tentunya bagi para murid yang miskin. Jenis kuttâb yang terakhir ini
dikenal juga dengan nama Kuttâb al-sabîl (pondok orang dalam perjalanan).
(Hasan Langgulung, 2000: 123)
Namun pada masa Bani Abbasiyyah keadaan tersebut mengalami
pergeseran. Al-Qur'an, sebagai kurikulum utama, dipelajari bersama dengan
pelajaran baca-tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah Nabi (terutama
hadits-hadits Nabi Muhammad saw.), aritmatika serta puisi. Inilah yang
disaksikan ibn Jubayr ketika mengunjungi Damaskus pada 1184 M. (Philip K.
Hitti, 2005: 512)
Rumah yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan
di masa ini antara lain: rumah Ibnu Sînâ, al-Abû Sulaimân al-Sijistani (w. 390
H.), al-Ghazâlî, 'Alî ibn Muhammad al-Fasihi, Ya'kûb ibn Killis seorang Wazîr
Khalifah al-'Azîz al-Fâthimy, Ahmad ibn Muhammad Abû Thaher (w.576 H.).
Disiplin ilmu yang dipelajari di institusi ini meliputi ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum, dengan tempatnya sendiri-sendiri.
Sementara istana --dan atau kediaman para bangsawan-- secara
khusus juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan oleh kalangan elit khalifah
atau kaum bangsawan, yang diilhami oleh halaqah-halaqah yang ada di masjid. Hal
ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan
anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa.
Toko, pada dasarnya merupakan tempat jual-beli kitab yang
mulai menjamur di saat ini karena ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mulai
tumbuh dan berkembang. Al-Ya'qûbî meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891
M.) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet
di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko-toko tersebut, sebagaimana
toko-toko yang kemudian muncul di Damaskus dan Kairo, lebih kecil dari ruangan
samping masjid, tetapi ada juga yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk
pusat penjualan sekaligus sebagai pusat aktivitas para ahli dan penyalin
naskah.( Philip K. Hitti, 2005: 521 ) Di saat ini mulai bermunculan para ulama'
yang menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kitab-kitab
tersebut selanjutnya dibeli oleh pemilik toko untuk dijual kembali.
Saudagar-saudagar tersebut bukanlah orang-orang yang
semata-mata mencari keuntungan dan laba, dengan berjualan. Akan tetapi
kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas, yang telah memilih jalan
ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca
dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama' dan pujangga. (Ahmad Syalabi,
1973: 53) Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan rumah
seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah. Tidak
jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat sekitarnya
untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan.
(Charles Michael Stanton, 1994: 163) Selain itu, mereka dapat menyalin
kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kembali kepada mereka yang
memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqût,
yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; Âlî ibn 'Îsa,
yang oleh Yaqût dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan
yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Nâdim --dikenal juga dengan
nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai
pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa
katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan
sebagai karya yang sangat baik. (Charles Michael Stanton, 1994: 163).
Masjid sebagai lembaga pendidikan menengah, muncul sekitar Abad VIII M. Pada mulanya masjid
merupakan lembaga pendidikan dasar. Pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulafâ'
al-Râsyidîn, masjid merupakan lembaga pendidikan pokok. Ketika ilmu-ilmu asing
memasuki masyarakat Islam, ia juga memasuki masjid dan harus dipelajari
bersama-sama dengan ilmu-ilmu agama. Di Madinah, begitu Syalabi mencontohkan,
Nabi Muhammad saw. menggunakan masjidnya (Nabawi) sebagai tempat memberi
pelajaran kepada para shahabatnya tentang urusan-urusan agama dan dunia. (Ahmad
Syalabi, 1973: 64). Dalam perkembangan selanjutnya, dengan alasan tertentu, ia
dijadikan sebagai lembaga pendidikan menengah dan --dalam waktu yang sama--
pendidikan tinggi. (Hasan Langgulung, 2000: 123)
Masjid ini, jelas Stanton, dibedakan menjadi dua; yaitu
masjid jâmi' dan masjid non-jâmi'. Masjid tipe pertama, yang memiliki jumlah
sangat terbatas (di Baghdad hanya terdapat lima atau enam masjid, sementara di
Mesir hanya terdapat enam buah), dibangun oleh khalifah dengan ukuran relatif
besar dan dihiasai secara indah. Selain dijadikan sebagai tempat melaksanakan
shalat jum'at, masjid ini juga dijadikan sebagai penghubung antara khalifah
dengan rakyat banyak. Sedang tipe yang kedua bersifat lokal dan eksklusif serta
memiliki jumlah banyak. Masjid tipe ini biasanya lebih kecil dan dibangun untuk
kepentingan sekelompok masyarakat muslim tertentu atau sekelompok penganut
madzhab tertentu, dengan dukungan dana dari jama'ahnya sendiri, dari satu patronase
atau dari satu wakaf. Masjid (tipe) ini sering disebut sebagai masjid-akademi.
(Charles Michael Stanton, 1994: 35)
Terlepas dari jâmi' atau non-jâmi', masjid merupakan
institusi pendidikan, dalam dua jenjang. (Charles Michael Stanton, 1994: 35)
Pendidikan yang berlangsung di sana menggunakan sistem halaqah. Yakni, seorang
syaikh duduk dengan dikelilingi para murid(nya). Dalam konteks masjid jâmi',
sebagaimana dikatakan Stanton, seorang syaikh diangkat --dan seringkali
merupakan pengaruh dari pemuka masyarakat serta para bangsawan-- oleh khalifah
untuk mengajarkan fiqh atau bidang kajian agama tertentu. Pengangkatan syaikh
biasanya berlaku seumur hidup. Kecuali jika ia memiliki kasus tertentu, seperti
memiliki ajaran yang menyimpang atau persoalan moralitas, maka tidak menutup
kemungkinan ia akan dipecat. Tidak jarang juga jabatan ini diwariskan oleh
seorang ayah atau guru kepada anak atau muridnya. (Charles Michael Stanton,
1994: 35-36).
Pendidikan yang diselenggarakan di masjid jâmi' lebih
bersifat fleksibel-nonformal, sehingga lembaga ini bebas menerima siswa (baik
terdaftar maupun tidak) dari segala umur dan tanpa terikat kapan seorang siswa
harus hadir dan halaqah mana yang hendak diikuti, sehingga dia dapat datang dan
pergi serta pindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain; dari satu masjid ke
masjid yang lain; bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Selain itu, para
siswa tidak perlu membayar biaya pendidikan.
Berbeda dengan masjid jâmi', masjid-akademi lebih formal
dalam melaksanakan pendidikannya. Seorang siswa sebelum masuk dalam lembaga ini
harus mendaftarkan diri terlebih dulu (pada mudarris). Dalam pengangkatan
seorang mudarris (sebutan bagi pengajar fiqh di masa itu) yang idealnya
dilakukan oleh khalifah atau wakilnya, sebagaimana dalam masjid jâmi', tidak
dilaksanakan dalam masjid-akademi, terutama dalam kasus masjid-masjid yang
lebih kecil. Pejabat setempat dan pemuka agama melakukan hal itu dengan
persetujuan qâdhi, hakim. Jika sebuah masjid dibangun dan dibiayai oleh sebuah
kelompok tertentu untuk kepentingannya sendiri, maka merekalah yang akan
mengangkat seorang mudarris, yang mewakili pandangan keagamaan mereka.
Begitu juga sebuah masjid yang dibiayai oleh satu sistem
wakaf, dokumen wakaf --waqfiyyah-- biasanya mencantumkan bagaimana seorang
pengurus harus diangkat. Patron (pemberi wakaf) biasanya menyatakan kualifikasi
mudarris yang dapat diterima, terutama tentang madzhab yang dia ikuti. Bahkan,
pemberi wakaf mungkin telah menunjuk seseorang. Disiplin ilmu yang mendapat
perhatian lebih dalam institusi ini adalah fiqh (dalam semua madzhab).
Seorang mudarris, yang biasanya hanya satu orang dalam satu
masjid, seringkali merangkap juga sebagai imâm. Dengan demikian, dalam satu
masjid hanya terdapat seorang imâm yang sekaligus merangkap mudarris. Dialah
yang menentukan kurikulum dan sifat pengajaran. Sehingga masjid-akademi dapat
dikatakan sebagai manifestasi dari diri mudarris sendiri.
Sanggar seni (sastra) muncul pertama kali pada masa khalifah
Bani Umaiyah dalam formatnya yang bersahaja, sebagai perkembangan dari
majlis-majlis yang telah ada pada masa Khulafa' al-Rasyidin yang
diselenggarakan di masjid. Institusi ini mendapat kemegahannya dibawah imperium
khalifah Bani Abbasiyyah dengan dinamikanya sendiri. (Ahmad Syalabi, 1973: 62).
Dalam periode kedua masa ini, institusi ini mulai dikenal di kalangan para
penguasa dan kaum bangsawan yang lebih rendah baik di Damaskus maupun di
Baghdad, seperti yang diselenggarakan oleh Sultan Mahmud al-Ghaznawi dan Nidlâm
al-Mulk. (Ahmad Syalabi, 1973: 62).
Namun berbeda dengan masa khulafa' al-Rasyidin, sanggar
sastra ini lebih bersifat eksklusif (berdasarkan undangan dari penyelenggara).
Hari dan waktu pelaksanaan juga sepenuhnya bergantung pada khalifah sebagai
penyelenggara. Selain itu, ada beberapa etika tertentu yang harus dipenuhi
dalam menghadiri majlis ini. Seperti harus berpakaian rapi, menggunakan
wangi-wangian, meninggalkan sesuatu yang tidak disuka khalifah dan lain-lain.
(Ahmad Syalabi, 1973: 62). Prestise dan popularitas sanggar, terutama, bergantung
pada kekayaan dan kekuatan patron (penyelenggara) dalam mengundang para
cendekiawan atau kaum intelek. Di antara sanggar (lingkaran) di istana yang
paling terkenal karena kualitas diskusinya, adalah yang diselenggarakan oleh
khalifah al-Râsyid dan al-Ma'mûn. Sanggar al-Rasyid sebagaimana dijelaskan
Mahmud Yunus, telah melahirkan beberapa ilmuwan interdisipliner. Dalam bidang
syair misalnya, muncul Abu Nuwas, bidang musik muncul Ibrahim al-Mausili,
bidang bahasa Sibaiwi dan bidang fiqh, Abu Yusuf dan beberapa ilmuwan lainnya.
(Mahmud Yunus, 1990: 87)
Setelah tekanan terhadap gerakan Mu'tazilah dan pemutusan
aliran rasional bangsa Yunani dalam kehidupan intelektual Islam,
sanggar-sanggar sastra ini cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional,
memperlemah dorongan-dorongan bagi kemajuan intelektual yang luas. Sungguhpun
demikian, tidak dapat diabaikan kontribusi sanggar tersebut, terutama perannya
sebagai media bagi masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam
peradaban Islam. Yang pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga tinggi lain
yang lebih formal, ketika aneka ragam lingkaran studi di istana mengembangkan
perpustakaan, observatori, dan pusat penerjemahan.
Masjid, sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan
kelanjutan dari pendidikan menengah. Dengan demikian, dari sudut disiplin ilmu
yang dipelajari sama dengan yang ada pada jenjang sebelumnya (penulis tidak
mendapatkan data konkrit, yang membedakan antara kedua jenjang dari sudut ini).
Perbedaan antara keduanya, sebagaimana disinggung di atas, lebih terlihat pada
status guru (syaikh), apakah dia ulama' besar dan memiliki prestise tinggi atau
belum mencapai derajat itu. Kualifikasi tersebut tentunya berimplikasi pada
kualitas seorang syaikh, dan pada batas-batas tertentu, ilmu yang diperoleh
siswa.
Perpustakaan sebagaimana dikatakan Syalabi, didirikan karena
mahalnya harga manuskrip ketika itu. Sehingga alternatif yang dianggap efektif
bagi pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa itu adalah
perpustakaan. (Ahmad Syalabi, 1973: 132). Perpustakaan, begitu Hitti, menyimpan
beberapa buku dalam berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, astronomi
dan lain-lain di samping ilmu agama. Selain digunakan untuk membaca,
perpustakaan juga dijadikan sebagai tempat diskusi dan debat ilmiah,
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi sekarang. (Philip K. Hitti, 2005:
520; Mahmud Yunus, 1990: 90-91) Di sinilah orang (bisa) menemukan titik
permulaan dari pusat keilmuan yang sangat kompleks.
Dalam pandangan orang-orang Arab, buku mempunyai nilai yang
sangat tinggi. Pengaruh tulisan al-Jahiz dalam hal ini tidak dapat diabaikan.
“Buku itu diam bila engkau menghendaki dia diam, berbicara bila engkau
menghendakinya. Dia tidak akan mengganggu kalau engkau sedang bekerja, tetapi
bila engkau merasa kesepian dia akan menjadi temanmu yang baik. Engkau tidak
perlu berminyak air terhadapnya dan juga tidak akan berkecil hati. Dia adalah
teman yang tidak menipu atau bermuka dua”, begitu al-Jahiz menulis. (Ahmad
Syalabi, 1973: 136) Dengan demikian, bagi mereka perpustakaan lebih berharga
dari segalanya. Bukan hanya ulama' dan para khalifah yang mendirikannya. Tetapi
orang-orang awam pun ikut menyemarakkan dalam pembangunannya.
Dalam perpustakaan, lanjut Syalabi, selain terdapat ruangan-ruangan
tempat buku, juga terdapat kamar-kamar dan ruangan-ruangan yang dilengkapi
dengan permadani dan tikar-tikar yang bagus serta perabot-perobot untuk
berbagai macam kepentingan lain. Seperti membaca, menyalin, dan lain-lain.
Bahkan ada yang menyediakan kamar-kamar untuk musik. Untuk kemudahan dalam
mencari buku, dibuatlah manajemen yang rapi. Selain disediakan katalok, juga
terdapat tulisan tentang nama dan nomor-nomor buku yang ditempel di setiap
almari, dan keterangan tentang halaman yang sudah hilang.
Perpustakaan-perpustakaan tersebut juga memberikan fasilitas pinjaman, bahkan
hal itu diutamakan, dengan persyaratannya sendiri-sendiri, seperti terbatas
masanya, harus dijaga keotentikan isi buku dan lain-lain. Sehingga tidak perlu
lagi orang yang ingin membaca buku, membelinya terlebih dahulu. (Ahmad Syalabi,
1973: 141-168)
Untuk bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, perpustakaan
memiliki beberapa petugas dengan jabatannya masing-masing, dan berbeda antara
satu perpustakaan dengan perpustakaan lain. Beberapa jabatan yang secara umum
terdapat pada setiap perpustakaan antara lain pemimpin perpustakaan,
penerjemah, penurun, penjilid dan pembantu. Pada umumnya, segala biaya
perpustakaan, seperti bangunan, mendatangkan buku baru, gaji pegawai dan lain-lain,
ditanggung oleh dana wakaf dari pemerintah. Sehingga dalam hal gaji, besar
kecilnya gaji pegawai perpustakaan bergantung pada besarnya dana wakaf.
Di antara perpustakaan-perpustakaan tersebut, ada yang
diperuntuk-kan bagi masyarakat umum, semi-umum dan ada yang khusus.
Perpustakaan jenis pertama didirikan oleh khalifah, wazir, maupun penguasa
lokal di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk
mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah
kekuasaan mereka. Perpustakaan ini jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di
Baghdad (yang memiliki 36 perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga
perpustakaan yang terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu
kota propinsi (termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan
sepanjang wilayah Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam
di Andalusia. (Charles Michael Stanton, 1994: 160-161)
Di antara perpustakaan tersebut, sebut Syalabi, adalah Bait
al-Hikmah, yang didirikan khalifah Hârûn al-Râsyid di Baghdad, perpustakaan
al-Haidariyah di Najaf yang mendapatkan perhatiannya dari 'Adûd Daulah dari
dinasti Buwaihi, perpustakaan Ibn Sawwar yang didirikan di Basrah oleh Abû 'Alî
ibn Sawwar orang dekat 'Adûd Daulah, perpustakaan di masjid al-Zaidi yang
pendiriannya disponsori oleh 'Adûd al-Dîn Muhammad, seorang wazir dari khalifah
al-Mustadhi' bi Amrillâh, Dâr al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Hâkim
bi Amrillâh di Kairo. (Ahmad Syalabi, 1973: 169-178). Jumlah seri yang ada di
perpustakaan-perpustakaan (umum) tersebut, tegas Stanton, sulit diprediksi,
karena data-data dari abad-abad itu (baca: klasik) cenderung melebih-lebihkan.
Tetapi banyak perpustakaan dilaporkan memiliki antara 100.000 dan 1.000.000
volume. (Charles Michael Stanton, 1994: 168)
Dalam Bait al-Hikmah terdapat pula sanggar sastra, lingkaran
studi, observatori; penerjemahan dan penerbitan yang semuanya berada dalam
pengawasan khalifah. Perpustakaan yang dianggap juga sebagai "Akademi Ilmu
Pengetahuan" ini, merupakan lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia
yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di sanalah al-Kindi (w. 873 M.)
mendirikan sekolah berbahasa Arab yang mengajarkan filsafat peripatetik yang
kemudian dikembangkan oleh al-Fârâbi, Ibn Sînâ, dan Ibn Rusyd. Di tempat ini
juga al-Khawârizmî tidak hanya memberikan kontribusinya bagi filsafat, teologi,
matematika, tetapi juga melakukan penelitian di laboratorium perbintangan.
Sementara perpustakaan semi-umum, tidak diperuntukkan bagi
semua lapisan masyarakat, tetapi bukan pula khusus bagi pendirinya, karena
memang bukan itu tujuannya. Perpustakaan jenis ini didirikan oleh para khalifah
dan raja dengan maksud memuliakan dan menghargai serta agar dekat dengan ilmu
pengetahuan. Dan diperuntukkan bagi mereka yang mendapatkan izin. Sebagaimana
dikatakan al-Maqdisi: tidak dibolehkan mengunjungi perpustakaan ini kecuali
mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Perpustakaan jenis
ini, begitu Stanton, seringkali melayani kebutuhan-kebutuhan lain yang
diperlukan para ilmuwan dan mahasiswa, di samping menyediakan kamar-kamar untuk
belajar mandiri dan untuk penggunaan buku-buku dalam jumlah yang sangat banyak.
Sejarah mencatat bahwa para patron yang kaya raya tidak saja menyediakan
kertas, tinta dan pena, tetapi juga makanan, tempat menginap bahkan pesangon
bagi orang-orang yang terbatas sumber keuangannya. (Charles Michael Stanton,
1994: 166-167)
Perpustakaan ini dimisalkan seperti perpustakaan al-Nâshir li
Dînillâh, yang memerintah pada 575-622 H. / 1179-1225 M. Perpustakaan ini
memuat buku yang amat banyak. Sebagian buku yang ada, diceritakan telah
memenuhi tiga perpustakaan yang besar-besar. Selanjutnya, perpustakaan
al-Musta'shim billâh, seorang khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyyah, yang
dikenal dengan Khizânah al-Kutub. Bahkan al-Musta'shim mendirikannya di dua
tempat. Dan terakhir perpustakaan-perpustakaan para khalifah Fathimiyah di
Kairo. Terdapat banyak pendapat tentang jumlah buku dalam perpustakaan
tersebut. Abû Syamah menyebutkan terdapat 2.000.000, sementara al-Maqrizi
menyatakan terdapat 1.600.000 buku. (Ahmad Syalabi, 1973: 182-185; Mahmud
Yunus, 1990: 93-94)
Sedangkan perpustakaan khusus, selain didirikan oleh
bangsawan juga didirikan oleh para ulama' dan sastrawan, khusus untuk kepentingan
mereka sendiri. Perpustakaan jenis inipun memiliki jumlah yang amat banyak. Di
antara perpustakaan ini adalah perpustakaan al-Fath ibn Khaqan (w. 247 H. / 861
M.), seorang wazir dari khalifah al-Matawakkil yang juga seorang ulama' yang
memiliki kegemaran membaca; perpustakaan Hunain ibn Ishâq (w. 264 H. / 877M.),
seorang dokter dan penerjemah besar pada masa al-Ma'mûn, yang menguasai bahasa
Yunani, Suryani dan Persia; perpustakaan Ibn al-Khasysyab (w. 567 H. / 1171
M.), seorang ulama' yang pandai dalam disiplin bahasa (Arab), tafsir, hadits,
dan nasab; perpustakaan al-Muwaffaq ibn Mathran (w. 587 H.), yang disebut
Syalabi sebagai seorang yang berotak tajam dan pandai dalam ilmu kedokteran;
perpustakaan Jamaluddîn al-Qifthi (w. 646 H.), seorang wazir yang mahir dalam
ilmu nahwu, bahasa, fiqh, 'ulum al-Qur'an, ushul, manthiq, astronomi, ilmu ukur
dan sejarah; perpustakaan al-Mubasysyir ibn Fatik (w. Abad V), salah seorang
pangeran Mesir yang terkemuka. (Ahmad Syalabi, 1973: 188-194)
Karena perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak berjalan di
bawah pengawasan pemimpin-pemimpin pemerintah dan keagamaan, maka karya-karya
sains dan filsafat Yunani terus berkembang di perpustakaan ini, sekalipun pada
masa pemberantasan ide-ide asing yang dimulai selama kekhalifahan al-Mutawakkil
(Abad IX). Hal tersebut pada gilirannya memberikan kepuasan tersendiri bagi
para ilmuwan, sebagaimana yang dirasakan oleh Ibn Sînâ yang terungkap dalam
catatan hariannya. Bahwa ia memiliki kebanggaan khusus di perpustakaan milik
seorang ratu di propinsinya. Demikian juga ilmuwan-ilmuwan lain, mereka
mengakui kemajuan intelektualnya dengan dihadirkannya perpustakaan oleh para
hartawan dan majikan yang lebih ningrat. (Ahmad Syalabi, 1973: 166)
Perpustakaan-perpustakaan yang merupakan tradisi pendidikan
tinggi dalam dunia Islam tersebut, dicatat para sejarawan Barat, sebagai
warisan intelektual dan kebudayaan Islam yang paling berharga dan sangat
memengaruhi kemajuan peradaban Eropa. Herbert A. Devies dalam An Outline
History of the World, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, mengatakan, umat
Islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad
melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen. Universitas di Baghdad, Kairo, dan
Kordova khususnya, merupakan pendidikan tinggi yang termasyhur. Banyak orang
Kristen yang belajar pada universitas-universitas Islam, terutama di
universitas Kordova. Orang-orang Kristen tersebut kemudian membawa ilmu dan
kebudayaan ke negeri-negeri asal mereka serta pengaruh universitas Spanyol atas
universitas Paris, universitas Oxford dan universitas-universitas lainnya yang
mereka bangun di Itali. (Azyumardi Azra, 1999: 104-105)
Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak bisa lepas dari
institusi sebelumnya, terutama masjid. Pendidikan yang terus berkembang memaksa
bertambahnya jumlah halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sudah pasti
hal itu menimbulkan suasana ricuh. Terutama ketika proses pendidikan
menggunakan sistem tanya jawab, debat dan diskusi, sebagai implikasi
perkembangan pendidikan. Semua itu menyebabkan terganggunya fungsi utama
masjid, yakni untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Sebagai solusi,
ditambahlah masjid itu dengan ruangan-ruangan khusus untuk pendidikan ('iwân),
pemondokan dan lain-lain, yang terus mengalami perkembangan sesuai kebutuhan.
Inilah yang menjadi ciri madrasah ketika itu dan yang sekaligus membedakannya
dengan masjid. (Ahmad Syalabi, 1973: 107). Makdisi menyebut madrasah ini
sebagai masjid-khan.
Ketika Bani Saljuk berkuasa atas kekhalifahan Abbasiyyah, di
bawah kekuasaan Alp Arslân (1063-1072) M.) dan Mâliksyah (1072-1092 M.),
seorang wazir, Nidlâm al-Mulk, pada 1065 M. mendirikan madrasah yang lebih
independen, tidak tergabung dengan masjid, di Baghdad. Sebuah prototipe
madrasah yang didirikan pertama kali sepanjang sejarah pendidikan umat Islam,
yang diberi nama madrasah Nidlâmiyah. (Ahmad Syalabi, 1973: 110) Madrasah
tersebut memiliki prestise yang tinggi
dan menjadi model bagi pendirian madrasah di zamannya dan sesudahnya. Stanton
mengilustrasikan madrasah tersebut sebagai madrasah yang paling unggul pada Abad
XI, yang menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi dan model bagi pembangunan
lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. (Charles Michael
Stanton, 1994: 49) Sehingga, menurut Hasan 'Abd al-'Al, munculnya madrasah
Nidlâmiyah ini merupakan indikasi bagi lahirnya era baru dari tahapan
perkembangan institusi pendidikan Islam. Melihat corak kajiannya, madrasah
(Nidlâmiyah) dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan yang bercorak
fiqh dan hadits, setidaknya pada masa Abbasiyyah di Baghdad. (Maksum, 1999:
51-52)
Dengan kekhasannya sendiri, madrasah lebih unggul dibanding
dengan institusi yang lain. Segera setelah perkembangan masjid dan Kuttâb,
madrasah berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat
muslim di masanya, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu dan kebutuhan.
(Charles Michael Stanton, 1994: 48) Pada Abad XI M. pola dasar pembangunan lembaga pendidikan tinggi yang terpisah
dari masjid (baca: madrasah) --dengan implikasi kontrol otoritas keagamaan yang
melekat padanya-- namun tetap diabdikan kepada pandangan teologis tertentu
sangat populer, dan hal ini berlangsung terus hingga saat sekarang di
negara-negara Islam. (Charles Michael Stanton, 1994: 47)
Ibn Jubayr, sebagaimana dikatakan Hitti, menjelaskan bahwa di
Baghdad terdapat sekitar tiga puluh madrasah, di Damaskus terdapat dua puluh
madrasah, di Mosul terdapat sekitar enam madrasah dan di Hims terdapat satu
madrasah. Madrasah-madrasah tersebut didirikan secara pribadi oleh para
saudagar, ulama' maupun penguasa. (Philip K. Hitti, 2005: 518) Nidlâm al-Mulk
sendiri, jelas Ahmad Syalabi, telah membuka cabang madrasahnya di beberapa
wilayah, seperti Baghdad, Balkh, Nisabur, Harat, Asfahan, Bashrah, Marwu, Amal
dan Mausil. Bahkan al-Subki mengatakan Nidlâm al-Mulk mempunyai madrasah di
setiap kota di Iraq dan Khurasan. (Ahmad Syalabi, 1973: 112). Setelah itu, ide
ini masuk ke wilayah Syam, dan pada tahun 491 H. / 1097 M. didirikanlah
madrasah dengan mengambil Damaskus sebagai tempat. Dari situ meluas lagi ke
Mesir di bawah kendali Shalâhuddîn al-Ayyûbi, yaitu mulai tahun 567 H. / 1171
M. (Hasan Langgulung, 2000: 125)
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah tersebut,
sekurang-kurangnya diwarnai oleh tiga faktor. Pertama, faktor transformasi
madrasah. Sebagaimana disinggung di atas, madrasah adalah transformasi dari
masjid, maka madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan
perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat
lanjutan. Kedua, faktor aliran keagamaan. Madrasah merupakan lembaga pendidikan
aliran Sunni. Sebagai reaksi terhadap doktrin dan kepercayaan-kepercayaan
Syi'ah yang ditanamkan sebelumnya oleh Dinasti Buwaihi dan Fathimiyah yang
dinilai batil. Sehingga untuk meluruskan keberagamaan umat, pelajaran yang
dinilai efektif adalah ilmu agama, al-'ulûm al-naqliyyah. Yaitu ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan al-Qur'an seperti Tafsir, Qira'at, Hadits, Ushul Fiqh dan
Fiqh sebagai kajian inti; serta al-'ulûm al-lisâniyyah, seperti bahasa dan
sastra, nahwu, sharaf. (Ahmad Syalabi, 1973: 109). Dan tidak mengajarkan mantiq
serta tradisi berpikir filsafat. Keadaan ini menyebabkan madrasah kurang
mendapat motivasi untuk memperhatikan ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika
dan filsafat, seperti ilmu pasti dan kealaman, kedokteran, kimia, fisika dan
lain-lain. Kecuali di madrasah al-Dikhwariyah, yang dibangun pada 621 H. / 1224
M. oleh Muhadzdzab al-Dîn al-Dikhwâr (w. 628 H. / 1231 M.) dan madrasah
al-Dunaysariyah yang didirikan oleh Imâd al-Dîn al-Dunaisari, keduanya adalah
pakar dalam ilmu kedokteran. Di sekolah tersebut dipelajari ilmu kedokteran.
(Ahmad Syalabi, 1973: 118)
Ketiga, faktor politik pemerintah. (Mahmud Yunus, 1990: 72)
Keterlibatan pemerintah dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidak dapat
dielakkan. Bahkan pendidikan (madrasah) merupakan bagian dari institusi
pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa pejabat pemerintah yang
disinyalir sebagai memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah adalah:
Nidlâm al-Mulk (456-485 H. / 1063-1092 M.), Nûr al-Dîn Zanky (541-569 H. /
1146-1174 M.), Shalâhuddîn al-Ayyûbi (564-589 H. / 1169-1193 M.), dan
al-Mustanshir bi Allâh (623-640 H. / 1226-1242 M.). (Ahmad Syalabi, 1973:
113-117)
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan dan kepentingan mereka
dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menentukan. Dengan kata lain,
madrasah merupakan kebijakan religio-politik bagi penguasa.
Bangunan madrasah dilengkapi dengan satu perpustakaan yang
tergabung dalam bangunan yang sama. Tersedianya (dalam perpustakaan) berbagai
karya lebih dari sekedar buku-buku pelajaran meningkatkan pengalaman belajar
siswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada
sejumlah tulisan, lebih dari sekedar kebutuhan langsung pengajaran. Selain itu,
dalam konteks Nidlâmiyah, Nidlâm al-Mulk menyediakan wakaf untuk membiayai
seorang mudarris, imam dan siswa (dengan beasiswa dan asrama). Bantuan bagi
siswa inilah yang sekaligus membedakan antara madrasah dengan masjid-akademi.
(Charles Michael Stanton, 1994: 47)
Madrasah (dalam bentuk klasiknya) yang dalam ilustrasi
Stanton dapat disebut sebagai akademi (college) dalam konteks sekarang, di
masa-masa berikutnya memiliki pengaruh yang luas dan monumental. Beberapa ilmuwan
--baik muslim maupun Barat-- dalam karya masing-masing sebagaimana dikutip oleh
para ilmuwan yang lebih belakangan, telah mengakui pengaruh yang sangat dominan
ini, baik terhadap tradisi keilmuan maupun praktek pendidikan dalam Islam
(sendiri) maupun bagi bangsa-bangsa Eropa.
Dalam Islam misalnya, sebagaimana ditulis Hitti, madrasah
(Nidlâmiyah) merupakan model bagi pembangunan akademi-akademi (madrasah)
lainnya yang tersebar di wilayah Khurasan, Irak dan Suriah. (Philip K. Hitti,
2005: 518). Prestise dan daya tarik al-Ghazâlî (salah seorang pengajarnya) juga
masih terus mewarnai pergumulan pemikiran tokoh-tokoh Islam, bahkan hingga
kini.
Sementara pengaruhnya bagi Barat, lanjut Hitti, Reubin Levy
mengatakan, sebagian sejarawan mengatakan bahwa beberapa detil organisasi
sekolah ini (baca: madrasah) ditiru oleh orang Eropa untuk membangun
universitas-universitas mereka yang pertama. Senada dengan statemen tersebut,
al-Dailamî sebagaimana ditulis Maksum, juga menyatakan bahwa pendirian
universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh
madrasah (Nidlâmiyah). Begitu juga George Makdisi, masih dalam kutipan Maksum,
dalam beberapa tulisannya membuktikan, bahwa tradisi akademik Barat secara
historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah. (Maksum, 1999: 75,
Hasan Langgulung, 2000: 126)
Stanton
juga menjelaskan, walaupun pengaruh ilmu dan peradaban Islam terhadap
pendidikan Barat dianggap oleh kalangan Kristen Barat lebih bersumber pada lembaga-lembaga informal
dan pribadi yang dikembangkan melalui perpustakaan, rumah sakit, observatorium
dan lain-lain, namun mereka tidak bisa mengabaikan lembaga dan metode
pengajaran yang berlangsung dalam madrasah. (Charles Michael Stanton, 1994:
209-210) Pengaruh tersebut tentunya tidak terlepas juga dari terselamatkannya
madrasah Nidlâmiyah dalam melewati malapetaka besar, yakni ketika Hulagu Khan
pada tahun 1258 menyerang Baghdad. Juga serangan dari bangsa Tartar.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum di sini lebih difahami dalam pemahaman masa lalu,
yaitu sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan. Berangkat dari pengertian tersebut, dan karena pada masa itu
telah dikenal tiga jenjang pendidikan, yaitu dasar, menengah dan tinggi, maka
ketiga jenjang tersebut memiliki kurikulum sendiri-sendiri. Sungguhpun
kurikulum tersebut tidak jauh berbeda dari sisi nama pelajaran namun dari sisi
materi berbeda.
Pada tingkat pertama atau dasar, mata pelajaran secara
keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Qur'an, b) pokok-pokok
agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah tokoh e)
membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok nahwu dan
sharaf. Kurikulum seperti ini tidak dapat diketemukan dalam sebuah institusi,
akan tetapi setiap daerah mempunyai kurikulumnya sendiri. Di Maroko misalnya,
hanya diajarkan al-Qur'an dan rasm (tulisan)-nya. Di Andalusia diajarkan
al-Qur'an, menulis, syair, pokok-pokok nahwu dan sharaf serta khat. Di Tunisia
diajarkan al-Qur'an, hadits dan pokok-pokok ilmu agama terutama hafalan
al-Qur'an. (Mahmud Yunus, 1990: 49)
Sedang pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a)
al-Qur'an, b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu,
sharaf, serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh,
k) ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Sebagaimana pada jenjang dasar,
mata pelajaran tersebut diajarkan di daerah yang berbeda-beda. Hal ini
sekaligus sebagai konsekuensi dari institusi yang digunakan, yaitu masjid. Ia
dikelola oleh masing-masing syaikh atau mudarris. Hal mana ia memiliki
kewenangan untuk menentukan disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Sungguhpun secara
umum disiplin ilmu yang diajarkannya adalah fiqh dan ilmu-ilmu agama, namun hal
itu tidak selamanya berlaku secara konsisten pada semua masjid. Bahkan ada
(juga) masjid yang cenderung mengajarkan ilmu-ilmu umum (al-'ulûm
al-'aqliyyah).
Berbagai halaqah di
masjid (jâmi') misalnya, menawarkan pelajaran hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh,
nahwu, sharaf, dan sastra (syair) Arab. Sementara di masjid lain, sebagaimana
dideskripsikan Ahmad Syalabi, dimisalkan seperti masjid jâmi' al-Tuluni
(berdiri 256 H.) dipelajari tafsir, hadits, fiqh dalam empat madzhab, qira'at,
kedokteran dan hisab. Sementara di masjid jâmi' al-Azhâr, diajarkan ilmu
kedokteran, yang diselenggarakan pada waktu tengah hari pada tiap-tiap hari.
(Ahmad Syalabi, 1973: 105)
Berbeda
dengan kedua jenjang sebelumnya, pendidikan tinggi lebih fleksibel dan berbeda
antara satu institusi dengan yang lain. Secara umum pendidikan tinggi ini
mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan
sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara lain: a) tafsir al-Qur'an, b)
hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu / sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan
sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini
mempelajari antara lain: a) manthiq, b) ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d)
ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f) falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati,
j) ilmu kedokteran. Selama masa itu belum dikenal spesialisasi mata pelajaran.
(Mahmud Yunus, 1990: 49) Hal terakhir ini ditentukan setelah seorang siswa
tamat dari pendidikan tinggi. Yang didasarkan pada bakat dan kecenderungan
masing-masing, sesudah praktek mengajar selama beberapa tahun.
3. Metode Pengajaran
Pendidikan yang ada pada masa ini dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu formal dan non formal. Dalam pendidikan formal, pelaksanaannya
formal pula. Sebelum pembelajaran, sebagaimana dijelaskan Stanton, seorang guru
terlebih dahulu menyusun ta'liqah. Ta'liqah ini memuat silabus dan uraiannya
yang disusun berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil
bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta'liqah mengandung
rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat
tahun. Mahasiswa menyalin ta'liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan
mereka betul-betul menyalin. Namun, sebagian yang lain, menambahkan pada
salinan ta'liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta'liqahnya
merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya.
(Charles Michael Stanton, 1994: 54)
Metode pengajaran yang ditempuh bermacam-macam, mulai
ceramah, sorogan, dikte, menghafal seperti yang terjadi di masjid-masjid dan
kuttab, hingga diskusi, debat ilmiah, dan eksperimen sebagaimana di sanggar
seni, perpustakaan dan di rumah-rumah para ilmuan. Dan inilah bentuk pendidikan
non formalnya.
Kelulusan mahasiswa ditentukan oleh kemampuannya
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasah. Setelah
dinyatakan lulus, mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan
ijazah, yang terkadang diwujudkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Ijazah ini
lebih diberikan oleh guru daripada sekolah. Pemberian ijazah ini sekaligus
merupakan pemberian izin (pada yang bersangkutan) untuk meriwayatkan atau
menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain. (Mahmud Yunus, 1990: 81)
4. Kondisi Sosial-Masyarakat
Misi utama Islam adalah menjadikan umat manusia sebagai umat
yang berperadaban. Misi ini terlihat dari perintah yang disampaikan pertama
kali yang sekaligus menandai datangnya Islam, yaitu membaca. Sebagai Rasul
Allah, Nabi Muhammad kemudian mengajak umat manusia merealisasikan perintah
tersebut. Beliau menyadarkan akan pentingnya ilmu pengetahuan dan membakar
semangat para shahabat, sehingga dalam waktu yang singkat Islam meraih kemajuan
yang luar biasa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sepeninggal beliau
semangat tersebut terus diwarisi oleh para penerusnya mulai dari shahabat,
tabiin dan tabi’ al-tabiin, hingga akhirnya Islam meraih peradabannya yang
adiluhung, tepatnya ketika pemerintahan umat muslim dipegang oleh khalifah Bani
Abbasiyyah. Tak ada peradaban di dunia yang lebih tinggi dari peradaban yang
diraih umat muslim kala itu.
Semangat dan besarnya apresiasi umat muslim terhadap ilmu
pengetahuan pada masa ini membawa mereka menduduki derajat khairu ummah. Apresiasi ini bukan hanya diberikan oleh para
ilmuan, akan tetapi para khalifah, rakyat, saudagar, para orang kaya bahkan
pembantu rumah tangga juga memberikan hal yang sama.
Para ilmuan, dengan ilmunya sendiri-sendiri, menjadikan rumah
mereka sebagai institusi pendidikan dan mendirikan perpustakaan. Tidak jarang
pula mereka memimpin diskusi atas undangan khalifah atau menjadi imam sekaligus
mudarris di masjid tertentu dan lain-lain. Demikian juga para khalifah, mereka
menjadikan istana sebagai institusi pendidikan, bahkan --dalam konteks
pendidikan anak-anaknya-- mereka juga terlibat dalam penyusunan kurikulum.
(Ahmad Syalabi, 1973: 48). Selain itu, mereka mendirikan dan mengelola beberapa
perpustakaan yang dilengkapinya dengan berbagai sarana seperti tempat diskusi,
ruang terjemah observatori dan penerbitan, bahkan tempat tidur, yang disediakan
untuk umum. Perpustakaan juga didirikan di masjid-masjid dan di
madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan
memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaan mereka. Perpustakaan ini
jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di Baghdad (yang memiliki 36
perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga perpustakaan yang
terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu kota propinsi
(termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan sepanjang wilayah
Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia.
(Charles Michael Stanton, 1994: 160-161)
Tidak kalah semangatnya, para saudagar juga turut meramaikan
perkembangan ilmu pengetahuan. Menjamurnya toko buku kala itu merupakan
motivasi tersendiri bagi masyarakat dalam menimba ilmu. Saudagar-saudagar
tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dengan
berjualan. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas,
yang telah memilih jalan ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan
yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama' dan
pujangga. (Ahmad Syalabi, 1973: 53)
Menjamurnya toko buku di ibukota negara yang mencapai lebih
dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama adalah
apresiasi di sisi lain. Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan
rumah seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah.
Tidak jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat
sekitarnya untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan
keagamaan. (Charles Michael Stanton, 1994: 163) Selain itu, mereka dapat
menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kembali kepada mereka yang
memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqût,
yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; Âlî ibn 'Îsa,
yang oleh Yaqût dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan
yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Nâdim --dikenal juga dengan
nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai
pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa
katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan
sebagai karya yang sangat baik. (Charles Michael Stanton, 1994: 163)
Menjamurnya
institusi pendidikan yang ada kala itu, tentunya menggambarkan dan memotivasi
semangat rakyat dalam berlomba-lomba mencari ilmu, sehingga muncullah
tokoh-tokoh besar di masa ini dalam berbagai bidang, yang hingga kini nama-nama
mereka masih menghiasi perpustakaan-perpustakaan, mereka seperti al-Kindi,
al-Fârâbi, Ibn Sînâ, dan Ibn Rusyd, juga al-Khawârizmî
D. Simpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan
berkaitan tentang pendidikan pada masa Bani Abbasiyyah. Simpulan tersebut
antara lain:
1. Sungguhpun masih
jauh dari kemajuan teknologi, namun semangat mencari ilmu umat muslim pada masa
Bani Abbasiyyah sangat tinggi, sehingga membutuhkan banyak institusi sebagai
tempat berlangsungnya pendidikan tersebut. Sebagaimana masa sekarang, pada masa
itu sudah dikenal jenjang pendidikan. Tentunya hal itu berimplikasi pada
perbedaan institusi. Untuk tingkat dasar, institusinya meliputi: kuttab, rumah,
toko, istana, dan terkadang berlangsung juga di pasar. Untuk tingkat menengah
meliputi: masjid serta sanggar seni dan sastra. Dan tingkat tinggi meliputi:
masjid, perpustakaan, dan madrasah.
2. Jenjang tersebut
berkonsekuensi pula pada materi pelajaran. Pada tingkat dasar, materi pelajaran
secara keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Qur'an, b)
pokok-pokok agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah
tokoh e) membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok
nahwu dan sharaf. Pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a) al-Qur'an,
b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu, sharaf,
serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh, k)
ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Dan berbeda dengan dua jenjang
sebelumnya, pendidikan tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas
ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara
lain: a) tafsir al-Qur'an, b) hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu /
sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu
hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari antara lain: a) manthiq, b)
ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d) ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f)
falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati, j) ilmu kedokteran.
3. Secara keseluruhan,
metode pengajaran yang ditempuh antara lain: ceramah, sorogan, dikte,
menghafal, diskusi, debat ilmiah, dan eksperimen.
4. Kondisi
sosial-masyarakat sangat mendukung bagi majunya pendidikan dan berkembangnya
ilmu. Apresiasi terhadap keilmuah muncul dari semua lapisan masyarakat, baik
ilmuan, para khalifah, rakyat, saudagar, para orang kaya bahkan pembantu rumah
tangga.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam, (Ciputat: Logos, 1999);
Hitti, Philip K., History of the Arabs, terj. R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2005);
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam,
(Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000);
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya,
(Ciputat: Logos, 1999);
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab,
(Jakarta: Logos, 1997);
Nokosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia
Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar
dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996);
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad,
(Bandung: Pustaka, 2003);
Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994);
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terj.
Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973);
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT. Hidakarya Agung, 1990);